Belum genap 100 hari bekerja, Donald Trump sudah mulai menepati janji-janji kampanyenya. Tidak seperti politikus kebanyakan yang hanya berjanji tanpa ada realisasinya. Setelah beberapa minggu lalu, Trump memutuskan untuk menghentikan kerjasama Trans-Pasifik, kali ini Trump mengeluarkan kebijakan untuk “menormalisasi” imigran.
Trump mengeluarkan kebijakan tersebut karena dianggap dunia sedang tidak baik. Kejahatan di mana-mana, terutama tentang terorisme. Dan kebanyakan pelaku terorisme berasal dari kawasan Timur Tengah. Ada 7 negara yang penduduknya “untuk sementara” dilarang memasuki kawasan Amerika Serikat, yakni Suriah, Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Ada perlakukan yang berbeda dari tiap-tiap negara. Suriah dikenakan larangan selama 120 hari, sedangkan keenam negara lainnya hanya diberlakukan larangan selama 90 hari.
Namun, yang menjadi persoalan adalah tidak hanya penduduk ilegal yang tidak diperbolehkan masuk Amerika Serikat, melainkan juga penduduk legal. Seperti pemegang visa yang sah, penduduk yang memiliki identitas legal, dan pemegang paspor hijau. Tentunya yang dimaksud adalah orang-orang yang berasal dari enam negara tersebut.
Hal tersebut sontak mengejutkan masyarakat Amerika Serikat dan menyulut beragam aksi sipil. Negara yang katanya menjamin kebebasan dan demokrasi malah justru mengeluarkan kebijakan yang inkonstitusional seperti itu. Hal ini sebetulnya dapat dipahami, mengingat 1 dari 8 warga Amerika Serikat adalah imigran. Populasi mereka di Amerika Serikat sudah mencapai 13%. Ditambah lagi kebanyakan imigran adalah Muslim.
Oleh karena itu, kebijakan ini menunjukkan bahwa sentimen yang dieskpresikan oleh Trump di sepanjang masa kampanye bukanlah main-main. Dapat kita simpulkan bahwa Trump kini benar-benar menegaskan dirinya Islamophobic dan Xenophobic.
Meskipun kebijakan ini menuai protes di dalam wilayah AS, termasuk di New York dan Washington DC, ada sejumlah petinggi Eropa yang sejak lama mendukung sikap Trump, terutama dari kalangan ultranasionalis seperti Jean Marie Le Pen (Prancis), Geert Wilders (Belanda), dan Vlaams Belang (Belgia). Sementara itu, PM Inggris Theresa May sudah menyatakan kepada publik bahwa dirinya dengan tegas menolak kebijakan tersebut. Di Inggris sendiri telah berlangsung serentetan aksi massa menolak kebijakan tersebut.
Negara-negara yang notabene Muslim tentu dengan terang mengutuk kebijakan Trump, baik yang baru diwacanakan maupun yang telah direalisasikan. Salah satunya Hassan Hourani, yang dengan jelas menyebutkan bahwa Trump sama saja membangun tembok Berlin. Bahkan ia akan mengeluarkan kebijakan serupa, yaitu mengendalikan bahkan melarang hingga mengusir penduduk Amerika Serikat dari tanah Iran. Hal serupa dikatakan pula oleh para pemimpin di negara sekuler, seperti Turki dan Kanada.
Erdogan menegaskan bahwa tidak bisa jika menyelesaikan masalah hanya dengan membangun dinding. Senada dengan apa yang diucapkan Erdogan, PM Kanada Justin Trudeau mengungkapkan bahwa ia akan selalu membuka pintu selebar-lebarnya bagi pengungsi. Bahkan ia membuat hashtag khusus untuk sikapnya ini, yaitu #WelcomeToCanada.
Trump tidak seharusnya menjalankan kebijakan itu, karena selain inkonstitusional, akan terjadi diskriminasi dan membuat disparitas yang sangat besar. Namun, Trump tetap gigih dan teguh pendirian bahwa kebijakannya hanya sementara dan tidak akan membuat disparitas antara minoritas dan mayoritas, Muslim dan non-muslim. Bahkan ia menyayangkan dan sedikit kesal ke beberapa media yang tak mengerti maksud dari kebijakan dirinya.
