Minggu, Oktober 6, 2024

Memerangi Terorisme, Belajar dari Turki

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Serangkaian aksi-aksi teror semakin hari semakin mengancam dan sekaligus menyita emosi bangsa Indonesia secara umum. Setelah investigasi dilakukan oleh pihak berwajib, beragam motif dan latar belakang di balik aksi tersebut muncul benderang. Tetapi ada satu hal yang kerap luput disampaikan ke khalayak bahwa sebelum tindakan terorisme, ada proses indoktrinasi ekstremis dan radikalis di balik nilai-nilai agama yang diajarkan. Dengan begitu, pemahaman yang didapatkan kerap kali mewujud pada hal yang penuh kebencian dan intoleran sejak dalam pikiran.

Kasus penyerangan di Gereja Lidwina, Sleman, Yogyakarta (12/02/2018) adalah contoh terbaru bagaimana kinerja pencekokan pemahaman keagamaan yang ekstrem tersebut dengan sangat mudah telah mengubah seseorang menjadi gila agama! 

Dalam tulisan ini, saya ingin menghadirkan Turki sebagai negara yang sama-sama berada dalam ancaman gerakan terorisme. Apalagi secara geografis Negeri Dua Benua tersebut berbatasan langsung dengan negara-negara berkonflik seperti Suriah dan Irak, sehingga tantangan dan ancaman manuver terorisme lebih besar daripada Indonesia.

Ragam gerakan terorisme yang dihadapi Turki  juga bukan melulu berasal dari kalangan ekstremis agama, tetapi gerakan separatis dan faksi kekerasan lainnya yang lahir dan diinfiltrasi oleh perang di kawasan juga menghantui Turki secara lebih mengerikan.

Akhir 2017, tepatnya pada 23 November, ada operasi antiteror yang dilakukan satuan pasukan keamanan Turki di Ankara. Mereka menemukan sebuah pondokan yang dipakai sebagai sekolah (medrese), berisi tıdak kurang dari 60 anak-anak yang dilatih oleh jaringan ISIS di Turki. Mereka mempunyai program khusus untuk mencekoki anak-anak kecil dengan pemahaman-pemahaman Islam versi mereka.

Di Indonesia, dengan model yang sama, misalnya, kita mempunyai beberapa pondok pesantren yang ditengarai menjadi infiltrasi benih-benih gerakan terorisme. Tempat-tempat seperti ini tergolong baru di Turki, berkembang khususnya setelah konflik perang sipil di Suriah meletus. Ada sekitar 16 guru yang ditangkap dan dimintai keterangan, termasuk Halis Bayancuk alias Ebu Hanzala, pemimpin jaringan ISIS di Turki.

Halis Bayancuk sekali lagi menjadi sorotan di Turki. Bayancuk atau lebih dikenal Hanzala Hoca (Syaikh Hanzala) oleh lingkarannya bukanlah sosok sembarangan yang asing atau muncul tiba-tiba dari ruang kosong. Hanzala adalah anak dari salah satu pembesar jaringan organisasi Hizbullah Turki yang juga dimasukkan dalam daftar teroris, Haci Bayancuk alias Hafiz.

Sepak terjang Hafiz dalam jaringan terorisme terekam secara jelas oleh otoritas Turki. Dia mempunyai sejarah panjang ihwal keterlibatannya dengan jaringan organisasi terorisme. Menjabat sebagai kepala sayap politik dalam jaringan Hizbullah, Hafiz terlibat dalam serangkaian serangan teror, termasuk menjadi dalang pembunuhan kepala polisi Diyarbakir Gaffar Okkan pada 24 Januari 2001. Hafiz akhirnya ditangkap dan dipencara seumur hidup.

Sementara Hanzala mempunyai rekam jejak yang mirip-mirip dengan sang ayah. Setelah ayahnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara pada 2005, Hanzala dikirim ke Mesir dengan anggota Hizbullah Turki lainnya untuk menjalani pendidikan khusus dengan dukungan kelompok Hizbullah di Jerman. Sepulang dari Mesir tahun 2008, Hanzala resmi menjadi anggota al-Qaidah dan mulai melancarkan rekrutmennya. Anggota Hizbullah yang merupakan jaringan sang ayah satu per satu dibujuk masuk menjadi anggota al-Qaidah.

