Minggu, Oktober 13, 2024

Mengecam Kebijakan Trump yang Islamofobik

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Rosalie Gurna, 9, holds a sign in support of Muslim family members as people protest against U.S. President Donald Trump's travel ban on Muslim majority countries, at the International terminal at Los Angeles International Airport (LAX) in Los Angeles, California, U.S., January 28, 2017. REUTERS/Patrick T. Fallon TPX IMAGES OF THE DAY *** Local Caption *** Rosalie Gurna, 9, memegang papan mendukung anggota keluarga Muslim saat warga memprotes larangan perjalanan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada negara-negara mayoritas Muslim di terminal internasional di Bandara Internasional Los Angeles (LAX) di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Sabtu (28/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Patrick T. Fallon/cfo/17
Rosalie Gurna (9 tahun) memegang papan mendukung anggota keluarga Muslim saat warga memprotes larangan perjalanan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada negara-negara mayoritas Muslim di di Bandara Internasional Los Angeles, California, AS, Sabtu (28/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Patrick T. Fallon/cfo/17

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan larangan dan penahanan masuk ke wilayah Amerika kepada setiap individu tanpa kewarganegaraan Amerika dari tujuh negara mayoritas Muslim (Iran, Irak, Libia, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman) selama 90 hari dan penangguhan selama 120 hari proses pengungsi dari ketujuh negara ini.

Kebijakan ini dilatarbelakangi janji kampanye untuk melindungi Amerika dari potensi dan ancaman terorisme. Tujuh negara ini dianggap sebagai negara-negara konflik dan, meskipun tidak disebut, adalah mayoritas penduduk Muslim.

Meskipun beberapa kali disebutkan perintah itu bukan menyerang Islam sebagai agama, pernyataan Trump bahwa pengungsi Kristen harus diprioritaskan, memperkuat anggapan Islamofobia di balik itu. Draf awal perintah ini yang menyebut “fatwa-fatwa kekerasan” dan proposal sebelumnya yang menyebut jihad dan syari’ah, menunjukkan Islamofobia.

Baru saja penembakan banyak Muslim di masjid di Quebec, Kanada, yang dilakukan anak muda yang anti-imigran dan pendukung Donald Trump, makin memperkuat anggapan Islamofobia in action, dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan terhadap simbol-simbol Islam dan umat Islam di Barat.

Protes bermunculan dari berbagai kalangan umum di Amerika dan di berbagai dunia, bahkan beberapa senator dari Partai Republik dan gubernur-gubernur negara bagian. Protes dari berbagai elemen warga Amerika, termasuk Kristen, Yahudi, Sikh, dan banyak lainnya, di bandara-bandara meluas.

Lembaga-lembaga bantuan hukum, seperti American Civil Liberties Union (ACLU), dan Council of American-Islamic Relations (CAIR), membantu pendatang yang terkena dampak kebijakan ini. Hari ini mantan Presiden Obama pun mengecam kebijakan imigrasi Trump ini karena bertentangan dengan nilai-nilai Amerika yang selama ini diperjuangkan, dan ia pun mendukung protes-protes itu.

Retorika dan kebijakan Islamofobik ini telah menyentuh rasa keadilan dan rasa solidaritas bukan hanya sesama warga Muslim dan warga negara dari tujuh negara yang terkena langsung, tapi juga sesama warga di Amerika dan bahkan warga negara di berbagai belahan dunia.

Kalangan akademisi studi agama-agama, studi Islam, sejarah, antropologi, Asosiasi Kajian Timur Tengah, dan kampus-kampus, termasuk University of California, mengeluarkan pernyataan kritik dan kecaman terhadap kebijakan imigrasi ini, yang dianggap tidak berkemanusiaan, tidak akan efektif menangkal terorisme, tidak berdasar nilai-nilai keamerikaan seperti kemajemukan dan kebebasan agama, dan tidak akan membuat Amerika lebih aman. Pendidikan tinggi di Amerika yang sangat majemuk agama dan kebangsaan pada dosen, mahasiswa, dan stafnya, pun akan terancam.

Amerika Serikat adalah negara demokrasi dan negara hukum yang menjamin kebebasan beragama, dan tidak menjadikan agama dan asal negara sebagai alasan diskriminasi. Perintah pelarangan imigran dan pengungsi itu dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang menjamin kebebasan beragama.

Harus ditekankan, umat Islam di seluruh dunia, yang berjumlah hampir 1,7 miliar, sangatlah majemuk, namun mayoritas Muslim di Amerika dan di negara-negara Timur Tengah, tidaklah berbeda dengan orang-orang Amerika secara umum: ingin hidup layak, berpendidikan, sehat dan sejahtera. Retorika yang menstigmatisasi Islam sebagai agama radikal teroris justru membahayakan hubungan antara umat Kristen dan umat Islam dan antara komunitas umat manusia.

