Sabtu, April 27, 2024

Menunggu Peran Turki dalam Krisis Qatar

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Menunggu Peran Turki dalam Krisis Qatar
Seorang pria berjalan melewati kantor Qatar Airways di Manama, Bahrain, Senin (5/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Hamad I Mohammed/djo/17

Menyusul tensi dan krisis Qatar yang melanda negara-negara Teluk, Rabu siang waktu setempat (7/6), parlemen Turki yang dikuasai Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) menyiapkan pembahasan anggaran untuk menyetujui pengiriman pasukan militer ke Qatar. Turki ingin menambah pasukan militer di pangkalan militernya di Qatar. Pangkalan militer ini diresmikan sejak tahun 2014 dan Turki sudah menempatkan pasukan reguler di kawasan Teluk itu.

Dalih rencana tambahan pengiriman pasukan militer ini adalah untuk latihan bersama dengan pasukan militer Qatar. Ahmet Demirok, duta besar Turki untuk Qatar, mengonfirmasi Turki bisa mengirimkan pasukan hingga 3.000 untuk diberangkatkan sebagai persiapan joint training exercises.

Melihat langkah cepat Turki dengan rencana pengiriman pasukan militer—meski untuk dalih latihan bersama—di tengah tensi yang terus memanas ibarat menyiapkan arang di tengah kobaran api. Lebih jauh, keputusan ini bisa dilihat sebagai antisipasi terjadinya ancaman sepihak yang pada akhirnya akan menambah runyam kawasan. Ini patut kita sayangkan karena Turki justru cenderung memihak dalam krisis di negara Teluk ini.

Krisis Qatar yang kemudian berakhir pada pemutusan hubungan bilateral di antara negara-negara Teluk bermula sejak Senin lalu (5 Juni). Pasalnya, negara kecil di Teluk Persia itu dihukum ramai-ramai oleh negara-negara tetangganya seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir dan kemudian disusul oleh Libya, Yaman, dan Maladewa yang sama-sama memutuskan hubungan diplomatik.

Dampak langsung dari pemutusan diplomatik tersebut adalah pemutusan kerja sama bilateral, pemulangan warga negara Qatar dari negara-negara bersangkutan, pemutusan jalur transportasi (darat, laut, dan udara), dan terakhir yang sangat signifikan adalah terganggunya kerja sama negara-negara Teluk yang bergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC).

Ketegangan ini, seperti diberitakan media-media kawasan, terjadi karena Qatar dinilai tidak ikut proaktif memerangi terorisme Ikhwanul Muslimin dan ISIS, dan juga karena kedekatannya dengan Iran. Meskipun alasan dihukumnya Qatar terlalu dibuat-buat oleh Arab Saudi, sebagai negara yang sama-sama banyak mensponsori terorisme, negara-negara penghukum ini terus bersikukuh untuk mendepak Qatar.

Menangggapi tuduhan bersama yang dikomandani oleh Arab Saudi tersebut, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ikut mengambil sikap cepat. Dalam salah satu kesempatan pada Selasa (6 Juni), Presiden Erdogan menegaskan, “Saya tidak menerima kalau Qatar dibilang terlibat dalam dukungan terhadap terorisme. Jika memang kasus ini benar terjadi, saya adalah orang pertama yang melawan. Di sini ada permainan lain yang sedang dimainkan. Tapi siapa yang berada di balik permainan ini belum kita tahu.”

Kemarin, bersama Iran, Turki sudah membicarakan serius tentang ketersediaan logistik di Qatar menyusul pemutusan kiriman bahan-bahan makanan yang biasanya diimpor dari Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Pihak internal Qatar sendiri sudah mengonfirmasi bahwa kebutuhan sandang pangan secara serius mulai diproses demi ketercukupan konsumsi mereka dengan hadirnya Turki dan Iran juga negara-negara lain.

