Rabu, November 20, 2024

Isu Kudeta di Saudi dan Akhir Sejarah Wahabisme

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Advertisement -

Di tengah gelombang reformasi yang digencarkan Muhammad Bin Salman, sang putra mahkota, tiba-tiba tersiar kabar yang menimbulkan spekulasi ihwal kemungkinan usaha kudeta di kerajaan itu. Kabar ini masih simpang siur sebab belum ada konfirmasi resmi dari Kerajaan Arab Saudi.

Kepolisian Saudi hanya menyebut mereka menembak drone yang melintas di atas istana. Pernyataan ini tentu tak mudah dipercaya sebab kerajaan ini dibentengi dengan rudal-rudal pertahanan supercangggih. Mengapa drone bisa leluasa terbang di atas Istana Sang Raja?  

Kesimpangsiuran ini diperparah dengan tak munculnya Muhammad bin Salman, sang Pangeran sekaligus penguasa de facto Saudi, dan juga ayahnya, Raja Salman. Sebab, di tengah kabar yang tak jelas itu juga disebut-sebut keduanya dilarikan ke tempat perlindungan yang dikontrol tentara Amerika Serikat. 

Sebagian berita bahkan menyebut adanya kabar bahwa sang Putra Mahkota Pangeran Salman terluka. Sekali lagi, berita-berita ini masih sangat simpar siur dan media-media besar cenderung sangat berhati-hati memberitakannya. Situasi Saudi sepertinya sedang sangat mencekam selama dua hari ini.

Padahal, empat hari sebelumnya, Saudi baru saja “merayakan”salah satu agenda reformasi secara meriah. Pembukaan bioskop secara resmi di Arab Saudi pada 18 April 2018 itu menandai gelombang reformasi sosial keagamaan yang digencarkan Putra Mahkota Muhammad bin Salman sejak deklarasi Visi 2030 Arab Saudi pada April 2016.

Secara bertahap, puluhan bioskop akan dibuka di 15 kota besar di Arab Saudi beberapa tahun ke depan. Pembangunan sarana hiburan itu sebagai hasil kerja sama dengan salah satu jaringan bioskop internasional, AMC. Jumlah itu akan terus bertambah secara terencana hingga tahun 2030.

Pembukaan ini bisa dipastikan akan menambah perputaran uang di dalam negeri Saudi dalam jumlah signifikan. Selama ini masyarakat Saudi yang haus hiburan harus melakukan perjalanan ke negara-negara tetangga seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, EUA, atau yang lain untuk sekadar menonton film di bioskop. Pertengahan tahun ini perempuan di Arab Saudi juga secara resmi akan diperbolehkan mengendarai mobil. “Paket-paket” reformasi sosial dalam bentuk lain sepertinya masih akan berlanjut.

Sebagaimana dimaklumi, hampir empat dekade bioskop dilarang di Kerajaan itu. Demikian pula perempuan dilarang mengendarai mobil, harus berabaya, dan ditemani muhrim laki-laki ketika keluar rumah. Semua itu dan juga larangan menonton film akan menjadi catatan sejarah dalam waktu tak lama lagi. Padahal, baru beberapa bulan lalu para ulama Saudi masih mengecam keras film sebagai perusak moral. Tentu mulai hari ini mereka tak akan berani melakukan hal serupa.

Apakah rangkaian kebijakan infitah (terbuka) dan isu kudeta di Kerajaan Arab Saudi akan jadi penanda akhir sejarah Wahabisme di negeri tersebut? Sebagaimana dimaklumi, rezim Saudi menggencarkan perubahan-perubahan penting dalam kebijakan sosial, ekononomi, dan keagamaan. Mereka memilih sikap pragmatis untuk keluar dari berbagai kepungan tekanan saat ini.

Arab Saudi harus menghadapi tekanan hebat dari kawasan: angin perubahan yang intinya berisi tuntutan demokratisasi. Pengaruh atmosfir baru kawasan terhadap dalam negeri kerajaan itu tak bisa dianggap enteng. Apalagi sebagian besar masyarakat Saudi memiliki kemampuan mengakses media-media baru. Media-media baru adalah pilar penting bagi gerakan-gerakan sosial “tanpa bentuk” di sejumlah negara Arab yang berhasil menumbangkan rezim otoriter yang telah berkuasa berpuluh-puluh tahun.

