Jumat, April 26, 2024

Di Balik Klaim Trump atas Yerusalem

Kezia Maharani
Kezia Maharani
Blogger, Traveller, Mahasiswa Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.

It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel”.

Seluruh penjuru dunia, yang langsung maupun tidak langsung menjadikan negara adidaya Amerika Serikat sebagai “kiblat” mereka, baru saja dibuat gempar dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump yang (lagi-lagi) kontroversial. Trump baru saja “menetapkan” Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel pada Rabu, 6 Desember, waktu Amerika.

Namun, kata “menetapkan” di sini bukan berarti Trump dan AS memiliki kewenangan atas hal ini. Trump secara sepihak menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan kemudian melakukan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv menuju Yerusalem. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kedutaan besar suatu negara untuk negara lainnya harus ditempatkan di ibu kota negara tujuan.

Tanpa perlu deklarasi besar-besaran, dengan ini Trump telah terlihat menunjukkan sikapnya dengan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel sekaligus bagian dari negara tersebut. Hal yang semula hanya merupakan perhatian masyarakat tertentu, kemudian diberitakan besar-besaran oleh media dan ikut memantik perhatian masyarakat belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia. Lantas, mengapa hal ini jadi kontroversial?

Pertikaian Israel – Palestina

Konflik yang sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke-20 ini ditimbulkan oleh beragam sebab, termasuk beberapanya konflik klaim wilayah dan kontrol atas Yerusalem. Kedua negara yang sedang bertikai ini mengakui bahwa Yerusalem adalah ibu kota dari masing-masing negara. Dengan pemindahan Kedutaan besar AS ke Yerusalem, Trump dan AS secara sepihak “memutuskan” hasil konflik Israel–Palestina bahwa Yerusalem merupakan bagian dari negara Israel.

Selain “menggembirakan” bagi Israel, kebijakan Trump mewakili AS ini secara tidak langsung memperlihatkan dukungan negara yang besar ini terhadap Israel, yang tentu berkaitan dengan pertikaian yang tengah berlangsung. Namun, hal ini kemudian ditakutkan akan menjadi penanda gugurnya upaya perdamaian antara dua negara yang telah bertikai selama puluhan tahun ini.

Sebagai negara besar, AS memiliki banyak pengaruh dalam tiap keputusan yang dibuat. Mengingat ini, negara-negara lain tentu berhak berpendapat perihal keputusan negara tersebut. Beberapa kepala negara seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, dan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamanei mengecam keras keputusan bahkan sejak hal ini masih dalam tahap perencanaan. Keputusan yang dibuat sepihak ini dianggap akan mengintervensi masalah yang berkaitan dengan keamanan internasional.

Mendapat tentangan dari berbagai negara memperlihatkan betapa fatalnya keputusan yang dibuat oleh Trump serta pengaruhnya bagi negara-negara di dunia.

Menarik gambaran secara umum, pertikaian Israel dan Palestina juga dilandasi oleh konflik kebudayaan dan akar religiositas masing-masing negara; Israel yang didominasi masyarakat beragama Yahudi, dan Palestina yang didominasi masyarakat beragama Islam. Trump sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin yang anti-Muslim, ditunjukkan dengan “hobi”-nya me-retweet kicauan berbau anti-Muslim di Twitter, tak ketinggalan kebijakannya melarang pendatang dari enam negara Arab pada masa awal jabatannya.

Meramalkan masa depan setelah kejadian ini, negara-negara Timur Tengah lainnya dan Arab dipastikan akan bergejolak dan melakukan protes besar-besaran terhadap keputusan Trump. Bahkan beberapa pemimpin negara mereka telah memberikan peringatan keras, meski entah hal apa yang akan mereka lakukan sebagai tindak lanjut dari ancaman ini. Konflik bersifat agamis menjadi salah satu hal yang diramalkan akan terjadi setelah kebijakan presiden ke-45 AS ini.

Pelanggaran Hukum Internasional

Tiap-tiap negara tunduk pada hukum internasional. Pada prinsipnya, hukum internasional mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara. Dalam kasus ini, Trump telah membawa AS dalam pelanggaran hukum internasional publik dengan secara sepihak menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel.

Dalam hukum internasional ada istilah sine delicto yang berarti perbuatan yang, pada hakikatnya, tidak dilarang oleh hukum internasional, tetapi hasil dari perbuatan tersebut menimbulkan kerugian dan/atau adalah sebuah pelanggaran pada hukum internasional (Albers, 2014, h. 42). Pemindahan kedutaan besar bukan hal yang dilarang oleh hukum internasional, tetapi efek yang ditimbulkan pada negara yang sedang berkonflik tersebut merupakan pelanggaran hukum internasional.

Secara lebih sederhana, intervensi menjadi sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan keputusan Trump berkaitan pemindahan Kedutaan Besar AS untuk Israel ini. Klaim atas Yerusalem adalah hal yang sepantasnya diselesaikan antara Israel dan Palestina sendiri.

Sulit menerka apa yang terlintas dalam kepala presiden negara adidaya ini. Meski telah berkali-kali dikecam atas keputusannya, Trump tidak pernah tampak jera, bahkan cenderung kian berani dalam mengambil keputusan. Tidak hanya berani, Trump bahkan menganggap apa yang dilakukannya sebuah hal yang benar, tampak dari singgungannya pada presiden-presiden AS sebelumnya yang dianggap “tidak berani” untuk mengambil keputusan ini.

Menurutnya, penundaan penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak akan berhasil menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina, bahkan setelah penundaan selama dua dekade (siaran pers White House).

Sekali lagi, AS adalah negara besar. Tiap keputusan yang dibuat negara tersebut, melalui pemimpinnya, akan memberi dampak signifikan bagi seluruh penjuru dunia. Gejolak dan pemberontakan, khususnya dari negara-negara Timur Tengah, adalah hal pasti. Kemarahan menjadi hal yang wajar mengingat perjuangan dan proses berkonflik selama puluhan tahun kemudian diselesaikan sepihak oleh presiden dari negara yang tidak seharusnya ikut campur dalam pertikaian antarnegara.

Kolom terkait:

Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?

Balada Bacot Donald Trump

Mengecam Kebijakan Trump yang Islamofobik

Mengapa Indonesia Harus Aktif Menentang Trump

Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]

Kezia Maharani
Kezia Maharani
Blogger, Traveller, Mahasiswa Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.