Minggu, Oktober 6, 2024

Gonjang-Ganjing Iran: Arab Spring atau Intervensi?

Mimpi Ujian

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di tengah gencarnya pemberitaan agresivitas Iran di sejumlah negara Arab selama lima tahun terakhir, isu dalam negeri Iran seperti tak pernah mencolok ke permukaan. Perhatian dunia terhadap Iran seolah hanya pada peran agresif negara Mullah itu di Yaman, Suriah, Irak, Palestina, Bahrain, dan negara-negara Arab atau Muslim lainnya.

Selama ini, Iran dalam pemberitaan digambarkan sangat gigih membela Houtsi di Yaman untuk menghadapi serangan udara ofensif di bawah komando Arab Saudi. Di Suriah, Iran dikenal total dalam mempertahankan kekuasaan rezim Assad dalam perang enam tahun yang begitu destruktif. Di Irak, Iran juga memberi dukungan kuat kepada pemerintah dan milisi Syiah, terutama dalam tiga tahun perang melawan ISIS.

Terkait Palestina, Iran dikenal sangat anti-Israel dan mendukung perlawanan senjata dan intifadah. Di Bahrain, negara itu dituduh menjadi “kompor” bagi gerakan rakyat yang mayoritas Syiah untuk menjatuhkan rezim minoritas Sunni. Iran dikenal sebagai negara yang melakukan petualangan luar negeri secara intens di kawasan itu. Pemberitaan dunia terhadap isu dalam negeri Iran sangat terbatas, dan biasanya terkait proses pemilu atau pergantian pimpinan pemerintahan dan parlemen.

Kini, isu domestik Iran tiba-tiba mencuat ke permukaan. Persoalan-persoalan “rumah tangga” negeri itu tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia. Ini semua akibat gerakan protes mirip Arab Spring yang mulai pecah di penghujung 2017 (28 Desember). Gerakan yang dimulai dari Mashhad dan beberapa kota lain itu menjalar dengan sangat cepat ke kota-kota provinsi negeri Mullah ini. Gerakan protes itu hingga hari ke-7 saat kolom ini ditulis telah menelan lebih 20 korban meninggal dan sekitar lima ratus orang luka-luka, baik dari kalangan demonstran maupun aparat keamanan.

Karakter dari gerakan ini sangat mirip dengan Arab Spring yang menjalar sejak penghujung 2010 di Tunisia, Mesir, dan Libya serta sejumah negara Arab lain. Gerakan itu tidak mengandalkan ideologi, kepemimpinan, dan struktur organisasi yang jelas. Gerakan ini bahkan berkarakter less ideology, less leadership, dan less organization. Gerakan itu juga menjadikan gerakan spontan secara luas melalui media sosial sebagai tumpuan. Nuansa semacam itu juga terlihat dalam aksi protes yang menjalar di banyak kota di Iran kali ini.

Isu yang diusung pada mulanya juga sama, yaitu masalah standar hidup yang sangat rendah yang kemudian merembet ke isu politik. Pemicu awal dari gerakan protes di Iran semula adalah masalah kenaikan harga bahan pokok makanan dan gas. Isu itu kemudian merembet kepada kritik keras terhadap kebijakan rezim yang mengalokasikan anggaran terlalu besar bagi petualangan militernya, terutama di Suriah. Dan kini, isu itu semakin liar dan ada yang mengarah kepada penjatuhan rezim di bawah sistem vilayat al-Faqih.

Kekecewaan masyarakat Iran meluas ketika janji kampanye Presiden Rouhani tak dapat ditunaikan secara baik di lapangan. Harapan rakyat Iran sangat besar kepada pemerintahan yang memanfaatkan isu keberhasilan perjanjian nuklir untuk peningkatan kesejahteraan rakyat ini saat kampanye. Tapi, perjanjian itu faktanya tak mengantarkan kepada peningkatan signifikan terhadap kesejahteraan. Kendati ekonomi Iran jika dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya tidaklah buruk, harapan itu lambat laun berubah jadi benih-benih kekecewaan. Itulah yang kemudian digunakan untuk mendorong aksi protes yang digalang melalui media-media baru itu.

