Tunisia kembali bergelora. Pasca peristiwa Arab Spring tujuh tahun lalu, baru kali ini Tunisia kembali disambut gelombang demonstrasi yang cukup banyak. Pemicunya hampir mirip yang terjadi di Iran. Harga bahan pokok yang tak terkendali dan terlalu banyak pengangguran, utamanya kaum muda.
Sebenarnya, sebelum demonstrasi, isu kenaikan harga dan pengetatan pengeluaran negara sudah diembuskan sejak seminggu sebelum 14 Januari 2017. Spanduk yang bertuliskan (“What are we waiting for?” in Arabic) cukup menyulut dan menarik perhatian baik masyarakat maupun pemerintah Tunisia. Tak hanya sebatas spanduk melainkan juga poster dan grafiti berhamburan di tembok-tembok kota.
Pesan mereka jelas. Memprotes pemerintah yang mengeluarkan kebijakan penghematan anggaran negara per 1 Januari 2018. Mereka menganggap bahwa pemerintah tidak becus mengelola keuangan negara. Seharusnya hal tersebut bisa dihindari jika pemerintah mau membuka lapangan kerja sebesar-besarnya pasca revolusi.
Apalagi pasca revolusi Tunisia adalah salah satu negara dari sekian negara Arab yang mendapat bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Kalo boleh dibilang, mendapat bantuan IMF sama saja seperti buah simalakama karena bentuknya adalah utang luar negeri. Dan yang mengerikan adalah utang luar negeri Tunisia selalu meningkat pasca revolusi.
Awalnya hanya 50% dari produk domestik bruto (GDP) kemudian meningkat hingga 71% dari GDP. Hal ini kemudian yang membuat IMF marah. Dengan dalih pemerintah Tunisia tak becus melunasi utang luar negeri dan tentu saja IMF tak mau disalahkan, maka masyarakat Tunisia yang menjadi korban.
Kebijakan peningkatan harga pangan, pemutusan sebagian pekerja formal, hingga mengurangi dana-dana khusus yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Masyarakat yang sedang membangun citra untuk mengembalikan perekonomian justru terkaget dengan kebijakan tersebut. Demo merebak.
Dejavu atau Bencana?
Minggu, 14 Januari 2018, seharusnya menjadi hari bersejarah bagi Tunisia. Tujuh tahun lalu gelombang Arab Spring bermula dari Tunisia hingga akhirnya menjalar ke Mesir, Yaman, dan Suriah. Saat itu tuntutannya jelas: menjatuhkan rezim yang telah berkuasa lebih dari 27 tahun dan mengembalikan sistem demokrasi ke jalan yang benar.
Akhirnya, tuntutan mereka berhasil. Ben Ali turun dan diganti Beji Caid Essebsi. Pesta pora merebak di mana-mana. Merayakan kemenangan sekaligus keberhasilan. Menang karena rakyat dan berhasil oleh rakyat. Tapi, sayangnya, peristiwa tersebut agaknya tidak dapat terulang kembali pada saat ini.
Demo beberapa hari lalu itu bukan berarti perayaan sejarah, melainkan peristiwa berdarah. Sedikitnya 800 orang ditahan oleh polisi akibat protes yang berlebihan. Sembari meneriakkan kata “hunger dan poverty”, protes juga berujung ke arah kekerasan. Polisi pun bertindak karena pendemo sudah merusak fasilitas umum. Konsep demonstrasi damai yang sudah direncanakan tak berjalan sesuai kenyataan.
Namun, bisa jadi, itu adalah titik kulminasi dari sekian kebijakan pemerintah Tunisia yang kurang berpihak pada masyarakat. Peristiwa tersebut tentu mengingatkan kita pada kejadian Mei 1998 di Indonesia. Bedanya, jika di Indonesia menimbulkan korban kematian, sedangkan Tunisia tidak ada korban jiwa.
Tunisia dan Indonesia
Seharusnya Tunisia banyak belajar kepada Indonesia. Belajar bagaimana menerapkan demokrasi dan pengelolaan keuangan negara. Apalagi predikat Tunisia yang dianggap banyak negara Arab sebagai negara demokrasi paling stabil. Begitu pula dengan Indonesia yang mendapat predikat demikian oleh negara-negara Asia. Namun, kenyataannya demokrasi Tunisia sedang terkoyak.
Peristiwa di awal tahun seakan menjadi ironi. Hal ini disebabkan Indonesia dan Tunisia telah menjalin kesepakatan untuk memajukan demokrasi yang lebih baik di akhir tahun 2017. Indonesia telah melakukannya dengan mengundang Tunisia saat kegiatan Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum yang membahas demokrasi tanpa mengenal rasa takut.
Bak gayung bersambut. BDF telah membuka cabang di negara lain. Negara yang terpilih pertama kali adalah Tunisia. Sebuah kehormatan yang tinggi, apalagi saat berlangsungnya BDF Chapter Tunis diikutkan pula para mahasiswa dunia, termasuk Indonesia.
Salah seorang dosen ternama di Universitas Sousse,Tunisia, mengatakan bahwa Tunisia harus belajar banyak dari Indonesia, utamanya pengelolaan sistem demokrasi. Selain itu, keberagaman masyarakat Indonesia juga ikut dipuji. Menurutnya, tak banyak negara bersistem demokrasi yang bisa menjadi teladan seperti Indonesia.
Pernyataan tersebut bukan omong kosong. Beberapa kali tokoh Indonesia seperti Prof. Azyumardi Azra diundang ke Tunisia untuk berbicara bagaimana menerapkan sistem demokrasi dan mengimplementasikan keberagaman selayaknya. Apalagi mayoritas masyarakat Tunisia dan Indonesia adalah Muslim. Selain Azyumardi Azra, pemikiran seperti almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga sangat digemari oleh masyarakat Tunisia, khususnya para akademisi.
Jika mengacu pada persahabatan antara Tunisia-Indonesia yang sedemikian erat, seharusnya Tunisia lebih sering meningkatkan impor pengetahuan dari Indonesia. Selain itu, Tunisia bisa belajar bagaimana mengelola perekonomian. Dari tahun ke tahun, perekonomian Indonesia makin membaik, bahkan di tahun 2020 tingkat perekonomian Indonesia diperkirakan akan menempati 10 besar dunia.
Pemerintah Tunisia mesti berbenah. Data The Global Competitiveness Index 2017-2018 menunjukkan bahwa memang ada tiga masalah besar pada pemerintah dalam pengelolaan ekonomi. Buruknya birokrasi pemerintah, korupsi, dan ketidakstabilan kebijakan. Maka, tak heran jika masyarakat turun ke jalan seperti tahun 2011 silam.
Jarak yang terbentang antara Tunisia dan Indonesia bukan menjadi penghalang bagi kedua negara. Setidaknya, jikalau nanti pemerintah Tunisia belum berani mengambil sikap bagaimana keluar dari bencana di awal tahun 2018, mereka sebaiknya belajar kepada Indonesia secara intensif. Belajarlah tidak hanya sampai ke Negeri Cina, melainkan singgahlah sejenak di Indonesia.