- Advertisement -

Saudi juga mendapat tekanan hebat akibat penurunan kemampuan ekonomi dan jebolnya APBN beberapa tahun terakhir. Sebagai responsnya, Pemerintah Saudi berikhtiar untuk keluar dari ketergantungan pada minyak dengan visi Saudi 2030. Di samping diversifikasi investasi dan penjualan sebagian saham ARAMCO, Saudi juga berupaya membangun “iklim” positif dan “terbuka” di masyakarat Arab Saudi. Maka, dari sinilah kemudian kebijakan pintu terbuka digencarkan termasuk mendorong agar paham keagamaannya menjadi lebih moderat dan toleran.

Di antara kebijakan yang gaungnya sangat luas adalah pembolehan perempuan menyetir mobil sendiri yang berlaku pada pertengahan tahun ini. Kebijakan lain adalah reformasi peran Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar, garda depan lembaga keagamaan dalam mengontrol masyarakat Saudi selama ini agar sesuai dengan paham keagamaan konservatif yang dianut Kerajaan.

Langkah yang tak terduga lain adalah pembangunan sarana-sarana rekreatif dan seni bagi masyarakat seperti bioskop, gedung konser musik, dan pembangunan sarana wisata pantai. Tak kalah hebat lagi adalah pembangunan proyek kota supermetropolis Neom yang membentang hingga sebagian perbatasan Yordania dan Mesir. Semua itu adalah barang “haram” di Saudi selama sekitar beberapa dekade sebelumnya.

Muhammad bin Salman, penguasa riil Saudi saat ini, secara mengejutkan menyebut Saudi selama 30 tahun terakhir sebagai negara yang “aneh” tak ubahnya HP jadul. Dalam pernyataan dalam sebuah wawancara dengan televisi asing itu, sang Putra Mahkota menyatakan akan segera melibas pemikiran keagamaan ekstrem dan mempromosikan Islam moderat di negeri tempat dua kota suci umat Islam berada itu.   

Akhir Wahabisme?

Apakah gelombang angin perubahan ini akan mengakhiri Wahabisme di negeri asalnya tersebut, khususnya di tengah isu kudeta saat ini? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Saudi benar-benar akan menjadi negara sekuler. Dinasti Ali Saud benar-benar akan meninggalkan Wahabisme. Pernyataan calon penguasa Saudi, Muhammad bin Salman, sangat tegas. Ia akan menumpas “paham radikal dan ekstrem” yang selama tiga puluh tahun mendominasi.

Peran otoritas keagamaan memang semakin berkurang di Kerajaan itu, terutama setelah modernisasi Saudi secara massif berkat limpahan produksi minyak. Apalagi setelah 2001 tuduhan sebagai pelaku peristiwa 11 September mengarah kepada Saudi.

Di luar benar atau salah dugaan itu, ini jelas merupakan beban psikologis sangat besar bagi penguasa Saudi yang ingin memelihara persekutuan mendalam dengan negara-negara Barat, khususnya AS.

Kemungkinan terjadinya pecah kongsi antara rezim Saudi dan Wahabisme seperti ini jelas ada, misalnya dengan mencermati arah baru kebijakan Pangeran Muhammad bin Salman beberapa tahun terakhir. Namun, kemungkinan ini kecil terjadi sebab pondasi negeri dan rezim itu adalah paham keagamaan konservatif.

Sejarah rezim ini juga dibangun oleh kuatnya “jalinan” antara kekuatan Wahabisme dan politik-militer Bani Saudi dan sekutu-sekutu kabilahnya. Seandainya Wahabisme dicampakkan oleh dinasti Saud sekalipun, tidak serta merta berarti Wahabisme akan berakhir. Tapi, bagaimanapun, rangkaian kebijakan baru itu merupakan ancaman serius bagi otoritas-otoritas Wahabisme di negeri itu. Ini dengan asumsi kudeta itu tidak terjadi, atau betul terjadi tetapi gagal.

