Senin, Oktober 14, 2024

Mencintai Militer, Bumbu Nasionalisme Turki

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Mungkin saya berlebihan jika mengatakan bahwa rakyat Turki adalah rakyat paling mencintai tentara dan angkatan perang di antara negara-negara lain di dunia. Namun begitu, saya sadar bahwa pembuktian dan parameter di balik kecintaan rakyat terhadap tentara dan pasukan militer tentu membutuhkan data valid dan ukuran-ukuran yang rigid sebelum menjadi klaim. Tetapi, di sini, saya ingin menunjukkan sebuah peristiwa yang menggambarkan antusiasme rakyat Turki dalam menyalati dan mengantar seorang tentara yang meninggal dalam perang di Afrin, Suriah.

Namanya Ömer Bilal Akpınar, pejabat infanteri senior berpangkat sersan dari angkatan bersejata Turki yang meninggal pada 8 Februari 2018. Ada dua hal yang sangat menyentuh bagi semua rakyat Turki dari sosok yang mengabdikan hidupnya untuk membela negara dan bangsa Turki ini.

Pertama, tentu saja jumlah rakyat yang menyalati, mendoakan, dan mengantarkannya ke liang lahat. Seperti dilaporkan oleh media-media lokal Turki termasuk Yeniakit, puluhan rakyat membacakan taknis dan doa sembari menyemut sejak di rumah alhamhum di Emek Mahallesi, kabupaten Safranbolu. Setelah itu, mayat dibawa ke pusat kota Karabük (Karabük kent meydani) dan dilakukan upacara pelepasan di Karabük Valiliği (video dan foto prosesi pelepasan (lihat Kaynak Yeniçağ: Şehit Astsubay Ömer Bilal Akpınar’ın ağlatan vasiyeti!)

Kedua, surat wasiat yang ditulisnya sendiri. Surat wasiat adalah bagian dari ritual para tentara sebelum berangkat tugas dan mengangkat senjata. Karena, bagi mereka, hanya ada dua kemungkinan: menang atau meninggal di pertempuran.

Ömer Bilal menjadi salah satu dari mereka yang telah menulis surat wasiat dan membuat rakyat Turki tersedak, “Saudaraku, perang ini adalah perang salib, melawan dengan iman, antara kebenaran dan kebatilan, kekufuran dan tauhid… jagalah keluargaku. Kuburlah aku di Safranbolu, saudaraku.”

Selain Ömer Bilal, ada Hüseyin Şahin dari Samsun yang juga dihadiri oleh ribuan orang dan bahkan diklaim juga hingga mencapai jumlah sekitar puluhan ribu (https://www.haberler.com/dha-yurt-samsunlu-sehidi-10-bin-kisi-son-10552594-haberi/); Nurullah Seçen dari kabupaten Ereğli, Konya yang juga dilaporkan mencapai puluhan ribu (Konyalı şehidi son yolculuğuna 10 bin kişi uğurladı); dan terakhir terjadi pada sosok tentara Ahmet Aktepe yang berasal dari Erzurum dengan dihadiri ribuan pelayat yang ikut menyalati dan mendoakannya (lihat di sini http://www.ensonhaber.com/afrin-sehidine-veda.html).

Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu acara pelepasan untuk para tentara yang telah gugur di Afrin selama operasi militer Turki yang sudah berjalan lebih dari tiga pekan hingga 12 Februari 2018. Jumlah tentara Turki yang gugur selama ini sudah lebih dari 100 personal dan melumpuhkan lebih dari 1.480 teroris dari pihak musuh.

Tapi, saya bisa memastikan bahwa dalam situasi rumit seperti ini—saat Turki berada dalam ancaman yang cukup serius di tengah absennya otoritas pemerintahan Suriah di bagian utara negara itu dan dinilai Turki akan menjadi tempat infiltrasi gerakan teroris yang mengancam Turki—rakyat Turki hadir secara nyata memberikan dukungan kepada para pejuang negara.

Sebelum lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa jumlah angka yang tertera dalam pemberitaan di atas tidak bisa diverifikasi secara pasti. Tetapi, secara gamblang kita bisa melihat gambar dan video yang menunjukkan partisipasi rakyat dalam keramaian yang sangat sesak seperti itu, misalnya yang paling mudah adalah gambar dari Karabük.

Mereka yang hadir di tengah-tengah pelepasan para şehit (syahid), istilah yang dipakai oleh orang Turki untuk menyebut mereka yang gugur membela negara, adalah rakyat jelata yang terpanggil secara tulus menyampaikan belasungkawa dan empati yang mendalam sebagai bangsa dan warga negara.

Meski tidak sedikit yang beroposisi terhadap pemerintahan dan menunjukkan penentangan atas kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden Recep Tayyip Erdoğan, rakyat Turki tidak bisa beroposisi melawan tentara mereka. Rakyat Turki menitipkan amanah kesatuan negara dan kedamaian internal bangsa kepada militer yang bertugas baik di perbatasan maupun di daerah-daerah yang menjadi sarang konflik di Turki.

Nasionalisme

Kenapa rakyat Turki begitu besar menunjukkan antusiasme dan dukungan mereka terhadap pasukan militer, khususnya yang bertugas perang dan menumpang separatis? Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari renungan dan pengamatan saya sendiri. Saya sering kali tertegun diam menyaksikan antusiasme rakyat Turki terhadap apa pun yang menyangkut perjuangan harga diri bangsa dan negara. Untuk menjawab pertanyaaan seperti itu saya coba masuk ke tengah emosi rakyat dan memori bersama (collective memory) yang hidup dan bergeriat di antara mereka.