Pendatang dan pengungsi dari tujuh negara yang disebut justru adalah korban dari diskriminasi dan persekusi elite politik di negeri mereka dan datang ke Amerika sebagai pelajar dan pekerja, dan menjadi bagian dari komunitas Amerika. Mereka bukanlah ancaman bagi keamanan nasional Amerika. Mereka bukanlah kriminal. Mereka adalah penyokong kejayaan dan kemajuan Amerika.

Komunitas akademik di Amerika menolak keras aksi dan kebijakan yang melakukan stereotipe dan diskriminasi berdasar agama, kebangsaan, ras, gender, atau karakteristik personal atau identitas apa pun. Slogan “No ban, no wall”, “No Muslim Ban”, muncul di mana-mana.

Ada kekhawatiran terhadap nasib profesor dan mahasiswa yang meneliti dan menulis tentang Islam dan gerakan-gerakan Islam, seperti Ikhwanul Muslimin yang masuk daftar kelompok teroris. Begitu pula kekhawatiran makin sulitnya kajian-kajian, seminar-seminar internasional, dan kerjasama serta pertukaran pendidikan.

Menurut kajian University of North Carolina Chapel Hill, tidak benar anggapan bahwa Amerika terancam ekstremisme kekerasan. Serangan teroris yang dilakukan Muslim hanya sepertiga dari satu persen dari semua pembunuhan di Amerika tahun lalu. Pembunuhan justru paling banyak dilakukan karena pemilikan senjata yang terlalu bebas (2 kejadian dibanding 11.737 kejadian). Pertanyaannya, apakah Trump mau menerima dan mengikuti kajian-kajian ilmiah tentang terorisme itu? Apakah orang-orang sekitar Trump mau menggunakan akal sehat mereka?

Maukah Presiden Trump mengajak dan melibatkan tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi Islam di Amerika (dan bahkan di dunia) dalam upaya melawan terorisme? Dengan kebijakan di atas, Trump meminggirkan bahkan memperkuat stigmatisasi terhadap Islam dan umat Islam yang juga adalah korban teror-teror di berbagai tempat.

Memang, Indonesia tidak termasuk dari tujuh negara yang terkena. Tapi umat Islam Indonesia yang sedang studi, bekerja, dan tinggal di Amerika Serikat, dihimbau untuk tetap tenang dan menjalankan kegiatan seperti biasa. Mereka juga agar menjaga silaturahim sesama umat Islam dan sesama warga diaspora di Amerika. Mereka diharapkan berkonsultasi dengan pihak Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI yang siap membantu, selain dengan organisasi-organisasi lokal di Amerika Serikat seperti ACLU dan CAIR disebut di atas.

Pemerintah Indonesia menyesalkan Perintah Eksekutif Presiden Trump. Larangan terhadap sebagian dari umat Islam mulai menyebabkan rasa khawatir dan gelisah, dan bahkan rasa takut setiap Muslim dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Kami tidak menginginkan kerjasama antara organisasi dan antar negara—termasuk antara Indonesia dan Amerika Serikat—mendapatkan hambatan psikologis dan moral.

Tokoh-tokoh umat Islam, organisasi-organisasi umat Islam, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berada di garda depan dalam upaya menangkal terorisme dan ideologi-ideologi radikal di Indonesia dan bahkan di mancanegara. Kebijakan Trump akan kontraproduktif bagi upaya umat Islam sendiri dalam menangkal ideologi ekstremisme dan terorisme.

Organisasi-organisasi Muslim di Indonesia dan dunia memiliki tanggung jawab bersama-bersama dengan seluruh organisasi agama dan non-agama di dunia, di negara mana pun, untuk menjaga rasa saling percaya, rasa aman, dan rasa damai bagi seluruh umat manusia. Suara dan desakan tokoh-tokoh Muslim Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sangat penting dan strategis.

Pada saat yang sama, umat Islam harus berterima kasih kepada semua pihak, termasuk tokoh, organisasi, dan individu-individu Muslim dan non-Muslim di Amerika, yang telah, sedang, dan terus menunjukkan solidaritas mereka terhadap Islam dan umat Islam sebagai sesama warga dunia dan umat manusia.

Retorika dan kebijakan pemerintah Trump jangan disamakan dengan bangsa Amerika yang majemuk dan bahkan banyak yang menolak kebijakan Presiden mereka sendiri. Tidak juga jadi dalih sebagian orang di Indonesia untuk anti-Amerika, anti-Kristen, dan anti-pendatang.

Kepada umat Islam di Indonesia dan di dunia, untuk menahan diri dan tidak melakukan reaksi yang berlebihan, apalagi tindakan kekerasan terhadap warga Amerika, umat Kristen, atau orang yang dianggap orang asing.

Menanggapi kebijakan Trump yang Islamofobik harus dengan perjuangan hukum, aktivisme protes secara damai, (bagi warganegara Amerika Serikat) mengontak dan mendesak perwakilan-perwakilan mereka di wilayah Amerika, membuat gerakan penyadaran tentang Islam dan umat Islam Amerika, Indonesia, dan dunia, tentang pentingnya demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai keadilan dan solidaritas kemanusiaan yang melampaui nasionalisme sempit dan membahayakan warga negaranya sendiri dan warga dunia.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.