Ke depan, jika dibiarkan berkeliaran, Hanzala akan menjadi tokoh baru yang akan mewarnai manuver dan gerakan ekstremis di seantero Turki. Putra emas dari pembesar Hizbullah tersebut akan mengembangkan sayapnya dan mencari celah untuk merekrut lebih banyak lagi massa dan simpatisan ISIS ataupun afiliasi grup ekstrem radikal lainnya. Dalam sebuah video yang diunggah di YouTube, Hanzala secara terbuka mendukung ISIS dan mengatakan bahwa siapa pun yang mendukung perlawanan terhadap ISIS adalah kafir.

Sosok semacam Hanzala sangat mudah ditemui di Indonesia, khususnya mereka yang terlibat dalam jaringan teroris dan apalagi pernah ke Suriah, misalnya, ancaman terhadap polisi lewat video-video yang menyebar luas di masyarakat kita.

Setelah berkali-kali kecolongan, penemuan lembaga pondokan yang dijadikan tempat untuk menyebarkan sel-sel ekstremis di Turki semakin membuka mata masyarakat luas dan khususnya pihak otoritas keamanan Turki sendiri. Turki yang awalnya lunak terhadap manuver ISIS karena kelompok ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan Turki utamanya di perbatasan, pada awal 2016 akhirnya bulat memasukkan mereka sebagai jaringan terorisme.

Sebelum itu, otoritas pemerintah Turki lebih suka melihat ISIS sebagai sekumpulan pejuang bersenjata yang melawan gerakan-gerakan teroris lainnya. Sebelum tahun 2016 Turki benar-benar memainkan politik doublespeak terhadap eksistensi ISIS. Padahal, sejak akhir 2013 segerombolan martir ISIS telah membunuh ratusan rakyat sipil lewat serangkaian serangan bom bunuh diri.

Turki akhirnya tampak lebih serius terhadap semua jaringan terorisme, termasuk ISIS di dalamnya. Perjuangan Turki menghabisi gerakan terorisme yang melawan pemerintahan akhirnya semakin diperkencang. Mereka sadar bahwa negaranya yang berada di perbatasan langsung dengan negara-negara yang mengalami konflik dan kekerasan seperti Irak, Suriah, dan Iran harus semakin mewaspadai manuver dan infiltrasi kelompok teroris dari waktu ke waktu.

Otoritas pemerintah akhirnya semakin memperkuat satuan khusus antitetor bernama Terörle Mücadele Polisi (Polisi Melawan Teror) yang dikenal dengan TEM (Terörle Mücadele Dairesi Başkanlığı), pasukan khusus teror semacam Densus 88 di Indonesia. Pasukan ini menjadi agen penting bagi Turki untuk mencegah sekaligus menuntaskan semua jaringan sel yang berpotensi mengancam integritas nasional mereka.

Lembaga antiteror tersebut tidak hanya berfokus kepada satu ranah gerakan terorisme karena secara historis Turki telah berpengalaman menghadapi sedemikian banyak faksi teroris dengan multiideologi. Selain seperti terorisme atas nama agama, banyak daftar organisasi yang dimasukkan sebagai organisasi terlarang oleh otoritas Turki. Mereka mempunyai 12 daftar organisasi terorisme yang saya klasifikasikan berdasarkan ideologi mereka.

Kelompok terorisme yang berasal dari jaringan ideologi kiri komunis dan separatis, misalnya Devrimci Halk Kurtuluş Partisi/Cephesi (DHKP/C), Maoist Komünist Partisi (MKP), Türkiye Komünist Partisi/Marksist-Leninist (TKP/M-L), Marksist Leninist Komünist Parti (MLKP), PKK/KONGRA-GEL (Partai Pekerja Kurdistan dan afiliasinya), Kürdistan Devrim Partisi (Partai Revolusi Kurdistan), dan Kürdistan Demokrat Partisi/Bakur (Partai Demokratik Kurdistan/Bakur).

Sementara itu, dari kelompok Islam ada Hizbullah, Hilafet Devleti (Pejuang Khilafah), İslami Büyük Doğu Akıncılar Cephesi (Sindikat Islam Timur Besar/İBDA/C), Tevhid-Selam (Kudüs Ordusu/ Pasukan Jerusalem), El Kaide Terör Örgütü Türkiye Yapılanması (al-Qaeda), dan terakhir ISIS.

Kelompok-kelompok di atas hingga sekarang terus melancarkan aksi-aksi kekerasan yang memakan korban utama dari pihak keamanan dan rakyat sipil Turki. Menghadapi jaringan di atas, pemerintah Turki berjuang tidak sendirian karena di belakang mereka ada rakyat sipil yang satu suara melawan segala bentuk gerakan teroris.