Terma nasionalisme khas Turki tentu bisa diketengahkan di sini sebagai faktor umum dan terbentuk yang membentengi bagian terluar dari kehidupan bangsa. Jika diibaratkan sebuah benteng, nasionalisme bertugas melindungi warga negara Turki dari serangan dan ancaman musuh dari luar. Tetapi, di sisi lain, nasionalisme Turki justru sangat embedded dan terinternalisasi pada setiap warga, menjadi paradigma dan karakter kebangsaan di bawah republik Turki.

Para ideolog Turki modern yang telah meletakkan fondasi nasionalisme seperti Namık Kemal (1940-1888), Ziya Gökalp (1876-1924), Ahmed Agaoğlu (1869-1939) dan Yusuf Akçura (1876-1935) tetap bertahan hingga nyaris satu abad. Nasionalisme Turki adalah proyek ideologi politik dan kebudayaan untuk meneguhkan eksistensi suku bangsa Turki (Turk sebagai suatu etnik), dalam semua aspeknya, yang nyaris sama seperti langkah Jepang dengan mengidentifikasi dasar-dasar gerakan nasionalisme mereka melalui kebudayaan (Nihonjinron).

Sebagai ideologi negara, nasionalisme bekerja sangat efektif dalam mengelola sentimen atas nama nation dan national. Dua ranah ini sangat penting bagi nasionalisme Turki dengan, misalnya, dibuatkan Undang-Undang Pasal 301 yang mengatur secara khusus tentang sentimen nation dan national, salah satunya misalnya tentang insult Turkishness atau the Turkish nation. Pasal tersebut satu sisi sangat rawan menjadi alat pembungkaman, misalnya pernah menyasar ke novelis Orhan Pamuk. Tetapi, di sisi lain, ia menjadi sangat efektif dalam proses ideologisasi nasionalisme dengan mengangkat sentimen bangsa.

Selain nasionalisme, ancaman nasional adalah faktor penyatu bagi mereka. Di balik kegagahannya sebagai bangsa besar penakluk, bangsa Turki di waktu bersamaan adalah bangsa yang cukup vulnerable, yaitu bangsa yang selalu merasa dikepung dan diancam oleh para musuh.

Saya memakai terma vulnerable bukan dalam makna etimologi, tetapi lebih kepada pemahaman terminologis untuk mewadahi perasaan masif dari sebuah bangsa yang merasa selalu ingin dipecah-belah. Meski narasi ini tidak bisa diklaim sebagai memori kolektif (karena perlu penelitian lebih lanjut) yang terjadi secara massal, perasaan rentan akan perpecahan (karıştırmak) menjadi narasi yang cukup mudah ditemui di tengah-tengah rakyat.

Mereka sangat taktis dan efektif dalam mengenali mereka yang dianggap musuh. Rakyat Turki dengan cukup mudah bisa mengidentifikasi musuh-musuh mereka, misalnya Armenia, Yunani, Prancis, Inggris, Israel, dan Amerika.

Di samping itu, organisasi yang berpotensi memecah-belah seperti PKK (Partai Pekerja Kurdistan), kelompok komunis dan organisasi yang berafiliasi dengannya, Al-Qaeda, Hizbut Tahrir, dan ISIS adalah musuh nyata di internal  negara. Sementara dari luar negeri, khususnya di perbatasan mereka, muncul nama organisasi seperti PYD/YPG (faksi militer Kurdi di Irak dan Suriah) yang menjadi target operasi militer Turki lewat operasi Ranting Zaitun (Zeytin Dali Harekati). Siapa pun yang berani berafiliasi dan mendukung kelompok di atas secara gamblang akan menjadi musuh rakyat Turki.

Dalam kondisi demikian, kepercayaan rakyat Turki hanya bersandar kepada pasukan keamanan, mulai dari polisi hingga angkatan bersenjata yang mereka miliki. Pasukan keamanan Turki selalu berjibaku dengan berbagai ancaman bangsa dan negara, baik internal maupun eksternal. Mereka jelas bekerja melawan maut yang secara langsung terlibat dalam misi perang ataupun operasi keamanan.

Tentara dan pasukan keamanan Turki tidak pernah berada dalam situasi yang tenang, alih-alih tidak berfungsi. Lihat korban-korban tewas dari pihak militer Turki yang terus berguguran dari waktu ke waktu. Misalnya, dalam operasi yang dilakukan kepada PKK di Turki bagian tenggara dan timur, sudah tidak terhitung jumlah pasukan keamanan Turki yang tewas dalam menjalankan tugasnya.

Untuk itu, empati dan bahkan emosi yang lahir di tengah situasi seperti itu adalah apa yang bisa dilihat dan disaksikan di Turki hari ini. Saya percaya bahwa nasionalisme dan kecintaan rakyat Turki (atau bahkan kita semua) kepada aparat militer akan semakin menggebu-gebu di tengah situasi yang menuntut empati maksimal. Tetapi, sebaliknya, jika aparat keamanan dan pasukan militer hanya menggebuki rakyatnya sendiri karena melakukan demo mempertahankan tanahnya dari penggusuran, jangan berharap mendapatkan empati dan rasa cinta yang tulus dari rakyat.

Kolom terkait:

Langgam 94 Tahun Nasionalisme Turki

Erdogan, Rohingya, dan Politik Turki di Uzak Dogu

Menakar Nasib Buruk Demokrasi Turki

Setahun Kudeta Berdarah di Turki

Erdogan dan Satu Tahun Kudeta di Turki

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.