Namun, patut dicatat, rezim di Iran jelas tidak bisa disamakan dengan rezim-rezim despotis Arab seperti  Mubarak di Mesir, Zaenal Abdin bin Ali di Tunisia, Qaddafi di Libya, atau Ali Shaleh di Yaman. Rezim Iran lahir dan berasal dari proses dan praksis demokrasi yang dipandang sangat bersih, transparan, dan melibatkan partisipasi sangat luas dari masyarakat. Hanya saja persoalannya terletak pada substansi sistem demokrasi yang dianutnya, yaitu velayat al-Faqih yang menempatkan “wali Imam” di atas parlemen dan presiden pilihan rakyat.

Intervensi

Di sisi lain,  pemberitaan sejumlah televisi dan media pro-pemerintah Iran dan juga pendukungnya menunjukkan hal lain. Kesan yang diperoleh dari pemberitaan itu adalah upaya ekploitasi besar musuh-musuh Iran untuk menghancurkan negeri itu dengan mengobok-obok masalah domestik mereka. Itu pula yang dinyatakan para pemimpin Iran, termasuk Pemimpin Tertinggi Ali Khomenai. Faktanya, pemerintah AS dan beberapa negara Barat memang segera menyambar isu itu untuk menyudutkan Teheran di fora internasional.

Pemberitaan media-media Iran dan pendukungnya, misalnya, diarahkan kepada banyaknya orang bersenjata dan terlatih terlibat dalam berbagai aksi demontrasi itu. Jelas tidak masuk akal jika masyarakat yang mengklaim sedang dalam tekanan kesejahteraan justru memiliki senjata-senjata yang mahal.

Sebagian media Iran juga menggugat adanya provokasi terhadap massa menggunakan isu dan gambar-gambar yang sesungguhnya tidak terjadi di Iran. Apalagi AS dan sejumlah negara Barat dengan sangat cepat mengekploitasi isu ini untuk membenarkan tuduhan-tuduhan sebelumnya.

Jika mencermati momentum terjadinya aksi protes itu, spekulasi tentang adanya intervensi asing itu bisa jadi ada benarnya. Pertama, jika masalahnya ekonomi, maka peristiwa semacam ini seharusnya terjadi pada saat-saat puncak tekanan dunia internasional terhadap Iran, yaitu sebelum tercapainya perjanjian nuklir tiga tahun lalu. Namun, peristiwa itu justru terjadi sekarang saat tekanan dunia internasional itu sudah longgar.

Kedua, kini adalah saat-saat agenda Donald Trump dan Muhammad bin Salman, penguasa riil Arab Saudi, mulai berjalan. Begitu naik ke tampuk kekuasaan pada Januari 2017, Trump mendorong ke arah hubungan yang keras terhadap Iran. Iran terus menerus dituduh sebagai pihak yang melakukan destabilisasi kawasan.

Demikian juga dengan naiknya Muhammad bin Salman, Saudi yang sebelumnya mulai mendekat ke Iran juga semakin tampak sangat bernafsu untuk menghabisi rezim Iran. Apalagi pasca beberapa rudal dari selatan Yaman berhasil masuk ke ibu kota kerajaan itu. AS dan Saudi terus menerus menuduh rudal yang ditembakkan Houtsi itu berasal dari Iran. Pangeran muda ini berambisi menjadikan Saudi sebagai hegemon di kawasan. Dan itu tak mungkin terwujud jika rezim Iran tidak “dibereskan”.

Gerakan protes di Iran saat ini sepertinya tidak bisa dilihat secara sederhana. Tak bisa hanya direduksi pada persoalan ekonomi domestik negeri itu, tapi juga tak bisa dipandang hanya akibat dari intervensi musuh-musuh Iran. Gerakan protes itu pecah akibat dari kompleksitas persoalan negeri itu, baik faktor domestik, kawasan, dan internasionalnya yang juga saling berhubungan antara satu faktor dengan lainnya.

Kolom terkait:

Iran: Antara Reformasi dan Revolusi

Di Balik Kemenangan Hassan Rouhani

Memahami Sengketa Iran dan Arab Saudi

Ancaman Iran, Kematian Amerika?

 

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.