Pemerintah Turki berhasil mengambil hati rakyat Turki dan menanamkan pemahaman bahwa gerakan terorisme di atas harus menjadi musuh bersama. Dukungan yang ditunjukkan oleh rakyat sipil merupakan modal sosial yang sangat penting untuk melawan gerakan teroris secara konsisten.

Integrasi Nasional

Akhirnya, aksi-aksi terorisme yang sejauh ini mengganggu Turki dinilai oleh masyarakat umum sebagai cara busuk yang bertujuan untuk mengacaukan dan menghentikan Turki berkembang maju. Ada kesadaran masif dan nasional yang ditunjukkan untuk menolak segala bentuk tindakan terorisme yang bisa mengacaukan situasi sosial. Kesadaran tersebut menjadi pijakan lahirnya common sense dengan menempatkan segala bentuk gerakan teroris sebagai musuh bersama, sehingga secara kultural ia menolong Turki secara masif untuk selalu bersatu, merapatkan barisan dan menyiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi ke depan.

Terhadap segala bentuk tindak terorisme, rakyat Turki nyaris 100% menolaknya dan secara aktif mereka ikut melakukan perlawanan kultural yang ditunjukkan secara langsung. Dengan begitu, gerak-gerik teroris semakin sempit. Polarisasi atas nama agama bisa dibilang masih tidak sekompleks Indonesia karena mereka mempunyai basis kesadaran ideologis dengan tingkat pendidikan yang lebih baik juga.

Di samping itu, pengalaman sekularisme tentu saja bisa dibilang masih menjadi benteng bagi mereka agar tidak secara mudah diacak-acak oleh kepentingan agama yang parsial.

Kecenderungan di atas saya menyebutnya sebagai milli güç (kekuatan rakyat), yaitu kesadaran bersama untuk berintegrasi melawan segala tindakan yang ingin melemahkan negara mereka. Terorisme menjadi common enemy melalui spirit milli güç. Integrasi nasional yang kuat telah memberikan imun terhadap Turki melawan segala bentuk ancaman yang bisa memecah-belah. Ketahanan Turki terhadap gerakan terorisme telah terlatih secara historis.

Turki boleh dilanda berbagai konflik kepentingan antarideologi dan kekerasan-kekerasan muncul di antara mereka. Tetapi, ketika berhadapan dengan musuh negara yang ingin memecah belah, seperti kelompok separatis PKK atau ISIS dan al-Qaidah, mayoritas rakyat Turki berdiri dalam satu baris.

Fenomena integrasi nasional di Turki semakin kuat setelah percobaan kudeta gagal pada 15 Juli 2016. Rakyat serentak menyadari bahwa negara mereka yang kini jauh lebih maju tidak boleh mundur dan terpecah-belah. Integrasi nasional yang diwarnai dengan gerakan rakyat yang masif disebut oleh otoritas pemerintahan sebagai milli irade (kehendak nasional/rakyat).

Meski istilah milli irade berpotensi politis karena dipakai oleh penguasa untuk menumpas oposisi ataupun kelompok minoritas, persatuan nasional mereka menjadi modal utama dalam memerangi terorisme dan segala macam ancaman kekerasan yang berpotensi menghancurkan Turki.

Dua modal utama di atas akan menjadi kekuatan bagi Turki ke depan untuk menghadapi manuver dan ancaman gerakan-gerakan yang mengancam negara mereka, termasuk terorisme. Secara hukum positif Turki mempunyai pasukan khusus TEM yang bertugas menumpas dan mencabut jaringan teroris hingga ke akar-akar. TEM bisa bergerak bebas sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Sementara itu, integrasi nasional menjadi modal sosial yang kekuatannya justru sangat tidak terbatas. Karena rakyat sipil sejatinya akan menjadi polisi yang melakukan resistensi dan perlawanan ketika menemukan perkumpulan dari kelompok-kelompok teroris.

Akhirnya bagi kita di Indoneisa, di samping hukum positif yang harus bergerak menumpang gerakan yang menabur teror, integrasi sosial yang menjadi modal kita sebagai natio-state harus tetap diasah dengan pijakan yang sudah menjadi visi nasional kita Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 45. Karena tanpa kembali ke simpul ideologi negara kesatuan, bangsa ini bukan tidak mungkin akan semakin terjerembab dalam tubir jurang kehancuran.

Kolom terkait:

Langgam 94 Tahun Nasionalisme Turki

Mencintai Militer, Bumbu Nasionalisme Turki

Setahun Kudeta Berdarah di Turki

Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta

Erdogan dan Satu Tahun Kudeta di Turki

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.