Posisi Urgen Turki

Dalam situasi panas seperti ini, Turki diharapkan oleh banyak pihak di Timur Tengah dan khususnya di kawasna Teluk untuk menjadi mediator. Turki mempunyai hubungan bilateral yang sangat baik dengan semua negara Teluk, termasuk kawasan lain di Timur Tengan, selain Suriah tentunya. Peran dan posisi besar ini harus menjadi kartu truf bagi Turki untuk menyelesaikan krisis Qatar secara win-win solution.

Melalui Juru Bicara Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmuş, Presiden Turki diberitakan sudah mengupayakan langkah strategis dengan menghubungi semua kepala negara yang tengah bersitegang. Di samping itu, Turki juga melakukan komunikasi dengan Rusia dan Iran sebagai pihak-pihak yang berada di luar pusaran konflik langsung mereka.

Selaras dengan itu, harapan kepada Turki agar menjadi mediator disampaikan oleh Abdullah Alshimarry dari Diplomatic Studies Center di Riyadh. “The Turkish government and the Turkish people are a friend of Gulf states and their people. As the president of the Organization of Islamic Cooperation, it is natural for the Turkish government to want to take on a mediator role for the Gulf crisis,” demikianpesannya seperti dikutip oleh Daily Sabah (7 Juni).

Tuntutan Turki agar menjadi mediator yang netral juga datang dari negara kawasan Timur Tengah sendiri. Tentu ini justru akan menjadi kesempatan emas bagi Turki untuk menunjukkan posisi dan kekuatannya di kawasan Teluk dengan menempatkan dirinya sebagai mediator yang mampu menyelesaikan tensi dan krisis Qatar. Turki harus sedikit sabar untuk membuang ego-nasional mereka yang hanya karena Qatar secara kawat diplomatik dekat.

Jika tujuan yang ingin Turki raih adalah demi mencapai stabilitas bersama di kawasan Teluk khususnya, tak ada alasan lain bagi Turki selain menempatkan dirinya sebagai jembatan yang bisa mempertemukan para pihak yang berkonflik.Turki harus konsisten dengan menjaga sikap dan langkah jernih di tengah intrik dan manuver banyak kepentingan di kawasan.

Timur Tengah secara umum adalah geografi yang tidak bisa diam dari intrik dan manuver kepentingan yang kemudian berakhir dengan pemusnahan massal seperti perang dan agresi militer sejenisnya. Kebijakan luar negeri Turki yang dinilai gagal dalam konfik Suriah saat ini harus dijadikan pelajaran penting untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan mendasar yang bisa berdampak buruk terhadap kawasan.

Bagaimanapun pentingnya minyak di Qatar dan Turki sudah menjalin hubungan baik dengan mereka, jika kawasan tidak kondusif dan apalagi pendekatan militer yang diambil, bagi Turki itu sama halnya bermain di tengah mara bahaya.

Turki tentu punya hak mutlak untuk memutuskan kebijakan luar negerinya. Erdogan sendiri secara tegas mengatakan Katar’la ilişkilerimizi geliştirmeye devam edeceğiz (Kami akan melanjutkan peningkatan kerja sama dengan Qatar) sebagai simpati dan dukungan moral langsung kepada Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dan rakyatnya.

Tapi, pelajaran penting di tengah konflik kawasan seperti Suriah, Libya, Mesir, dan negara Arab lainnya harus dijadikan pijakan demi menyelesaikan masalah secara damai. Sebab, hanya dengan begitu kawasan Timur Tengah yang sudah porak poranda itu bisa menyimpan secercah harapan demi membangun kembali stabilitas keamanan di tengah mereka sendiri.

Selain Turki, tanpa sikap netralnya di tengah krisis Qatar ini, kawasan Timur Tengah tidak ada lagi aktor dan stakeholder netral lain yang punya kekuatan dan pengaruh kuat dalam kancah internasional. Dan Turki bisa menengahi tensi yang sangat mungkin akan dibawa pada arus ketegangan politik antara kubu Amerika Serikat di pihak Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan kubu Rusia di pihak Qatar dengan beking Iran.

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.