Perkembangan baru di Efrin, Suriah bagian utara, menunjukkan besarnya potensi dan kompleksitas konflik di Arab Timur. Di tengah kepercayaan diri Turki dalam operasi Ghusnu al-Zaytun di Efrin yang digencarkan sejak sebulan lalu, tiba-tiba tersiar kabar tercapainya kesepakatan antara Kurdi Suriah dan rezim Assad. Agresi militer Turki dengan tujuan menghancurkan anasir-anasir apa yang mereka sebut teroris Partai Buruh Kurdi (PKK) di Suriah Utara menghadapi ujian baru yang tak sederhana.
Padahal, Turki sejak awal sangat percaya diri dengan operasi di lintas perbatasannya itu. Sebab, sebelum operasi itu digencarkan, Turki telah melakukan diplomasi tingkat tinggi sangat intensif ke Iran, Rusia, bahkan juga memberitahu pimpinan Suriah untuk memuluskan operasi militer itu. Turki sepertinya sangat yakin bahwa tiga penguasa de facto Suriah (Rusia, Iran, dan rezim Suriah) tak akan “mengganggu” operasinya di Efrin.
Faktanya, pasukan al-Quwwat al-Sya’biyyah, milisi pro-Assad, saat ini telah berderap menuju kota itu. Kemungkinan besar tentara reguler Suriah akan menyusul. Bagaimanapun, kendati sudah letih dengan perang, rezim Suriah tetap tidak rela wilayahnya dikuasai begitu saja oleh militer negara tetangga. Ini menyangkut kedaulatan dan kehormatan bagi negara yang dicabik-cabik perang itu, kendati Turki mengklaim memiliki hak masuk ke 30 kilometer wilayah Suriah berdasarkan kesepakatan antara dua negara.
Di samping itu, rezim Suriah sepertinya sedang memanfaatkan operasi militer Turki itu untuk menguasai kembali wilayah yang selama ini secara de facto dikuasai oleh pasukan Kurdi Suriah. Karena itu, rezim Suriah sengaja membiarkan aksi ofensif lintas perbatasan itu beberapa waktu. Terdesaknya pasukan Kurdi membuat mereka terpaksa meminta bantuan rezim Assad.
Hasilnya luar biasa. Pemandangan yang tak biasa terjadi. Kehadiran milisi pro-Assad dielu-elukan warga kota itu. Tanpa adanya operasi militer Turki, kehadiran milisi pro-rezim Assad di wilayah itu dipastikan akan direspons dengan sangat keras, baik oleh pasukan Penjaga Kurdi maupun masyarakatnya.
Reaksi Turki di lapangan terhadap perkembangan baru ini belum begitu jelas. Namun, seperti biasa, di level politik, Erdogan bergaya galak dan tanpa kompromi. Ia menyampaikan pernyataan sangat tegas bahwa Turki akan menjadikan milisi itu, bahkan tentara Assad, sebagai target jika mereka membela pihak Kurdi Suriah (PYD, Partai Uni Demokratik) atau menghalangi misi Turki di wilayah itu.
Kita sudah terbiasa dengan omongan besar Erdogan. Ia selalu menetapkan standar sangat tinggi bagi kepentingan Turki di kawasan. Tapi, praktiknya sering jauh dari kenyataan. Coba kita pikirkan, Turki dalam operasi “terbatas” Ghusnu al-Zaitun ini dengan percaya dirinya hendak menghancurkan PKK. Padahal kelompok ini adalah kelompok yang usianya lebih dari 40 tahun. Mereka punya pengalaman gerilya dan punya pengaruh besar terhadap etnis-etnis Kurdi di Irak luar Suriah. Dan diakui atau tidak, pendukung PKK juga kuat di wilayah Turki sendiri. Lebih sulit lagi, operasi itu dilakukan di luar perbatasan negaranya.
Kendati tegas hendak melabrak siapa saja yang menghalangi operasi militer ini, pihak Turki belum melakukan konfrontasi terhadap milisi-milisi yang mulai berdatangan ini. Milisi-milisi ini sekali lagi memperoleh sambutan gegap gempita dari rakyat Kurdi di Efrin Suriah, sebab mereka dianggap sebagai penyelamat. Pekik Wihdah Suriah (Satu Suriah) mewarnai penyambutan massif warga terhadap kedatangan milisi-milisi itu.
Dengan fakta semacam itu, apakah Erdogan akan memaksakan egonya untuk melanjutkan perang di Efrin? Risikonya tentu tidak kecil sebab mereka kemungkinan besar akan berhadapan dengan kombinasi milisi-milisi itu, kekuatan Penjaga Kurdistan, rakyat Kurdistan Suriah di Efrin, dan tentara reguler Suriah yang kemungkinan juga akan menyusul.
Erdogan tentu tahu akan risiko militer, politik, dan kemanusiaan apa yang mesti dibayar jika Turki bersikeras memaksakan diri melaksanakan ucapannya itu. Turki dengan kemampuan militernya mungkin bisa memperoleh kemenangan tetapi pengorbanan yang harus diberikan dan korban kemanusiaan dan kehancuran kota yang selama ini relatif aman itu menjadi taruhan besar.
Tapi, Erdogan tetaplah Erdogan. Ia berteriak keras, menantang-nantang siapa saja yang berani menghalangi misi Turki di wilayah itu, termasuk penguasa Suriah tanpa berpikir panjang akan akibat-akibatnya jika perkataan itu benar-benar dilaksanakan.
Dialog Antaretnis Besar
Egoisme Erdogan dipastikan tak akan menyelesaikan persoalan. Jika ia melaksanakan apa yang ia katakan, maka situasi di kawasan itu dipastikan kembali memburuk. Bukan tidak mungkin wilayah Turki bagian selatan akan menjadi perluasan bagi bara konflik di Suriah bagian utara yang mulai melebar ini.
Salah satu gagasan penting yang belum banyak diwacanakan sebagai solusi konflik di kawasan ini (Arab Timur) adalah dialog etnis-etnis besar di kawasan. Pangeran Hasan bin Thalal dari Yordania, salah satu tokoh yang mendorong gagasan itu, menyebut mendesaknya dialog “bangsa-bangsa” di wilayah Arab Timur. Mencermati apa yang terjadi sekitar lima tahun terakhir, bahkan peristiwa-peristiwa sebelumnya di wilayah itu, Pangeran Hasan menyuarakan mendesaknya dialog empat etnis besar yang saling bersinggungan di wilayah itu: Turki, Arab, Iran, dan Kurdi.
Bagaimanapun, Kurdi telah menjadi unsur tersendiri di kawasan itu. Pembasmian terhadap aspirasi mereka melalui kekerasan hanya akan memperburuk situasi. Bukan hanya di Suriah tapi juga di Iran, Irak, dan Turki sendiri. Bagaimanapun, etnis Kurdi yang di Irak maupun Suriah memiliki jasa besar menyelamatkan kawasan Arab Timur dari cengkeraman teroris, baik itu ISIS, Tandzim al-Qaeda, maupun Jabhah al-Nusrah.
Kolom terkait:
Hasrat Kurdistan di Tengah Agresi Militer Turki dan Taktik Baru AS
Turki, Minyak, dan Referendum Kurdistan
Bara Menyala di Baghdad dan Kurdistan