Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, Republik Turki menghadapi cukup banyak tantangan kehidupan demokrasi. Misalnya, malam kudeta 15 Juli 2016 lalu, salah satu peristiwa mencekam di kota-kota besar seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Eskişehir. Ataupun di pelosok kota-kota kecil seantero Turki.
Sementara itu, persis setahun lalu, 16 April 2017, rakyat Turki telah melangsungkan referendum terkait perubahan beberapa pasal dalam konstitusi pemerintahannya. Kedua peristiwa di atas, secara tidak langsung telah menjadi arsip sejarah dalam perjalanan demokrasi di Turki.
Dalam tulisan kali ini, saya secara ringkas akan fokus pada penelurusan dinamika pasca referendum 2017, khususnya dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.
Persentase hasil referendum 16 April 2017 adalah 51.37% suara memilih ‘Evet’ (Iya), dan 48.63% memilih ‘Hayır’ (Tidak). Silakan cek tautan ini: referandum.ntv.com
Partai Politik Baru
Nama Meral Akşener kini semakin banyak dikenal publik di Turki. Perempuan yang aktif di partai politik ini membuat terobosan dengan membentuk partai politik baru. İyi Parti (Good Party—Partai Baik). Tepatnya, pada 25 Oktober 2017 lalu, Akşener secara resmi telah mendeklarasikan pendirian İyi Parti.
Sebelumnya Akşener adalah politisi yang pernah aktif di partai gerakan nasionalis (Milliyetçi Hareket Partisi—Nationalist Movement Party). Inisiatif ini mendapatkan dukungan dari para politisi lain. Salah satunya, Aytun Çıray, yang sebelumnya aktif di CHP (Cumhuriyet Halk Partisi/Republican People’s Party—Partai Rakyat Republik) kemudian memutuskan keluar dari partai tersebut dan bergabung dengan İyi Parti.
Meral Akşener diperkirakan akan ikut dalam proses Pemilihan Umum 2019 mendatang. Namanya pun masuk dalam calon presiden yang akan berkompetisi dengan Recep Tayip Erdoğan. Untuk memantapkan hal tersebut, Akşener berniat membawa iklim demokrasi yang lebih baik bagi Turki.
“Ini adalah saatnya untuk mengatakan hal-hal yang baru. Ya, kami punya masalah besar. Namun, Turki memiliki kekuatan yang cukup untuk menyelesaikannya. Kami memiliki harapan dan impian. Kami menginginkan Turki yang sejahtera dan adil. Kami menginginkan masyarakat yang bebas. Kami ingin Turki yang bahagia”, ujar Akşener saat deklarasi partainya (baca: http://www.hurriyetdailynews.com/aksener)
İyi Parti dan CHP terus melakukan konsolidasi politik secara intensif untuk 2019 mendatang, khususnya terkait wacana pencalonan Akşener sebagai calon presiden. Sementara itu, pada 20 Desember 2017 tersiar sebuah kabar pendirian partai baru lainnya, yakni The Ötüken Union Party. Partai ini mengusung cita-cita pemurnian ras Turki dan berambisi memiliki otoritas yang superior di dunia.
Selain itu, partai poltik yang tergolong rasis ini menegaskan hal-hal lain untuk visi dan misinya. Simak saja pernyataan mereka seperti yang dilansir oleh Hurriyet Daily News:
“Partai yang mendasarkan kebijakanya pada ras telah memilih Turki sebagai ras yang unggul, bertekad menutup sekolah menengah kejuruan, memberlakukan kembali hukuman mati, menghentikan masuknya pengungsi dan membatalkan kewarganegaraan mereka yang bermigrasi ke Turki dari luar negeri.” (first-racist-political-party-founded-in-turkey).
Sebagai informasi, sampai sekarang setidaknya ada 88 partai politik aktif di Turki. İyi Parti dan Ötüken adalah dua dari empat partai baru yang dideklarasikan pada 2017.
