Tahun ini warga Arab Saudi akan kembali menikmati pertunjukan sinema di gedung-gedung bioskop setelah lebih dari 35 tahun absen atau “mati suri” karena dilarang atau diharamkan oleh otoritas agama konservatif. Minggu lalu, the General Commission for Audiovisual Media (GCAM), dipimpin oleh Reda bin Mohammed Al-Haidar, menggelar pertemuan dengan pihak pemerintah guna membahas dan menyiapkan sejumlah regulasi tentang pembukaan sinema di Saudi.
Inti dari pertemuan itu adalah bagaimana kelak pihak-pihak yang terlibat dalam industri film ini tetap menjaga kualitas sinema yang tidak melenceng dari nilai-nilai tradisional dan keagamaan Saudi.
Akhir tahun lalu, anggota direktur GCAM yang diketuai oleh Menteri Kebudayaan dan Informasi, Dr. Awad al-Awad, telah menyetujui dan mengeluarkan izin bagi siapa saja (khususnya kalangan pebisnis swasta) yang ingin mendirikan gedung-gedung bioskop dan memproduksi film guna mempromosikan perkembangan media dan kebudayaan Saudi. Targetnya adalah pada 2030, Saudi memiliki lebih dari 300 gedung bioskop yang tersebar di seantero negara-kerajaan ini.
Sejak Kementerian Kebudayaan dan Informasi dan GCAM mengumumkan akan membuka sinema, Saudi bergerak cepat untuk merealisasikan misi ini. Sejumlah industri besar sinema, baik yang berpusat di Arab Teluk maupun di Barat, segera bergabung untuk meramaikan dan merebut pasar para penggemar film di Jazirah Arab.
VOX Cinemas yang berpusat di Dubai, Uni Emirat Arab, yang merupakan pemain besar di industri film di Timur Tengah, akan bersaing ketat dalam merebut hati pemirsa dan pecinta sinema dengan “para pemain lokal” (Saudi) seperti Myrkott Production dan Telfaz Company.
Bukan hanya itu, industri film raksasa Amerika Serikat, American Multi Cinema (AMC), juga sudah menandatangani kontrak dengan Public Investment Fund untuk ikut membangun gedung-gedung bioskop dan meramaikan dunia perfilman di Arab Saudi.
Meskipun secara resmi baru kick off beroperasi tahun 2018 ini, pada tahun 2017 sudah ada sekitar 60 film yang ditayangkan di sejumlah tempat di Saudi. Tahun 2013, Saudi juga memproduksi film berjudul Wadjda yang untuk pertama kalinya masuk di Academy Award (Oscar).
Publik Saudi menyambut gembira dan antusias dengan rencana pembukaan kembali gedung-gedung bioskop ini. Tidak lama lagi warga Saudi, yang mayoritas (antara 60-70 persen) merupakan generasi muda, bisa menikmati film-film idaman mereka dengan leluasa; tidak perlu capek-capek (dan biaya mahal) pergi ke negara-negara tetangga seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab, hanya sekadar untuk menonton film di bioskop.
Penting untuk diketahui bahwa peluncuran industri film ini bukan hanya untuk memudahkan warga Saudi menonton film, tetapi juga diharapkan mampu mendorong serta menggali dan mengembangkan bakat terpendam para sineas (orang yang ahli tentang cara dan teknik pembuatan film) sekaligus aktor dan aktris warga Saudi.
Ahd Kamel, sineas, produser, sekaligus aktris film dan perempuan pertama Saudi yang belajar seni akting dan pembuatan film di Amerika, mengungkapkan rasa optimismenya bahwa pembukaan industri sinema itu bukan hanya bisa mendongkrak perekonomian saja tetapi juga mampu memunculkan para sineas dan aktor/aktris ternama Saudi. Ahd Kamel sendiri sudah beberapa kali membintangi film dan ikut festival film internasional seperti Dubai International Film Festival dan Berlin International Film Festival.
Bukan hanya warga dan kalangan muda-mudi saja yang gembira dengan rencana pembukaan gedung-gedung teater untuk pertunjukan sinema, pemerintah juga sangat antusias. Bagi pemerintah, sektor industri film ini diharapkan bisa menambah pemasukan pendapatan negara, mendongkrak perekonomian nasional khususnya di sektor non-migas, serta menciptakan lapangan pekerjaan baru, khususnya bagi generasi muda.
Aseel Bashraheel, Presiden Jeddah Writing Club, memperkirakan industri film akan memberi kontribusi pendapatan sekitar SR 1 miliar (sekitar Rp 3,5 triliun) per tahun. Ia juga mencatat ada sekitar 35.000 warga Saudi yang pergi ke Bahrain setiap hari dan menghabiskan sekitar SR 1.200 (sekitar Rp 3,7 juta). Data ini juga menunjukkan sekitar 93% tiket bioskop di Bahrain dibeli oleh warga Saudi (Arab News 2017).
