Ibnu al-Rawandi (wafat 911) dikenal sebagai salah satu sarjana Muslim klasik yang oleh lawan-lawannya sering dilabeli sebagai ateis dan heretik. Ia dikenal sebagai sarjana dan pemikir yang sangat skeptis terhadap Islam dan kritikus agama secara umum. Konon, semula al-Rawandi merupakan pegikut Mu’tazilah, faksi teologi rasionalis Islam, sebelum memutuskan sebagai seorang “freethinker”.
Sarah Stroumsa dalam bukunya, Freethinkers of Medieval Islam, menyatakan bahwa al-Rawandi dikabarkan pernah menyebut al-Qur’an sebagai “kumpulan pidato dari (seorang) makhluk yang tak bijak”. Ia juga menolak cerita-cerita mu’jizat Ibrahim, Musa, Yesus, Muhammad serta nabi-nabi lain sebagai “trik curang” dan tipu muslihat belaka.
Sarjana lain yang sering disebut atau dianggap terutama oleh “kubu lawan” sebagai “mulhid” (ateis, zindik, heretik, murtad) dalam literatur keislaman adalah Abu Bakar al-Razi (w. 925), yang dalam versi Latin disebut Rhazes atau Rasis. Tidak seperti al-Rawandi, al-Razi dikenal jauh lebih mumpuni pemikiran dan intelektualitasnya.
Al-Razi juga seorang sarjana polymath yang sangat prolifik. Ia menulis banyak karya ilmiah (konon mencapai 250 judul risalah) di berbagai bidang: kedokteran, astronomi, fisika, filsafat, matematika, musik, dan masih banyak lagi, termasuk ilmu-ilmu keislaman tentunya.
Tidak seperti al-Rawandi yang nyaris tidak ada sarjana yang menulis riwayat hidupnya, banyak sarjana yang mendokumentasikan sejarah dan karya-karya al-Razi seperti Edward Browne, Cyril Elgood, Donald Campbell, Henry Sigerist, dan sebagainya.
Selain menulis karya-karya di bidang kedokteran dan eksakta, al-Razi juga menulis sejumlah karya akademik yang mengkritik tentang pewahyuan, kemukjizatan, kenabian, dan diktum-diktum agama secara umum. Al-Razi juga pernah menyebut al-Qur’an sebagai karya yang penuh dengan kontradiksi serta tidak berisi informasi dan penjelasan ilmiah.
Meskipun sasaran utama kritik al-Razi adalah Islam, al-Razi, seperti ditulis dalam The Oxford Handbook of Atheism, juga mengkritik agama-agama lain, khususnya Yahudi, Kristen, Zoroastrianisme, dan Manicheanisme.
Tokoh Muslim klasik lain yang dianggap sebagai freethinker, heretik, dak kritikus agama adalah Abu al-Ala al-Ma’ari (w. 1057), seorang sastrawan dari Suriah, dan juga Omar Khayyam (w. 1131), seorang sarjana dan sastrawan dari Nishapur, Iran.
Meski embrio atau akar-akar ateisme (ilhad) sudah ada sejak Abad Pertengahan (sejak 8 Masehi), era ketika dunia Islam sedang mengalami surplus sarjana dan pengetahuan, bentuk-bentuk ateisme di kawasan Islam yang agak mirip-mirip pengertiannya dengan yang berkembang di Barat baru muncul pada abad ke-19 Masehi.
Menurut Samuli Schielke dalam The Oxford Handbook of Atheism, gerakan pemikiran bebas, antiagama, dan antiklerik di kalangan umat Islam di abad ke-19, pertama kali muncul di Iran, kemudian India, lalu kawasan Turki Usmani dan daerah Islam yang masuk koloni Rusia (termasuk Asia Tengah dan Balkans). Konon, gerakan ini diperkenalkan oleh Arab Muslim dan Kristen yang tinggal di berbagai wilayah kekuasaan Turki Usmani.
Kendati gerakan antiagama dan antiklerik ini muncul bersamaan dengan kolonialisasi umat Islam oleh sejumlah negara Eropa, bukan berarti gerakan ateisme di sejumlah kawasan Islam ini semata-mata merupakan adaptasi dari “ateisme Barat”. Mengapa? Karena Islam, seperti dipaparkan di atas, juga memiliki sejarah heretik dan pembangkangan atas norma, doktrin, ajaran, dan diskursus keagamaan dan keislaman.
