Menginjak awal Juni, Eropa mulai menggeliat. Sesaat lagi Inggris yang baru saja menggelar referendum Brexit akan menyelenggarakan pemilihan parlemen. Rencananya, pemilu akan digelar pada 8 juni 2017.
Sejatinya berdasarkan peraturan pada tahun 2011, pemilihan umum baru akan dilaksanakan pada 7 Mei 2020. Namun, atas rekomendasi Perdana Menteri Inggris Theresa May pada 19 April 2017, parlemen menggelar voting untuk menentukan apakah sebaiknya pemilu dipercepat. Hasilnya: mayoritas berjumlah 522 berbanding dengan 13 dan dengan demikian rencana pemilu pun disetujui untuk dilaksanakan pada 8 Juni ini.
Pemilihan parlemen kali ini akan memperebutkan 326 dari 650 suara yang tersedia. Harapannya, Partai Konservatif yang dipimpin Theresa May tetap mempertahankan suara. Dalam pemilu sebelumnya, Partai Konservatif berhasil mendapatkan suara sebanyak 330. Namun, pertarungan ketat akan tersaji karena Partai Buruh dan Partai Liberal Demokrat berusaha menjadi pihak oposisi dengan membawa pesan untuk sistem pemerintahan Inggris yang lebih baik. Mereka menjadi oposisi karena sebagian besar dari mereka tak setuju referendum Brexit diterapkan.
Belum genap peraturan Brexit diterapkan, Inggris sudah mengalami ancaman global terorisme. Serangan tersebut diklaim berasal dari militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang saat ini berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga Eropa. Teror tersebut berawal dari 22 Maret 2017 yang terjadi di Gedung Parlemen London, kemudian 22 Mei 2017 saat konser Ariana Grande di Manchester hingga yang terakhir 2 Juni 2017 di pusat keramaian kota London.
Dengan semakin kuatnya serangan teroris, secara tidak langsung akan menguatkan dan meneguhkan bahwa Brexit memang harus segera diterapkan. Ini pula yang menjadi alasan bagi Theresa May mengajak para wakil-wakil rakyat untuk segera melakukan pemilihan umum. Selain mengacu keamanan Inggris yang tak menentu, ada beberapa hal yang diinginkan Inggris, khususnya Theresa May, untuk menyegerakan pemilihan umum parlemen.
Pertama, pemberlakuan Brexit. Pasca referendum, Inggris benar-benar menyerukan kepada dunia bahwa ingin segera enyah dari Uni Eropa. Menurut Inggris yang diwakili May, Uni Eropa adalah biang keladi pertikaian di antara negara-negara Eropa. Keuangan yang tak transparan, jumlah imigran yang kian membludak, dan monopoli Jerman dan Prancis yang terlalu berlebihan.
Dengan pemberlakuan Brexit, Inggris benar-benar menerapkan peraturan dan konstitusi sesuai apa yang diharapkan. Tak ada lagi kontrol atau intervensi dari pihak luar. Tak ada lagi imigran ilegal yang bebas lalu lalang di Inggris, meski tetap saja masih ada beberapa pihak yang merongrong jika Inggris akan kolaps secara ekonomi apabila tak dibantu Uni Eropa. Namun May menganggap daripada selalu “diperintah” oleh Uni Eropa lebih baik berdaulat di atas tanah sendiri.
Kedua, kekuasaan Theresa May. Pasca sebulan serangan teroris yang melanda London, May mengeluarkan keputusan untuk menyegerakan pemilihan parlemen. Dengan keputusan bahwa akan ada pemilihan pada 8 Juni dan jika Partai Konservatif kembali meraih suara mayoritas, bisa dipastikan masa kekuasaan Theresa May akan lebih panjang dua tahun, dari sebelumnya sampai 2020 hingga menjadi 2022.
Jika dilihat secara seksama, sejatinya serangan teroris bukanlah akar. Serangan teroris hanyalah pemicu. Yang menjadi akar adalah keinginan May untuk menyegerakan Brexit. May beralasan pula bahwa Inggris membutuhkan stabilitas keamanan, kenyamanan penduduk, dan kepemimpinan yang mengayomi.
Selain itu, kekuatan oposisi (Partai Liberal Demokrat dan Partai Buruh) yang merongrong kekuasaan May. Bahkan yang paling ekstrem adalah pejabat-pejabat dari Partai Buruh seperti Jeremy Corbyn akan mencoba memberi alternatif sistem bagi Inggris jika berhasil memenangkan pemilihan umum parlemen.
Ketiga, menjalarnya populisme dan menguatnya nasionalisme. Setelah Donald Trump berhasil memenangkan pemilu di Amerika Serikat, tampaknya banyak negara Eropa cukup khawatir dengan efek domino yang akan menjalar ke wilayah Eropa. Prancis dan Jerman adalah dua negara yang getol sekali mengkritik AS dalam beberapa bulan terakhir, walau pada pertemuan terakhir justru Presiden (terpilih) Prancis Emmanuel Macron menyambut hangat kedatangan Trump.
Bagi Inggris, apa yang dilakukan Trump sesuai dengan apa yang harus disegerakan. Nasionalisme tidaklah menghambat keutuhan sebuah negara. Dengan meningkatnya jiwa nasionalis, maka sebuah negara akan berdaulat secara mandiri. Karena itu, sepertinya Inggris ingin mencontoh Amerika Serikat dalam pengelolaan kebijakan dan kedaulatan.
Beberapa kali dalam sebuah wawancara, May menegaskan bahwa kedaulatan Inggris harus ditegakkan dengan cara berani mengurus dirinya sendiri. Bukan adanya intervensi dari pihak lain. Meski tak mengungkapkan secara jelas, pernyataan tersebut secara tersirat yang dimaksud adalah Uni Eropa.
Tiga hal tersebut adalah alasan mengapa Theresa May ingin menggelar pemilu lebih awal. Anggapan bahwa yang dilakukan May adalah spekulasi mungkin benar adanya. Andaikan Partai Buruh, Partai Hijau, Partai Liberal Demokrat, dan Partai UKIP bersatu, habislah kekuasaan Theresa May. Maka, dengan semangat nasionalisme dan terjaminnya stabilitas keamanan, May terlihat ingin menduplikasi apa yang telah dilakukan Trump.
Bukan tidak mungkin May akan berhasil melalui cara yang pernah dilakukan Trump. Namun, bukan tidak mustahil pula kemenangan Prancis atas populisme akan berdampak negatif pada Inggris dan tentu akan menjadi blunder bagi kekuasaan May.