Kamis, April 25, 2024

Menakar Nasib Buruk Demokrasi Turki

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
[Foto: Chris McGrath/Getty Images]

Dari hari ke hari, terhitung sejak awal 2013, absolute power yang bercokol di bawah pemerintahan AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) dengan tokoh sentral Presiden Recep Tayyip Erdogan semakin tidak terbendung. Manuver politik di bawah pemerintahan mereka dapat dilihat sebagai gelombang baru yang sulit ditemukan dalam sejarah Turki republik. Kekhawatiran kelompok oposisi ataupun kalangan intelektual Turki bisa dipahami sebagai antisipasi hilangnya warisan-warisan negara modern, tradisi intelektual, dan pilar-pilar demokrasi republik Turki yang telah menjadi jalan hidup bernegara sejak Kesultanan Usmani runtuh.

Praktik represi struktur negara terjadi pada medio Desember 2013 ketika pemerintah Turki menyatakan “perang terbuka” dengan kelompok Jemaah Gulen. Tuduhan sebagai parallel state atau state within state (kekuatan kelompok yang merongrong struktur negara dari dalam dan kemudian ditingkatkan menjadi Organisasi Teroris Gulen, FETO) bisa ditandai sebagai langkah krusial dalam politik internal Turki. Lembaga bisnis (sekolah, kursus, properti, rumah sakit, dan lainnya) yang berafiliasi dengan Gulen ditutup dengan berbagai cara.

Mayoritas rakyat Turki dibuat ternganga oleh manuver politik pemerintah dalam kebijakan menyapih lembaga dan bisnis afiliasi-Gulen. Rakyat Turki masih tidak percaya seberapa bahaya jejaring Gulen di internal pemerintahan ataupun di Turki secara umum. Sampai akhirnya meledak tragedi percobaan kudeta 15 Juli 2016 dan yang tertuduh sebagai mastermind adalah kelompok Gulen.

Langkah paling esktrim dan brutal diambil oleh pemerintah untuk menghabisi kelompok Gulen: semua pegawai negeri, baik sipil ataupun militer, dipecat dan mereka yang terbukti terlibat menyokong kudeta dipenjara.

Setelah tragedi kudeta, saya bisa memastikan lebih dari 95% rakyat Turki melawan Gulen demi menjaga demokrasi dan negara mereka. Hingga berbulan-bulan setelah kudeta, rakyat Turki semakin menunjukkan sikap antipati dan perlawanan kepada Gulen. Momentum kudeta menjadi arena bagi rakyat untuk membangun kesadaran tentang jejaring parallel state di tubuh negara, menyadari adanya duri dalam daging. Yang awalnya tidak menahu dan bahkan menolak ihwal gurita dan ancaman pendukung Gulen di dalam struktur negara, pun diam dan tercengang menerima fakta-fakta yang dihadirkan oleh pengadilan.

Sebenarnya, di kalangan para jurnalis dan investigator independen Turki sudah muncul keyakinan akan bahaya gerakan Gulen dalam struktur negara. Ahmet Sik, misalnya, pernah menulis buku investigasi yang sangat cemerlang berjudul Imamin Ordusu (Pasukan Imam). Buku ini terbit tahun 2011 tetapi dilarang beredar dan memaksa dirinya berhadapan dengan hukum. Belakangan muncul bukti bahwa pihak kepolisian dan pengadilan yang membredel buku dan menjebloskan dirinya ke penjara adalah komplotan Gulen yang ada di lingkaran elite militer.

Untuk itu, penyapihan kelompok dan pendukung afiliasi-Gulen seperti “mendapatkan izin ataupun sikap permisif” dari mayoritas rakyat Turki. Mereka mendukung langkah negara untuk membersihkan kelompok tersebut hingga ke akar-akarnya. Sampai pertengahan tahun 2017 lebih dari 150 orang ditangkap, dipecat, dan sebagian dari mereka, sekitar 8 ribu lebih, sudah dipenjara. Terhadap jejaring Gulen di atas, rakyat Turki satu suara.

Ada dua hal yang makin menandaskan sikap otoriter pemerintah Turki yang secara terbuka dilawan oleh kelompok-kelompok opisisi. Pertama, penangkapan terhadap ratusan wartawan (cum penulis) dan aktivis HAM dengan tuduhan “propoganda terorisme atau mendukung gerakan terorisme”. Kelompok oposisi Turki hari ini (yang notabene berasal dari republikan, kaum kiri, dan aktivis liberal) dan publik internasional bersuara kencang melawan upaya pembungkaman freedom of speech yang dilancarkan oleh pemerintah.

Sikap keras pemerintah Turki terhadap kelompok di atas, khususnya unsur media sebagai pilar demokrasi, mengafirmasi kekhawatiran munculnya politik otoritarian di Turki.

Tak kurang dari penulis kawakan dan wartawan penting di Turki seperti Asli Erdogan, Ahmet Sik, Necmiye Alpay, Ahmet Altan, Mehmet Altan, Şahin Alpay, Murat Sabuncu, Turhan Günay, dan Can Dundar, harus berhadapan dengan meja hijau. Mereka adalah aktivis demokrasi yang ingin kebebasan berpendapat mendapatkan tempat di Turki. Atas spirit tersebut, mereka menunjukkan perlawanannya lewat tulisan-tulisannya dan aksi demonstrasi yang mereka tunjukkan ke publik luas.