Jadi, gerakan ateisme serta nasionalisme antiagama dan antiklerik yang muncul cukup masif di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu bukan hanya lantaran pengaruh unsur-unsur asing (Eropanisme), melaikan juga “unsur-unsur lokal” keislaman (yaitu tradisi “pembangkangan teologis”).
Ateisme di Timur Tengah juga perlu disikapi atau dilihat dalam bingkai yang lebih luas: perkembangan modernisme sekular yang mulai menjamah kawasan Islam dari Semenanjung Balkans dan Asia Tengah hingga Timur Tengah dan Afrika.
Di antara sekian tokoh ateis yang cukup fenomenal pada awal abad ke-20 adalah Ismail Ahmad Adham (w. 1940), seorang penulis Mesir dan kritikus sastra yang lahir di Turki tapi menetap di Alexandria dan mengklaim sebagai didikan University of Moscow, Russia. Ismail merupakan salah satu sedikit penulis dan pemikir Mesir yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai ateis.
Pada tahun 1936, ia menulis sebuah buku yang menolak otentisitas dan historisitas penulisan hadits serta mengirim ratusan kopi bukunya ke para ulama di Universitas al-Azhar. Rektor al-Azhar waktu itu, Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi (w. 1945), melayangkan surat protes ke kementerian Mesir atas beredarnya buku tersebut. Tak lama kemudian, oleh kementerian Mesir, buku tersebut dilarang.
Meski bukunya dilarang, Ismail tidak kapok. Setahun kemudian ia menulis sebuah risalah manifesto yang lebih frontal yang kemudian memicu perdebatan dan kegaduhan berjudul Limadza Ana Mulhid (Mengapa Saya Seorang Ateis?).
Abdurrahman Badawi (1917-2002), seorang sarjana dan filsuf Mesir yang mengajar di Libia dan Kuwait, juga sering dihubung-hubungkan dengan sejarah kontemporer ateisme di Timur Tengah. Buku klasiknya, Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam (Sejarah Ateisme dalam Islam), yang ditulis pada 1940-an masih dibaca hingga kini. Badawi sendiri sebetulnya adalah seorang filsuf eksistensialis Arab pertama yang tidak bisa serta-merta dicap sebagai “ateis”, meski ia memiliki jiwa “free thinking” dan sejumlah pemikirannya bernuansa “pemberontakan teologis”.
Tokoh Arab lain yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan sejarah ateisme dalam Islam di Timur Tengah adalah Abdullah al-Qassimi (1907–1996), yang disebut-sebut sebagai “Bapak Ateisme Arab Teluk”. Al-Qassimi dianggap sebagai penulis, sarjana, dan intelektual paling kontroversial dan fenomenal di kawasan Arab di abad ke-20 karena perubahan sikapnya dari pengikut Salafi ekstrim ke pembela pemikiran bebas-merdeka, selain karena tulisan-tulisannya yang sangat sekuler, liberal, dan skeptis atas Islam (dan agama).
Sebelum berubah menjadi ateis, al-Qassimi memang dididik dalam lingkungan agama konservatif di Najed, Arab Saudi, yang merupakan tempat lahirnya “Wahabisme.” Seperti umumnya umat Islam di kawasan Najed, al-Qassimi awalnya juga didoktrin oleh para ulama Wahabi dengan pemikiran-pemikiran dan karya-karya para pemikir dan ulama yang menjadi idola umat Wahabi seperti Ahmad bin Hanbal (w. 855), Ibnu Taimiyah (w. 1328), Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 1350), dan tentu saja Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1791), pendiri Wahabisme.
Tapi, belakangan ia “memberontak” menjadi ateis dan freethinker yang mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan dan mengkritik keras agama, termasuk Islam tentunya. Sebelum meninggal karena kanker, ia beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan di Libanon dan Mesir.
Meski jasadnya telah tiada dan mungkin lenyap ditelan bumi, karya dan pernyataanya masih terus hidup dan dikutip oleh kalangan sekularis, freethinker, agnostik, dan ateis Arab kontemporer khususnya (bersambung).
Kolom terkait:
Ateisme dalam Sejarah Islam dan Timur Tengah (1)
Islam dan “Hantu” Komunis-Ateis