Sektor Sosial
Perang dan krisis politik yang ada di Suriah secara tidak langsung telah membawa dampak sosial. Statistik menunjukkan sebanyak 3.57 juta pengungsi asal Suriah kini hidup di Turki. Namun, perlahan para pengungsi ini dipulangkan ke Suriah setelah suksesnya Operasi Ranting Zaitun (Zeytin Dalı Hareketi) beberapa hari lalu [baca juga: more-than-160000-syrian-refugees-return-to-regions-liberated-from-ypg-daesh)
Selain itu, pengungsi asal Afghanistan juga meningkat sekitar 400 persen dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sementara itu, pasca kudeta berdarah 2016 silam pemerintah Turki terus melakukan upaya peningkatan stabilitas nasional, terutama di bidang keamanan. Penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai bagian dari kudeta tersebut juga masih berlanjut. Terutama dari kelompok jemaah Fethullah Gülen.
Sebagai antisipasi dan penegaskan situasi keamanan nasional, pemerintah Turki berencana memperpanjang keadaan darurat. Dalam bahasa Turki kondisi ini dikenal dengan istilah OHAL (Olağanüstü).
Sejauh ini sudah enam kali perpanjangan keadaan darurat di Turki. Dan jika disetujui pada 17 April esok, situasi ini menjadi yang ketujuh kalinya. Untuk diketahui perpanjangan masa darurat berlaku selama tiga bulan.
Nilai Tukar Lira Melemah
11 April lalu, nilai tukar Lira (mata uang Turki) terus merosot. Tercatat nilai Lira berada pada angka 4.1166 terhadap dolar Amerika Serikat. Dan sebesar 5.1435 terhadap mata uang Euro. Situasi ini merupakan titik terendah dengan depresiasi sebesar 8,5 persen pada tahun ini.
Perdana Menteri Binali Yıldırım menyatakan, salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya nilai tukar Lira adalah adanya kondisi ketidakpastian yang terjadi di wilayah regional dan juga global. Dirinya menambahkan, merosotnya nila Lira tidak sesuai jika melihat realitas yang ada di Turki saat ini. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Menteri Perekonomian Nihat Zeybekci saat diwawancarai oleh Bloomberg HT.
Sementara itu, Presiden Recep Tayip Erdoğan juga merespons situasi ekonomi Turki. Ia merasa ada permainan yang dilakukan oleh musuh-musuh Turki. Seraya menegaskan, “ada yang bermain dalam ekonomi kita (Turki). Saya menyerukan kepada mereka yang menyerang ekonomi kami: Anda tidak akan berhasil. Sama seperti Anda gagal sebelumnya. Dan Anda akan gagal lagi”, ujar Erdoğan. (baca: www.hurriyetdailynews.com/turkish-economy).
Turki tentu saja memiliki potensi untuk menjadi negara maju dan terus meningkatkan kualitas demokrasi serta pertumbuhan ekonominya. Tantangan-tantangan pada skala regional dan global harus terus dihadapi dengan cara membangun iklim pemerintahan yang diharapkan terus menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial.
Pada tahun 2023 nanti, Turki akan merayakan 100 tahun berdirinya sebagai negara republik. Sejak lima tahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Turki sangat masif. Negara ini juga terus melakukan diplomasi dengan negara-negara lainnya sebagai upaya membangun kerjasama dengan Uni Eropa dan solidaritas, baik di tingkat regional maupun internasional.
Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pemerintah Turki, terutama penguatan sendi-sendi demokrasi dan pengawasan antarsistem yang baik. Patut diketahui juga bahwa publik internasional pasti akan terus menyorot dan menaruh perhatian terhadap perkembangan demokrasi Turki, misalnya dibidang penegakan hak asasi manusia (HAM).
Seperti dilansir The Guardian, penanganan isu-isu HAM setelah kudeta 2016 mendapatkan respons dari akademisi dan aktivis di dunia. Salah satunya adalah Noam Chomsky yang mengritisi demokrasi dan mengajak untuk menyelesaikan masalah HAM yang ada di Turki demi tercapainya keadilan sosial.
Kolom terkait:
Menakar Nasib Buruk Demokrasi Turki
Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta