Apa yang Anda rasakan ketika sekumpulan manusia tercerai berai akibat sekelompok manusia melakukan perbuatan keji? Apa yang bisa Anda pahami ketika makin banyak kelompok peneror yang membantai para warga sipil yang tak berdosa?
Berduka. Iba. Nelangsa. Mungkin itu adalah tiga kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan kita ketika mendapatkan berita tentang pembantaian besar-besaran yang terjadi di Somalia pada 15 Oktober 2017.
Peristiwa tersebut menewaskan sedikitnya 276 orang dan 300 lainnya luka-luka. Diperkirakan jumlahnya makin bertambah seiring masih ada puluhan korban yang tertimbun di dalam puing-puing bangunan dan kendaraan. Menurut sejumlah pengamat terorisme, peristiwa di Somalia dianggap sebagai pembantaian manusia terbesar di tahun 2017.
Tak mengherankan pula Presiden Somalia Mohammed Abdullahi Modamed mengumumkan hari berkabung nasional selama 3 hari. Kelompok Al-Shabaab ditengarai sebagai otak pembantaian tersebut. Selama hampir 6 tahun, kelompok tersebut sering beroperasi di tanah Afrika. Terhitung ada 3 negara yang terkena efek adanya Al-Shabaab: Ethiophia, Kenya, dan Somalia.
Namun, dari ketiga negara tersebut, hanya Somalia yang paling sering terkena operasi pembunuhan hingga pembantaian oleh Al-Shabaab sejak 3 tahun terakhir. Ada apa dengan Somalia? Mengapa Somalia yang menjadi sasaran utama di tanah Afrika?
Krisis Somalia
Somalia adalah sebuah negara di Afrika yang memiliki populasi sebanyak 11 juta orang. Somalia merupakan negara jajahan Inggris yang kemudian merdeka pada 1 Juli 1960. Namun, jika kemerdekaan dianggap sebagai jalan untuk menjadi negara makmur, Somalia justru mendapat anggapan berlawanan. Somalia dianggap negara gagal.
Dalam wacana internasional, Somalia diibaratkan sebagai negara penuh konflik dan rentan terhadap bencana kelaparan. Selain itu, Anda bisa menengok dalam sejumlah berita internasional bahwa Somalia diberitakan sebagai negara dengan manusia yang berprofesi sebagai perampok, khususnya pada teritorial kelautan.
Sebetulnya ini tak mengherankan jika melihat laporan UNDP pada tahun 2012. Dalam laporannya, indikator kemanusiaan dan pembangunan Somalia berada di titik terendah. Pengangguran meningkat dari tahun ke tahun. Ada 54% pengangguran dengan rata-rata dari mereka adalah usia produktif (14-30 tahun).
Jumlah pengangguran yang meningkat pula ditambah dengan kenyataan tingkat kelahiran membengkak. Alhasil, muncul pula permasalahan baru, yaitu kelaparan. Dalam laporan FAO terbaru (Juni 2017), ada 6,2 juta manusia mengalami kelangkaan makanan. Jumlah itu setara dengan 60% dari keseluruhan jumlah penduduk Somalia.
Upaya bantuan terus menerus dilakukan oleh PBB maupun negara pendonor terbanyak, Turki. Namun, tetap saja jika para pemuda tak mendapatkan kerja layak, maka selamanya kehidupan Somalia tak tumbuh dan berkembang.
Kemudian, muncul wacana untuk melakukan imigrasi agar mendapat penghidupan yang lebih layak. Jumlah penduduk yang melakukan imigrasi cukup banyak, yaitu sekitar 64%. Rata-rata dari mereka ingin bermigrasi ke Eropa. Sayangnya, peraturan beberapa negara Eropa mulai tahun ini sedikit lebih ketat karena pengaruh terorisme global yang ditengarai berasal dari negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Hal ini membuat upaya mereka menjadi sia-sia dan nestapa.
Al-Shabaab dan Somalia
Karena keinginan dan harapan tak sesuai kenyataan, timbul masalah baru. Kehadiran Al-Shabaab di Somalia terbilang menguntungkan sekaligus merugikan warga Somalia. Dibilang menguntungkan karena para tentara Al-Shabaab berupaya menarik orang-orang Somalia untuk dipekerjakan seperti pekerja pada umumnya. Sepertinya Al-Shabaab paham bahwa ketiadaan kerja menjadi salah satu faktor kemiskinan bertahun-tahun di Somalia.
Yang diincar mereka adalah para pemuda yang tak mendapatkan kerja. Bak gayung bersambut, beberapa pemuda tertarik dengan rayuan Al-Shabaab. Mereka digaji sebesar US$50-150. Angka yang menggiurkan mengingat pekerjaan mereka hanya menjaga perlengkapan senjata.
Al-Shabaab mendatangkan kerugian karena selalu berkonflik dengan pemerintah. Terhitung sejak tahun 2011, Al-Shabaab membombardir kota Somalia dengan aneka peristiwa. Mulai dari pertempuran senjata hingga bom bunuh diri yang menggunakan kendaraan.
Permasalahannya, Al-Shabaab hampir selalu melibatkan warga sipil dalam setiap peristiwa pembunuhan. Tak jarang bukan pemerintah atau mereka, melainkan warga sipil yang menjadi korban terbanyak seperti seminggu yang lalu.
Al-Shabaab berupaya pula menancapkan dan merangsang jalan pikir warga Somalia dengan cara memberikan kenyataan bahwa pengangguran dan kemiskinan bertahun-tahun diakibatkan tidak becusnya pemerintah menangani problematika Somalia.
Pemerintah Somalia pun tak berkutik dengan kenyataan ini. Bukannya segera memperbaiki dan meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi, melainkan menangkapi para warga sipil yang berupaya memberontak pada pemerintahan Somalia.
Akhirnya, jalan Al-Shabaab untuk melenggang dan menguasai Somalia semakin terang. Menguasai para pemuda Somalia, memberi pekerjaan yang layak, kemudian dikipasi untuk merongrong pemerintah dengan dalih pengangguran dan kemiskinan struktural.
Tak mengherankan, para pemuda tanggung tersebur justru tak beruntung ketika yang mereka hadapi tak sekadar pemerintah melainkan warga sipil dan bisa jadi sanak saudara mereka. Konflik pun tak terhindarkan. Peristiwa Somalia bisa disejajarkan seperti di Suriah, Irak maupun Yaman.
Namun, yang menjadi pertanyaan pula kenapa isu Somalia yang sejak dulu berlarut-larut tak sebesar isu-isu pembantaian lain-lainnya? Bahkan sepekan sebelum kejadian ini, ada peristiwa di Las Vegas yang menjadi sorotan media internasional, sedangkan pembantaian di Somalia hampir mencapai 500 orang tak diberitakan secara luas?
Walaupun begitu, masih ada beberapa negara Eropa bersimpati seperti Prancis yang memadamkan lampu menara Eiffel di malam hari setelah kejadian tersebut. Beberapa kepala negara ikut mengucapkan belasungkawa selang beberapa hari peristiwa itu.
Kita berharap besar tragedi Somalia adalah peristiwa pembantaian terbesar dan terakhir di abad ini. Pemerintah Somalia harus lebih tanggap dan sigap untuk memberikan ruang-ruang kerja yang layak bagi masyarakatnya serta mengikis perlahan kemiskinan. Bukan sibuk memerangi pemberontak dengan melakukan transaksi perdagangan senjata.
Baca juga:
Dari Buthaina untuk yang Menutup Mata pada Yaman