Bendungan Wahabisme di Arab Saudi “jebol”. Berbagai kebijakan infitah (terbuka) akhirnya terpaksa diambil oleh Kerajaan Arab Saudi. Mulai dari kebijakan membuka destinasi-destinasi wisata, terutama di pantai-pantai, yang membuka ruang masyarakat Saudi untuk mengumbar “aurat” di ruang publik. Lalu, maraknya pembangunan bioskop-bioskop dan gedung-gedung konser musik beserta lembaga terkait.
Semua itu penting untuk membantu perekonomian Saudi yang kedodoran akibat anjloknya harga minyak, biaya perang yang tinggi, dan petualangan Saudi di kawasan maupun dunia Islam. Proses perubahan ini tentu tanpa ada perdebatan di ruang publik secara memadai terlebih dahulu. Oposisi terhadap berbagai kebijakan itu dipastikan sangat kuat di dalam negeri Saudi. Tetapi, sebagaimana umumnya negara non-demokratis, hal itu tak tampak di permukaan atau di ruang publik.
Perayaan hari nasional tahun ini juga digelar dengan cara yang tak biasa. Peserta perayaan tak hanya laki-laki tetapi juga bersama kaum perempuan dan itu terjadi di satu tempat. Perkumpulan laki-laki dan perempuan di satu tempat seperti itu sama sekali tak boleh terjadi sebelumnya. Dan yang mengundang perhatian luas adalah keputusan Raja Salman bin Abdul Aziz memerintahkan perempuan diberi hak mengendarai mobil sendiri pada 26 September lalu. Kendati keputusan itu baru berlaku efektif pada 24 Juni tahun depan.
Selama hampir satu abad sebelumnya semua itu dilarang dengan beragam alasan. Di antaranya bertentangan dengan nilai tradisional Arab Saudi atau yang lain. Tetapi larangan itu kemudian dikuatkan dengan fatwa para ulama Kerajaan. Anehnya, ketika itu semua kemudian diperbolehkan oleh Kerajaan, fatwa para ulama pun juga berubah.
KH Abdurrahman Wahid dalam Pribumisasi Islam mengemukakan tentang aliran air sungai sebagai kiasan dialog “Islam dan budaya”. Menurutnya, secara alamiah Islam itu seperti sebuah sungai besar. Air sungai itu mengalir ke mana-mana. Tapi air sungai itu juga menampung dan mengakomodasi aliran-aliran sungai kecil dari berbagai daerah yang dilewatinya.
Air sungai ini tak pernah dibendung, tetapi terus dibiarkan mengalir untuk menumbuhkan aneka tumbuhan yang indah di mana-mana dan bermanfaat bagi orang banyak. Sungai itu juga menampung aliran air dari daerah-daerah yang dilewatinya. Air perlu mengalir agar tetap jernih segar dan memberi manfaat seluas mungkin.
Itu adalah ibarat perjalanan risalah Islam ke Nusantara atau tempat lain di dunia Islam lain yang pernah dibuat oleh Gus Dur. Bahwa Islam semestinya mengakomodasi kebudayaan lokal tempat Islam berkembang. Akomodasi itu sama sekali bukan bermaksud membaurkan Islam dan budaya-budaya lokal sebagaimana jawanisasi Islam atau singkretisasi. Juga bukan menjadikannya satu kesatuan, sebab keduanya memang berbeda dan masing-masing memiliki independensinya– kendati tumpang tindah antara keduanya juga sulit dihindari.
Akomodasi itu dilakukan karena memang atas dasar kebutuhan. Proses sejarah perkembangan Islam umumnya demikian; ia mengalir dan menampung kultur-kultur lokal sebagai pertimbangan membangun norma Islam yang kontekstual. Dan itu terjadi secara alamiah. Namun, menurut Gus Dur, umat Islam dapat membantu proses alamiah ini dengan menyiapkan aplikasi-aplikasi nash dengan memanfaatkan berbagai varian tafsir yang tersedia secara melimpah dalam tradisi (turast islamiy).
Itulah yang tak terjadi dalam keberagamaan di Saudi. Agama bukan dibiarkan mengalir ke berbagai tempat untuk menumbuhkan pohon-pohon yang indah dan tanaman yang sangat bermanfaat untuk manusia. Ia justru dikuasai, dibendung. Air itu juga tidak boleh menampung air-air yang mengalir dari daerah yang dilewatinya dengan alasan agar airnya tak keruh dan tetap murni.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Bendungan itu jebol dengan sendirinya. Sebab, air sendiri sesungguhnya memiliki kekuatan dan vitalitas untuk bergerak. Air tak bisa selamanya dibendung. Dan aliran air yang berasal dari mana-mana itu juga perlu diakomodasi. Faktanya ini tak terjadi. Agama jadi alat untuk menolak “modernitas” dan juga kultur yang beragam, bukan jadi alat untuk menampung air-air yang beragam itu.
Inilah yang terjadi selama ini di Arab Saudi. Agama dijadikan pembendung perubahan. Agama tak dibiarkan bergerak alamiah untuk memberi “kehidupan”. Ia dikekang dan jadi alat kekuasaan. Agama juga dihambat untuk mengakomodasi kebudayaan-kebudayaan agar ekspresi keagamaan itu menjadi kontekstual, kaya, dan penuh warna. Semua itu ujungnya adalah pemiskinan dan penggersangan kehidupan. Kehidupan bukan menjadi kaya dan berwarna tetapi menyempit dan sumpek dengan alasan agama.
Lebih parah lagi, agama hanya dijadikan pembendung pemikiran atau pendapat yang berbeda, khususnya yang berpotensi merugikan rezim yang berkuasa. Vitalitas Islam sebagai penyubur kebudayaan dan peradaban yang bermanfaat bagi manusia seperti pernah ditampilkan dalam sebagian episode sejarah Islam dunia dan Nusantara seolah hilang begitu saja.
Sebaliknya, agama yang diklaim murni dengan tak mengalir ke mana-mana itu kemudian justru dikekang dan dikuasai untuk sarana legitimasi. Membendung air itu bisa berakibat fatal sebab watak dasar air itu mengalir dan menghidupi, memberi nilai, menyegarkan dan menyuburkan. Air bukan untuk dikekang dalam kubangan. Sebab, ia justru bisa menjadi keruh dan rusak.
Lebih dari itu, air yang dibendung dalam jumlah besar dan lama suatu saat bisa menjadi air bah yang siap menghanyutkan siapa saja, termasuk rezim yang berkuasa.
Kolom terkait:
Arab Saudi 2030: Menyembah Kapitalisme atau Menyumpahinya?
Mengapa Indonesia dan Dunia Islam Membutuhkan Saudi?