Kedua, adanya gelombang dan tekanan pemecatan tersembunyi dalam internal pemerintahan. Pemecatan tersembunyi atau dalam bahasa mereka ‘Erdogan istifasini istedi’ (Erdogan menginginkan mundur) seorang dari jabatannya bisa dibaca secara jeli sejak Perdana Menteri Ahmet Davutoglu menyatakan mundur pada 5 Mei 2016. Pengunduran Davutoglu tentu saja menyentak publik Turki, karena kebijakan dan marwah berpolitik seorang akademisi yang pernah bekerja di Malaysia itu sangat elegan dan mewakili wawasan berpolitik Turki-Islam modern.

Tetapi, kecurigaan bahwa dirinya diinginkan mundur oleh Presiden Erdogan akhirnya mencuat setelah Davutoglu menyampaikan pidato pengunduran dirinya di depan publik. Dia menyatakan bahwa langkah pengunduran dirinya “sebagai keharusan”, meski jabatannya tidak sampai tuntas empat tahun.

Sejak pengunduran diri Davutoglu saya melihat indikasi dan preseden buruk terhadap demokrasi Turki, karena ada tangan absolut yang secara nyata dapat menghentikan proses dan hasil-hasil demokrasi sebagai suara rakyat. Tangan absolut yang diproduksi oleh kehendak absolute power di Turki telah mencederai esensi demokrasi yang juga menjadi jargon di setiap kampanye pemilu para elite dari partai penguasa.

Fakta pengunduran diri yang dipicu oleh permintaan dan kehendak satu orang absolut yang menguasai Turki terus berlanjut. Pada 22 September lalu, Wali Kota Istanbul Kadir Toptas secara mengejutkan menyatakan pengunduran dirinya di depan publik. Alasan kenapa mengundurkan diri dari jabatan penting tersebut juga dibiarkan misterius dan publik Turki pun tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan besar.

Baik Davutoglu ataupun Toptas mempunyai satu suara yang sama untuk partai yang mengangkat mereka, yaitu AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan): mereka tidak akan meninggalkan partai yang sudah mereka besarkan. Sikap logowo dua politisi di atas justru menampar kelompok oposisi yang seringkali bisa mudah pecah oleh kepentingan internal partai atau gerakan. Dengan menunjukkan sikap elegan tanpa memperlihatkan kekecewaan dan perlawanan terhadap kekuatan internal partai, masa depan AKP sebagai partai penguasa tunggal di Turki dalam satu dekade terakhir akan terus terjaga.

Di samping Toptas sebagai orang kuat yang menduduki posisi kepala daerah di kota besar seperti Istanbul, ada Wali Kota Ankara Melih Gokcek yang juga mempunyai pengaruh besar bagi rakyat Turki, khususnya Ankara karena pengabdiannya selama 23 menjadi wali kota di ibu kota negara Turki. Sejak 1994, Gokcek telah menjadi bagian penting dari perkembangan Ankara.

Dalam pidato pengunduran dirinya pada 28 Oktober kemarin, Gokcek menyampaikan keberhasilan membangun Ankara selama lima periode di bawah kepemimpinannya, “Tahun 1994 Ankara adalah padang luas dan gersang (bozkir), dipenuhi oleh diskotik dan pelacuran… Ankara kami kami sulap menjadi  kota beriman. Bersama kami Ankara mengenal moda transportasi metro, teleferi, memperluas jalan dan membangun 312 jembatan tane köprü. Kami juga mengajari Turki bagaimana terbebas dari kemacetan lalu lintas.”

Kemudian, Gokcek melanjutkan, “istifami Recep Tayyip Erdoğan istedi,” yang artinya, “Erdogan menginginkan saya mundur.”

Gonjang-ganjing kabar tentang gelombang pengunduran diri muncul dari pemberitaan Kanal D Haber (2/10) bahwa kepala daerah Bursa, Balıkesir, Uşak, Niğde dan Nevşehir diminta untuk mengundurkan diri. Menurut agen berita yang sama, November ini kepala daerah Gaziantep, Trabzon, Afyon, Ordu, dan Antalya akan menjadi bagian penyapihan gelombang tekanan “pemecatan” tersembunyi. Meski kabar terakhir di atas belum bisa dikonfirmasi kepastiannya, manuver politik Erdogan semakin memperkuat dirinya sebagai absolute power yang tengah dipraktikkan di dalam pemerintahan.

Korbannya tentu saja suara rakyat, dan demokrasi itu sendiri. Karena kepala daerah yang dipilih secara demokratis dan mendapatkan mandat dari rakyat di masing-masing daerah akan terancam dengan keinginan satu tokoh semata. Mereka yang nanti mengundurkan diri, AKP sudah menyiapkan pengganti yang sesuai dengan skenario untuk memperkokoh dan mencapai tujuan politik kekuasaan Turki ke depan.

Kolom Terkait:

Langgam 94 Tahun Nasionalisme Turki

Setahun Kudeta Berdarah di Turki

Erdogan dan Satu Tahun Kudeta di Turki

Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta

Demam Erdogan di Indonesia

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.