Terlepas dari protes maupun argumentasi yang sedang berkembang terkait kebijakan ini, telah banyak yang terkena dampak atas pemberlakuannya. Antara lain, lima penumpang Irak dan satu orang dari Yaman gagal untuk pergi ke AS dari Mesir dengan menggunakan maskapai EgyptAir. Belum lagi, menguatnya sentimen anti-muslim termanifestasi dalam insiden pembakaran masjid di Texas. Selain itu, di Quebec juga terjadi penembakan di sekitar area masjid hingga mengakibatkan enam orang terbunuh dan beberapa lainnya terluka. PM Kanada sudah menyebut insiden tersebut sebagai aksi terorisme yang menyerang Muslim.
Berkaca pada sejarah AS, kebijakan Trump bukanlah sesuatu yang baru. Kebijakan mengendalikan populasi imigran sudah ada sejak era Presiden Calvin Coolidge pada 1924 yang mengatur gelombang imigran. Uniknya, slogan yang dikatakan Coolidge hampir mirip dengan apa yang dikatakan Trump saat kampanye. Jika Trump memiliki slogan “Make America Great Again”, maka Coolidge mengatakan “America must remain American”. Namun, kebijakan tersebut telah dicabut 4 dekade setelahnya oleh Presiden Lyndon B. Johnson. Johnson menganggap kebijakan tersebut hanya mengakibatkan diskriminasi yang berbasis phobia rasial.
Kebijakan Trump juga mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Perdana Menteri Prancis Nicholas Sarkozy. Sarkozy menggunakan EU Immigrant Policy untuk mengendalikan populasi imigran Muslim (Moddie, 2014). Alasannya pada saat itu, Sarkozy menganggap imigran, utamanya Muslim, adalah penyebab terjadinya pengangguran yang merajalela. Fenomenanya terjadi di pinggiran-pinggiran kota Prancis, seperti Lille. Namun perbedaannya, jika Sarkozy takut akan pengangguran, Trump takut akan terorisme. Hanya persamaannya satu: Mereka seakan “mengintimidasi” Muslim. Terlebih, kaum muslim baik di Prancis maupun Amerika adalah minoritas.
Ketakutan Sarkozy terhadap Muslim bisa jadi juga sejalan dengan beredarnya buku-buku provokatif pasca tragedi 9/11. Antara lain, Bruce Bower dengan bukunya While Europe Slept: How Radical Islam is Destroying the West from Within, Bat Ye’or dengan bukunya Eurabia: The Euro-Arab Axis, Melanie Phillips dengan bukunya Londonistan, dan Patrick J. Buchanan, dengan bukunya yang menjadi best-seller di Eropa dan Amerika, yaitu The Death of the West: How Dying Populations and Immigrant Invasions Imperil our Country and Civilization.
Tak heran melalui penyebaran buku tersebut, sentimen negatif terhadap imigran meningkat. Hal ini juga ditambah dengan konflik Arab Spring yang melanda sebagian dari kawasan Timur Tengah yang tidak kunjung reda, dan berkontribusi pada dominasi Muslim dalam “kaum asing” yang sedang ditakuti di tanah Barat.
Sebagai “kaum asing” sekaligus minoritas kadang tak mengenakkan. Bahkan kadang menjadi sasaran intimidasi. Jika di Amerika kaum minoritas diwakili oleh kaum Muslim, maka di Indonesia kaum minoritas diwakili oleh kaum non-muslim dan Muslim yang dianggap berbeda. Kita ketahui bahwa kasus Syiah di Sampang, pembakaran gereja di Singkil, pengusiran Jemaah Ahmadiyah merupakan cermin bagaimana kelompok mayoritas di Indonesia kurang melindungi kelompok minoritas.
Satu hal yang pasti, kebijakan Trump memang layak dikecam karena mengabaikan sisi humanisme dan menyebabkan diskriminasi terhadap imigran Muslim. Namun, di sisi lain, kita harus mengapresiasi Trump sebagai Presiden AS yang benar-benar menepati janji-janji kampanyenya. Kini, tinggal kita tunggu saja satu-per satu realisasinya.