Seperti yang sudah saya prediksi selama ini bahwa seiring berakhirnya kekuasaan ISIS, negeri Irak akan menghadapi konflik antara Pemerintah Irak dan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG). KRG yang menjalankan pemerintahan semi-otonomi kembali ke agenda utamanya, yakni menuntut kemerdekaan penuh dari Irak (baca: Menanti Negara Kurdi di Timur Tengah).
Keinginan KRG memisahkan diri dari Irak sebenarnya bukanlah isu baru. Ini agenda lama KRG di Irak yang harus dipahami dan dihormati. Hanya saja isu ini memanas ketika KRG berkomitmen pada tujuan tersebut dengan mengadakan referendum kemerdekaan pada bulan lalu dan hasil pemungutan suara mayoritas pemilih setuju berpisah dengan Irak.
Dunia harus melihat bahwa sebenarnya ini adalah referendum yang kedua dalam sejarah Kurdi di Irak. Pada tahun 2005, ada referendum di mana sekitar 98 persen memilih kemerdekaan. Yang membedakan adalah, referendum pada tahun 2005 diadakan oleh organisasi masyarakat sipil. Adapun referendum kali ini formal dan diselenggarakan oleh pemerintah (KRG) dan partai politik.
KRG juga sudah menekankan bahwa hasil referendum tidak otomatis diikuti dengan deklarasi sepihak kemerdekaan Kurdistan, KRG akan tetap memilih jalan damai bernegoisasi dengan Baghdad. Tapi Baghdad memilih menolaknya. Meskipun baru-baru ini elite KRG menawarkan proposal pembekuan hasil referendum asalkan Baghdad bersedia memulai dialog terbuka dengan Kurdistan.
Sayangnya, sekali lagi, Baghdad bergeming. Baghdad lebih memilih mengerahkan pasukan militer dan milisi bersenjata yang selama ini ditugaskan menumpas ISIS untuk mengambil kota-kota yang disengketakan dari pasukan Kurdistan (Peshmerga).
Mungkin Baghdad berpikir jika pihaknya menerima proposal atau tawaran penangguhan hasil referendum untuk memulai dialog, itu sama artinya Baghdad mengakui keabsahan terselenggaranya referendum Kurdistan. Baghdad rupanya masih bersikukuh pada pembatalan hasil referendum, bukan penangguhan.
Sesungguhnya Kurdistan di Irak (KRG) sudah “independen” sejak tahun 2003. Praktis sebenarnya Irak ada dua negara, selama ini berpura-pura bahwa itu adalah negara kesatuan.
Kalau mau jujur, Kurdistan adalah satu-satunya tempat di Irak yang berfungsi dengan baik. Ini adalah tempat di mana sekelompok orang bisa berjalan di jalanan dengan aman. Kurdistan memang belum sempurna, tapi jauh lebih baik dan stabil daripada wilayah di Irak lainnya.
Kurdistan telah menjadi tujuan pengungsi menyelamatkan diri dari seluruh Irak pada tahun-tahun terakhir saat ISIS menyerbu, sehingga jutaan di antaranya merupakan beban besar bagi ekonomi Kurdistan. Mengapa mereka melarikan diri ke Kurdistan? Karena tempat ini stabil dan LSM internasional berbasis di sana.
Bagaimana dengan pengamat yang mewanti-wanti kemerdekaan Kurdistan bahwa hal ini akan menghadapi masalah dengan tetangganya. Ya, memang begitu, lalu apa? Setiap negara di kawasan ini memiliki masalah dengan tetangganya. Hanya karena Erdogan vokal—di depan umum—menentang kemerdekaan Kurdistan, itu bukan alasan untuk mendengarkan Erdogan. KRG tidak pernah mendorong berdirinya negara Kurdi di Iran dan Turki, KRG hanya memperjuangkan bagian wilayahnya sendiri.
Tuntutan kemerdekaan Kurdistan sebenarnya masalah domestik Irak. Intervensi yang dilakukan Turki dan Iran dengan mengisolasi KRG membuat kedua negara tersebut tak ada bedanya seperti yang dilakukan Arab Saudi cs terhadap Qatar. Jika Kurdistan diisolasi, bukan hanya rakyat Kurdi yang menjadi korban, ada ratusan ribu pengungsi dari Irak korban ISIS di bawah perlindungan KRG yang akan mengalami nasib yang sama, jangan sampai kepentingan mengalahkan nilai-nilai kemanusian.
Seperti ketika Wakil Presiden Irak Nuri Al Maliki menyebut kemerdekaan Kurdistan berarti membiarkan kemunculan “Israel kedua” Irak, banyak orang cepat mengamini pernyataan itu. Sampai ada yang memplesetkan Kurdistan dengan nama “Yahudistan”. Dan ketika orang-orang Kurdistan mengibarkan bendera Israel saat referendum, hal itu dipandang mengkonfirmasi tuduhan tersebut.
Saya justru memandang hal itu adalah reaksi orang-orang Kurdistan, yang terbuka menunjukkan hubungan baik dengan Israel, karena Israel telah terang-terangan mendukung kemerdekaan Kurdistan. Sikap orang-orang Kurdi tersebut lebih bermartabat dibanding bangsa yang di depan umum menunjukkan permusuhan dengan Israel tapi diam-diam menjalin hubungan gelap dengan Tel Aviv.
Apakah Kurdistan sudah ideal untuk menjadi negara merdeka? Bukankah elite-elite KRG dikritik dengan masalah-masalah internal seperti nepotisme dan korupsi?.
Nepotisme dan korupsi adalah fakta kehidupan di sebagian besar wilayah, bukan hanya milik Kurdistan dan tak ada alasan untuk menganggap hal itu akan lebih buruk di masa depan daripada sekarang. Negara lain juga memiliki masalah dengan korupsi dan nepotisme. Semua bangsa yang mengejar kemerdekaan pasti punya masalah internal, pihak luar tidak berhak menjadikan itu alasan untuk membungkam keputusan rakyat Kurdistan untuk merdeka.
Jika masyakarakat internasional menentang kemerdekaan dan tidak mendukung inisiatif Kurdistan untuk berdialog damai dengan Baghdad, hal itu berarti bertentangan dengan nilai dan prinsip mereka sendiri.
Sebaiknya masyarakat internasional mencoba merenungkan pertanyaan sederhana ini: bila bangsa Arab bisa memiliki puluhan negara, kenapa bangsa Kurdi tidak berhak untuk memiliki satu negara? Padahal mereka memilih cara damai dan demokratis?
Rakyat Kurdistan telah mengekspresikan keputusan mereka sendiri, biarkan mereka menentukan takdirnya dengan damai, menentangnya, berarti menentang demokrasi.
Kolom terkait:
Menakar Ongkos Pembekuan Hasil Referendum Kurdistan
Menakar Skenario Pasca Referendum Kurdistan