Kedua, kemungkinan lain adalah terjadinya moderasi massif terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang telah ada. Sebagaimana diketahui, lembaga keagamaan di Saudi memiliki peran begitu krusial, tak hanya dalam persoalan besar kenegaraan tapi juga sampai di masyarakat bawah. Tapi, peran-peran itu terus berkurang seiring dengan kebijakan-kebijakan “infitah” di atas, bahkan sebelumnya.

Mereka sepertinya bukan lagi menjadi bagian penting dalam kebijakan-kebijakan baru itu. Peran lembaga keagamaan lambat laun menurun di negara yang menyatakan al-Qur’an sebagai UUD-nya itu.

Kemungkinan kedua ini lebih besar terjadi. Sebab, bagaimanapun, rezim Saudi tetap membutuhkan lembaga-lembaga itu, kendati perannya terus dikecilkan. Bagaimanapun, lembaga keagamaan adalah sumber legitimasi yang masih penting di masyarakat Saudi. Para ulama yang menghalangi proyek Saudi baru akan disingkirkan dan mempertahankan atau mempromosikan para ulama yang mendukung.

Namun, upaya moderasi itu bisa membawa efek yang tak sederhana. Sebab, paham keagamaan konservatif sudah dianut dan diberlakukan dengan tegas selama hampir seratus tahun di negeri itu. Menggeser otoritas keagamaan yang sudah mapan tak akan semudah membalikkan tangan.

Sejauh ini belum tampak perlawanan terbuka dari para ulama konservatif disertai dengan gerakan besar terhadap arah kebijakan baru ini. Pertikaian kecil seperti pembubaran acara-acara di tempat umum yang diikuti laki-laki dan perempuan di satu tempat oleh tokoh agama setempat tentu sangat sering terjadi.

Tapi, menilik banyaknya ulama dan cendekiawan yang dijebloskan ke penjara, maka sebenarnya ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi di negeri ini terkait respons ulama terhadap arah baru kebijakan rezim. Ini asumsinya masih sama, kudeta tidak terjadi atau gagal.

Kemungkinan ketiga adalah Wahabisme tetap menjadi pilar utama Kerajaan. Lembaga keagamaan tetap akan memainkan peran sangat signifikan sebagaimana pada masa-masa awal “penyatuan” Arabia atau masa Saudi pra-minyak. Wahabisme justru mengalami revitalisasi perannya di kerajaan dengan bendera “tauhid” itu. Wahabisme kembali menjadi pembuat keputusan penting.  

Ini mungkin saja terjadi jika suksesi kepemimpinan Saudi yang diperkirakan terjadi dalam waktu dekat menghadapi persoalan serius. Katakanlah kudeta itu saat ini benar-benar terjadi baik oleh klan Abdullah, Nayif, Ahmad, Muqrin atau yang lain. Tanda-tanda ada persoalan serius di lingkar kekuasaan kerajaan itu sudah lama kelihatan.  

Itu, misalnya, bisa dilihat dari kasus pemecatan terhadap 11 pangeran dan empat menteri beberapa waktu lalu, pemberhentian Pangeran Miteb bin Abdullah dari Menteri Garda Nasional, di samping puluhan menteri juga dipecat sebelumnya, dan gelombang pemecatan sesudahnya. Bahkan sebagian mereka diadili melalui Lembaga Anti-Korupsi pimpinan Muhammad bin Salman.

Belum lagi penyingkiran atas dua putra mahkota sebelumnya yang ujungnya mendudukkan putra raja Salman sebagai calon pewaris takhta tunggal. Dalam konteks konflik antarklan, atau jika kudeta sedang benar-benar terjadi, maka lembaga keagamaan sangat diperlukan sebagai salah satu sumber utama legitimasi kekuasaan bagi penguasa di kerajaan itu.

Kolom terkait:

Jebolnya Bendungan Wahabisme

Timur Tengah di Balik Kunjungan Bin Salman ke AS

Benarkah Muhammad bin Salman “Menista” Ulama Saudi?

Gebrakan Pangeran Muhammad bin Salman

Pangeran Muhammad bin Salman dan Kontraksi Kelahiran Arab Saudi Baru

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.