Selama ini Bahrain memang menjadi “kanal” warga Saudi untuk menyalurkan hasrat yang tidak bisa mereka nikmati di negaranya seperti menonton di bioskop ini. Warga Saudi dengan mudah hilir-mudik ke Bahrain karena bisa ditempuh dengan perjalanan darat dengan mobil. Raja Fahd dulu yang membangun jembatan panjang yang menghubungkan Saudi dan Bahrain (seperti jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura) sehingga memudahkan warga Saudi untuk “hijrah temporal” ke negara-kerajaan-kepulauan mini ini.
Dengan demikian, asumsinya, jika Saudi membangun gedung-gedung bioskop sendiri, warga tidak perlu repot-repot pergi ke Bahrain. Dengan begitu, uang yang dihabiskan untuk liburan ke Bahrain (atau Uni Emirat Arab) bisa belanjakan di negaranya sendiri, sebuah pemikiran dan strategi yang sangat cerdas.
Meskipun pembukaan gedung-gedung bioskop baru direncanakan beroperasi tahun 2018, sejarah perfilman di Saudi sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Yang pertama kali memperkenalkan sinema kepada masyarakat Saudi adalah orang-orang Barat yang bekerja di California State Oil Company (belakangan berubah nama menjadi Saudi Arabian Oil Company, yang populer dengan sebutan Aramco atau Saudi Aramco, berdiri tahun 1933). Aramco merupakan perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang lokasinya berada tidak jauh dari kampus tempat saya mengajar saat ini.
Para pekerja Aramco dulu didominasi oleh orang-orang Barat, khususnya Amerika, karena mereka yang ahli di dunia perminyakan dan gas. Pada 1930-an, para pekerja itu membuat semacam “layar tancap” di kompleks perumahan tempat mereka tinggal untuk menonton film-film Amerika dan Eropa.
Dari kompleks perumahan karyawan ini, pertunjukan “layar tancap” kemudian berkembang ke sejumlah kawasan di Saudi: Riyadh, Abha, Jeddah, dan Taif. Di Jeddah sendiri dulu, konon, pernah ada sekitar 30 gedung bioskop atau rumah-rumah teater untuk menonton film. Karena dulu belum ada pelarangan dan pengharaman, para bisnisman dengan mudah mengembangkan industri film dan mendirikan gedung-gedung bioskop. Tak pelak jaringan senema dulu berkembang cukup pesat di Saudi. Al-Murabba, Bab Sharif, atau Abu Safeya adalah sekelumit contoh tempat-tempat populer untuk pertunjukan film.
Bukan hanya menonton film, Saudi dulu juga mampu melahirkan para sineas berbakat. Abdullah al-Muhaisen, yang pernah mendapat penghargaan Nefertiti Prize untuk film-filmnya, dikenal sebagai seneas pertama yang pada tahun 1975 meluncurkan film pertama tentang pengembangan kota Riyadh. Selain memperoduksi film, ia juga aktif ikut berbagai festival film internasional untuk mempromosikan Saudi.
Mimpi buruk bagi dunia perfilman terjadi setelah aksi teroris-ekstremis Juhayman al-Otaibi pada 1979 yang melakukan aksi berdarah: “kudeta Ka’bah” (tentang tragedi ini, silakan simak buku Yaroslav Trofimov, The Siege of Mecca). Meskipun gagal mengkudeta, sejak 1980-an, kaum radikal-konservatif cukup sukses mewarnai wacana keislaman dan politik keagamaan di Saudi. Sejak itu, gedung-gedung bisokop ditutup. Pertunjukan sinema dan menonton film dilarang dan diharamkan karena dianggap sebagai “kejahatan moral” dan bertentangan dengan nilai-nilai syariat dan norma-norma keislaman.
Meskipun dilarang di publik dan diharamkan oleh kelompok konservatif agama, warga Saudi kebanyakan tetap saja menonton secara diam-diam di rumah-rumah mereka. Kini, setelah selama lebih dari 35 tahun mati suri, industri perfilman kembali dibuka untuk umum dan disambut dengan suka cita oleh warga Saudi yang memang sudah lama merindukannya.
Pembukaan kembali industri perfilman ini tentu saja tidak lepas dari visi kemajuan dan spirit kemodernan dari sang Putra Mahkota yang masih muda belia, Muhammad bin Salman.
Kolom terkait:
Arab Saudi 2030: Menyembah Kapitalisme atau Menyumpahinya?
Muluskah Skenario Suksesi di Arab Saudi?
Revolusi Saudi dan Nasib Islam Indonesia
Pangeran Muhammad bin Salman dan Kontraksi Kelahiran Arab Saudi Baru