Seorang anak perempuan menyalakan lilin ketika orang-orang memberikan penghormatan kepada korban serangan bom Brussels, Belgia, Sabtu (26/3). ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Hartmann
Ketika Saleh Abdussalam, terduga anggota ISIS dalang serangan Paris dengan korban 130 tewas, ditangkap di Belgia, sehari kemudian (22 Maret 2016) serangan bom berantai mengguncang bandara internasional dan stasiun kereta bawah tanah di Brussels, Belgia. Sedikitnya 34 orang tewas dan 300 lainnya menderita luka-luka, termasuk tiga WNI.
Melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Pemerintah RI mengeluarkan travel advice bagi WNI. Imbauan itu berbunyi: “Pemerintah Indonesia mengimbau kepada seluruh WNI yang saat ini berada di Belgia, khususnya di Brussels, untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan menghindari tempat-tempat yang dapat menjadi target aksi teror”.
Para analis berbeda pendapat tentang serangan Brussels. Ada yang mengatakan ini adalah aksi balasan spontan atas ditangkapnya Saleh Abdussalam. Sementara yang lain berpendapat serangan ini diduga kuat telah dipersiapkan matang sejak jauh hari sebagaimana serangan di Paris.
Seperti serangan di Paris, kelompok Negara Islam (ISIS) menyatakan pihaknya bertanggung jawab atas serangan mematikan di Brussels tersebut. Pernyataan ISIS pertama kali dilansir oleh A’maaq News Agency, media propaganda yang dikelola ISIS. Dalam rilis tersebut ISIS menyatakan serangan di Brusssels sebagai balasan karena negara tersebut selama ini aktif bersama koalisi Barat memerangi ISIS di Suriah.
Demi meyakinkan dunia internasional, ISIS juga merilis video yang menampilkan militan berbahasa Prancis yang mengeluarkan statemen bahwa pihaknya berada di balik serangan Brussels, dan mengklaim punya banyak sel di mana-mana (Eropa) yang sewaktu-waktu dapat diperintahkan untuk melakukan serangan mematikan.
Jadi, benarkah ISIS melakukan serangan di Eropa karena hanya sebuah serangan balasan? Saya kira tidak juga.
Terlepas dari itu semua, kita semua sepakat bahwa ISIS berada di balik serangan di Brussels dan Paris. Saya ingin semua melihat realitas perkembangan ISIS di Suriah dan Irak, karena ini sangat terkait dengan apa yang ISIS lakukan di Eropa baru-baru ini.
Di Suriah, dalam satu tahun belakangan ISIS telah kehilangan wilayahnya secara signifikan, pawai kemenangan ISIS ekspansi merebut wilayah mulai berakhir. Sejak berhasil dipukul mundur dari Kobani (Februari 2015), ISIS terus kehilangan wilayahnya di Suriah terus menerus.
Serangan udara Rusia dan gempuran pasukan Kurdi yang didukung Amerika Serikat telah berdampak buruk bagi kelompok ISIS untuk memegang wilayahnya. Kota kuno Palmyra yang sejak Mei 2015 dikuasai ISIS pun berhasil direbut kembali oleh tentara Suriah.
Di Irak juga demikian. Sejak berhasil mengusir ISIS dari kota penting Tikrit pada Maret 2015, pemerintah Irak juga sukses merebut kembali kota Ramadi pada Januari 2016. Bahkan kini operasi menaklukkan Mosul, kota besar kedua di Irak yang sejak 2004 menjadi basis ISIS, sudah mulai dilancarkan. Pasukan Irak, milisi Syiah, Peshmerga (pasukan Kurdistan) berbagi kekuatan menggempur ISIS dengan dukungan serangan udara AS.
Sekadar diketahui, di Irak, ISIS kehilangan teritorinya lebih banyak dibanding di Suriah dalam satu tahun belakangan.
Ketika ISIS menghadapi gempuran keras di sana-sini dan menyebabkan wilayahnya lepas, ini sebuah kerugian besar bagi ISIS. Tak hanya masalah sumber keuangan organisasi, tapi juga sumber daya manusianya. Banyak serdadu mereka yang tewas karena mempertahankan wilayahnya. Sementara itu, warga asing banyak yang berhasil digagalkan ketika hendak bergabung memperkuat ISIS di Irak dan Suriah karena wilayah perbatasan semakin diperketat.
Karena itu, ISIS mulai menerapkan wajib militer bagi warga lokal di beberapa wilayah demi menutupi jumlah pasukannya yang makin menyusut. ISIS juga terang-terangan merekrut anak-anak di bawah umur dan menempatkan mereka di sebuah kamp pelatihan yang mereka sebut “panti asuhan”. Anak-anak ini dijadikan mata-mata, tentara anak, bahkan pelaku bom bunuh diri.
ISIS rupanya sadar perjuangannya ke depan semakin berat dan keras. ISIS dikelilingi musuh-musuh kuat yang bertekad menghancurkannya. Situasi saat ini berbeda dengan ketika ISIS mendeklarasikan dirinya sebagai “Negara Islam” pada 2014 lalu. ISIS saat itu menguasai wilayah seluas Inggris atau delapan kali luas Belgia. Namun saat ini alih-alih merebut wilayah baru, wilayah yang dipegangnya perlahan mulai lepas dan terus terancam.
Narasi kemenangan ISIS mulai runtuh ditandai dengan teritorialnya yang makin terkikis. Bagi ISIS, wilayah merupakan hal yang penting untuk mencitrakan dirinya sebagai sebuah negara. Sejak itu ISIS mulai terbukti beralih melakukan operasi yang dianggap strategis dan memaksimalkan efek dengan biaya rendah. ISIS menemukan cara baru untuk tetap menarik perhatian dunia luar demi menutupi kemerosotan eksistensinya di Irak dan Suriah.
ISIS bergeser dari strategi ekspansi wilayah di Timur Tengah ke strategi teror global. Tak seperti Al-Qaidah yang memilih sasaran yang sulit seperti kedutaan atau aset pemerintah, ISIS memilih target yang paling rentan seperti tempat wisata atau fasilitas publik. Tempat-tempat ini dipandang ISIS lebih efektif untuk menabur teror, menciptakan kekacauan, dan menanamkan rasa takut. Serangan Paris dan Brussels adalah contohnya.
Keberhasilan serangan ISIS di Eropa itu juga memungkinkan ISIS untuk menggambarkan kepada dunia bahwa dirinya punya kemampuan menyerang balik musuh-musuhnya di Barat. Di samping itu, ISIS ingin tetap menjaga citranya sebagai pemimpin jihad global menyingkirkan saingannya, Al-Qaidah. Selama ini ia dipandang unggul dibanding Al-Qaidah, karena ISIS secara de facto telah memiliki teritorial untuk dikelola layaknya sebuah “negara”.
Seandainya nanti ia kehilangan negara yang didirikannya ini, maka ISIS tak ada bedanya dengan Al-Qaidah. Dan ISIS tidak ingin itu terjadi.