Sabtu, April 20, 2024

Bara Suriah di Balik Amuk Amerika

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di saat-saat upaya pencarian solusi akhir perang Suriah, sekutu di bawah pimpinan AS melakukan serangan ofensif dari udara ke Suriah Sabtu dini hari (14/4). Serangan terhadap rezim Bashar Assad yang disebut Donald Trump sebagai monster itu dilakukan dengan dalih sebagai hukuman terhadap rezim yang menggunakan senjata kimia dalam serangan di Ghoutta Timur pada awal-awal bulan ini.

Target dari serangan ofensif itu adalah tiga lokasi yang diyakini terkait dengan senjata kimia Suriah: gudang penampungan senjata di dekat kota Homs, pusat riset di dekat kota Damaskus, dan pos komando yang berada di dekat Damaskus.

Beberapa jam setelah serangan, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa serangan itu telah berhasil secara efektif mencapai tujuan.

Di sisi lain, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menyatakan bahwa 71 dari sekitar 110 rudal yang ditembakkan Sekutu dapat dipatahkan oleh sistem pertahanan Rusia. Rusia juga menyatakan akan memperkuat dukungannnya terhadap Suriah dengan sistem pertahanan yang lebih canggih. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh pihak Suriah.

Mencermati ancaman yang ditebar Trump, serangan itu sebenarnya tak bernilai apa-apa. Trump memang bermulut besar, tapi di lapangan tidak seperti yang ia katakan. Serangan itu sama sekali tak mengubah perimbangan kekuatan militer di lapangan Suriah saat ini. Tetap saja penguasa de facto Suriah sekarang adalah Rusia, Iran, Hizbullah, dan di daerah-daerah tertentu dikontrol Turki beserta pasukan loyalisnya, FSA. Pengaruh AS tetap saja sangat kecil di lapangan.

Serangan itu juga sama sekali tak berpengaruh terhadap keberlangsungan kekuasaan Bashar Assad. Bahkan tersebar  di media, gambar Bashar Assad melakukan aktivitas harian di kantor kepresidenan seperti dalam situasi normal saja. Padahal, ini yang paling diinginkan AS dan sekutu Arabnya dari perkembangan di Suriah, yaitu jatuhnya kekuasaan Assad.

Melihat realitas sekarang, itu adalah mimpi di siang bolong. Apalagi hanya dengan serangan kilat yang sangat terbatas itu.

Menilik rendahnya akibat dari serangan itu, Rusia dan Iran sepertinya tidak terpancing untuk melakukan serangan balasan. Apalagi AS sejak awal memang menyatakan tidak akan menarget sekutu-sekutu Bashar Assad.

Menteri Pertahanan AS James Mattis menyatakan tak ada rencana serangan berikutnya. Apalah artinya melakukan serangan ke rezim Suriah tanpa keberanian berhadapan dengan Iran dan Rusia. Itu hanya konfrontasi main-main saja. Sekadar unjuk kekuatan belaka.

Tentara Suriah berjaga di sebelah kendaraan lapis baja, di perbatasan kota Harasta, wilayah timur Damaskus, pinggiran Ghouta, Suriah, Kamis (22/3). ANTARA FOTO/REUTERS/Omar Sanadiki/djo/18

Kerugian justru terjadi di kubu AS. Sebab, Rusia terus menggalang dukungan untuk membawa persoalan itu ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kendati ujungnya bisa ditebak–sebab AS, Iggris, dan Prancis adalah anggota tetap DK PBB–tekanan politik justru mempersulit pemerintahan AS. Ujung dari proses di DK PBB maksimal adalah kecaman terhadap AS dan sekutunya.  Tak lebih dari itu.

Meski mendapat dukungan dari oposisi Suriah dan juga sekutu Arabnya, sekali lagi serangan AS tidak benar-benar serius. Itu adalah serangan yang setengah hati atau serangan setengah takut. Sebab, mereka sama sekali tak ingin berkonfrontasi dengan Iran dan Rusia yang de facto penguasa Suriah dan pendukung Assad.

Pendeknya, menyerang anak harimau tanpa mau berkonfrontasi dengan induk harimau terbilang lucu bin ajaib.

Manfaat langsung dari serangan itu, bagi AS, paling banter dalam lanskap konflik Suriah hanyalah menyatakan bahwa AS masih ada. Itu saja, tak lebih dari itu. AS masih hadir di Suriah, kendati hampir tak memiliki kontrol secara de facto di wilayah yang signifikan. Dari sini manfaat yang diperoleh tentu untuk menaikkan sedikit posisi tawar AS dalam penyelesaian akhir di Suriah.

Jika dicermati, AS memang ditinggal dalam upaya penyelesaian akhir di Suriah, karena memang tak lagi dianggap penting. Mereka yang berkuasa sudah memiliki forum tersendiri yang anggotanya tanpa melibatkan AS. Mereka terdiri dari trio penguasa riil Suriah: Rusia, Iran, dan Turki. AS dianggap tidak menjadi bagian solusi akhir Suriah.

Pada titik inilah, serangan ini bisa dibaca: lagi-lagi hanya menaikkan posisi tawar dalam penyelesaian akhir di Suriah. Harapannya, mereka setidaknya akan dilibatkan atau didengar suaranya. Saya sama sekali tidak yakin bahwa Trump memiliki komitmen yang cukup dalam masalah kemanusiaan, yaitu untuk membalas perlakuan rezim Assad yang dianggap tak manusiawi.

Trump jelas bukan tipe itu. Ia adalah pedagang yang selalu berhitung untung-rugi untuk diri sendiri dalam setiap tindakan. Tak ada yang gratis dari setiap peluru yang ditembakkan AS. Dan biasanya tanggungan finansial itu dibebankan kepada sekutu-sekutu Arabnya.

Analisis lain yang banyak dilontarkan pengamat mengarah pada sikap eskapisme. Tepatnya, tindakan yang digunakan untuk melarikan diri dari persoalan berat yang sedang menderanya. Keputusan serangan itu diambil Trump untuk mengurangi tekanan di dalam negeri dengan membuat isu besar di luar negeri, kendati itu hampir tak membantu mengubah realitas di lapangan.

Kolom terkait:

Timur Tengah di Balik Kunjungan Bin Salman ke AS

Israel dan Bara yang Masih Menyala di Suriah

Kita dan Suriah: Tidak Trump, Tidak Putin, tapi Kita

Risiko Politik Serangan AS ke Suriah

Tragedi Suriah dan Amnesia Dunia

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.