Gebrakan penguasa de facto Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman benar-benar belum selesai. Setelah kehebohan meluas akibat perubahan drastis dalam kebijakan ekonomi, sosial, hukum, dan keagamaan, ia kembali membuat “kontroversi” lanjutan. Pekan lalu beberapa laman media Timur Tengah, termasuk Al-Jazeera, merilis “bocoran” mengenai daftar baru orang-orang yang dicekal bepergian ke luar negeri.
Setidaknya ada sekitar 26 nama tokoh agama, penulis, dan wartawan yang masuk dalam daftar tersebut. Di antara nama kondang dari kalangan tokoh agama adalah Muhammad al-Arifi dan al-Syekh ‘Aidh al-Qarniy. Nama pertama adalah dai kondang di Arab Saudi. Sedangkan nama kedua tidak asing lagi di hampir seluruh negara berpenduduk Muslim. Ia dikenal sebagai penulis buku best seller, Laa Tahzan, yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Buku itu dan sejumlah bukunya yang lain sangat mudah dijumpai di toko-toko buku di dunia Islam, dari Moroko, Mesir, hingga Indonesia.
Sebelumnya, pada akhir September lalu, puluhan ulama dan akademisi juga ditangkap, termasuk Salman al-‘Audah hanya karena mencuit satu kalimat doa kebaikan dan kedamaian untuk rakyat Arab dan Qatar. Kata “Qatar” ini sangat sensitif di Arab Saudi sekarang hingga ada undang-undang yang melarang “ta’athuf” (bersimpati) terhadap Qatar dengan hukuman kurungan bertahun-tahun bagi pelanggarnya. Yang dialami Salman al-‘Audah terkait hal itu.
Selain menangkap dalam jumlah besar para dai dan tokoh agama yang dituduh radikal dan ekstrem, Muhammad bin Salman memang menyatakan bahwa ia akan mendorong keagamaan di Arab Saudi menjadi modern, moderat, dan terbuka. Namun, apa yang ia sebut moderat, dan apa definisi ekstrem itu juga tak ada penjelasan lanjutan yang benar-benar bisa dipegang.
Yang tampak adalah, siapa pun tokoh agama atau tokoh lain yang tidak menunjukkan keberpihakannya secara vulgar kepada kebijakan baru Muhammad bin Salman, maka ia akan disikat. Di tengah suasana mencekam di Arab Saudi saat ini, tentu tak ada ulama yang berani melakukan sindiran halus atau mengkritik kebijakan Muhammad bin Salam, kecuali memang sudah berniat bunuh diri. Kriminalisasi atau “penistaan” ulama di Saudi tentu mudah dilakukan dalam situasi seperti sekarang.
Ulama Juga Manusia
Para dai di Saudi yang biasanya sangat galak dan keras menuding bid’ah, fasad, hingga kafir terhadap praksis keagamaan umat Islam pada umumnya itu kini jelas tak berani melontarkan sindiran atau kritik apa pun terhadap semua kebijakan Muhammad bin Salman. Apalagi di ruang publik, termasuk di media sosial.
Demikian juga para ulama dan para akademisi yang memilih selamat daripada menjadi “pahlawan”. Mudah dinalar, mereka adalah manusia biasa, tentu minimal ingin mencari selamat dari penangkapan atau penjara.
Bahkan kebanyakan para ulama itu berusaha menunjukkan dukungannya kepada Muhammad bin Salman. ‘Aidh al-Qarniy pun juga melakukan hal demikian. Sebagai manusia biasa, wajarlah ia juga ingin selamat. Sebelum tersiar kabar pencekalan atas dirinya, ia sempat mengirimkan cuitan qashidah pujian kepada rezim yang berkuasa, yaitu Raja Salaman bin Abdul Aziz dan Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz.
Puisi pujian itu kurang lebih berbunyi demikian: “Untuk Sang Salman yang penuh keteguhan, untuk Sang Muhammad (bin Salman) yang penuh tekad, semangat, dan keberanian, dan untuk rakyat Saudi yang agung. Puisiku, hormat untuk negeri. #Raja-Berperang-melawanKorupsi-#“
Sontak pernyataan penulis dan ulama yang sangat dihormati ini memantik debat liar di kalangan nitizen. Ada yang mendukung tapi kebanyakan mencela dengan kasar terhadap sikap yang dianggap “munafik” dari sang idola dan ulama panutan ini.
Ada juga tanggapan yang menarik menurut saya. Tanggapan itu sangat singkat saja, yaitu “laa tamdah” (jangan memuji). Itu maksudnya menggunakan uslub judul buku Al-Qarniy sendiri: Laa Tahzan dengan arti yang menyindir. Dengan memuji seperti itu pun, padahal ini adalah hal tak lazim dilakukannya, tokoh ini pun dimasukkan dalam daftar cekal.
Akhir-akhir ini nasib para ulama di Kerajaan Arab Saudi dengan konstitusi al-Qur’an ini setidaknya memang sedang “apes”. Mereka sudah lama tak begitu “dibutuhkan” oleh rezim penguasa. Tidak seperti dahulu kala sebelum era gelontoran minyak menyulap negeri padang pasir tandus ini menjadi kota-kota metropolis dengan fasilitas sangat modern. Ulama Wahabis ketika itu benar-benar dibutuhkan penguasa, minimal untuk memobilisasi rakyat, memompa semangat “jihad”, pemberi legitimasi, bahkan keputusan, bagi persoalan-persoalan politik yang sangat strategis.
Setelah era minyak, peran mereka mulai berubah. Kebutuhan rezim terhadap ulama mulai berkurang. Mereka hanya menjadi pemadam kebakaran saja ketika terjadi kebakaran. Mereka lebih banyak menjadi pembenar langkah-langkah rezim yang kebetulan menuai kontroversi bahkan potensial dilawan oleh rakyat, bukan pihak penting dalam pembuat keputusan.
Contohnya adalah fatwa tentang mengundang tentara Amerika Serikat ke Arab Saudi untuk menghadapi potensi ancaman dari Saddam Hussein. Juga “fatwa” akhir-akhir ini yang secara “mendadak” memperbolehkan menyetir mobil bagi perempuan.
Kendati perannya berkurang dan mereka kurang dibutuhkan lagi, selama ini mereka masih dihormati dan memperoleh kehidupan yang sangat baik dari gaji dan fasilitas kerajaan. Namun, sekarang itu semua mulai berubah. Arab Saudi yang dikenal kaya raya itu harus menghadapi kenyataan jebolnya anggaran mereka beberapa tahun terakhir. Kemampuan ekonomi mereka melemah.
Bagaimanapun, gaji para imam masjid, dai penceramah, para muaddzin, muthawwi’ dan askar-askar keagamaan lain di seantero negeri itu tidak kecil. Anggaran untuk mereka telah ikut serta membebani anggaran negara yang melemah.
Langkah “moderasi” yang diinginkan Muhammad bin Salman bisa jadi diartikan modernisasi dan keterbukaan sebagaimana yang dimengerti oleh kebanyakan orang. Tapi tak menutup kemungkinan pula, moderasi itu berarti penghematan anggaran kerajaan untuk pos-pos keagamaan.
Kolom terkait:
Gebrakan Pangeran Muhammad bin Salman
Pangeran Muhammad bin Salman dan Kontraksi Kelahiran Arab Saudi Baru