Maret ini, 6 tahun lalu, konflik berdarah di Suriah meletus. Pihak oposisi menyebut peristiwa itu sebagai revolusi menjatuhkan tiran. Sebaliknya Pemerintah Suriah menganggap itu sebagai pembangkangan dan pengkhianatan.
Saat itu tak ada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), tak ada Al-Qaidah, tak ada Iran, Rusia atau Hizbullah. Krisis politik secara cepat berubah menjadi konflik bersenjata dan menjalar ke seantero Suriah.
Enam tahun silam Suriah bukanlah satu-satunya negeri Timur Tengah yang diamuk konflik. Protes massa juga merebak di negara-negara Arab pada musim semi, peristiwa yang dikenal dengan Arab Spring.
Bermula di Tunisia, negara pertama yang dilanda Arab Spring. Dari Tunisia, Arab Spring menular ke berbagai negara Timur Tengah, seperti Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, dan Suriah.
Jika tolok ukurnya menjatuhkan rezim, kalau kita bandingkan dengan revolusi Mesir, Tunisia atau Libya, Revolusi Suriah dapat dibilang lamban. Pasalnya, Revolusi Mesir mampu menggulingkan rezim Husni Mubarak hanya dalam waktu 18 hari; Revolusi Yasmin di Tunisia berhasil melengserkan Presiden Ben Ali dalam waktu 1 bulan; dan Revolusi Libya berhasil menjungkalkan Muammar Khadafi, meski dengan cara tragis, dibunuh).
Lantas mengapa Bashar al-Assad masih mampu bertahan?
Salah satu faktor utamanya adalah keterlibatan Rusia dan Iran yang secara diplomatik dan militeristik membela rezim Bashar al-Assad hingga detik ini. Lalu, pertanyaan berikutnya, kenapa Rusia dan Iran mendukung rezim Suriah?
Rusia memiliki kepentingan geostrategis di kawasan. Suriah kini merupakan benteng terakhir Rusia, setelah Libya tumbang. Di Suriah, Rusia memiliki pangkalan angkatan laut di Tartus, bahkan sejak masa Uni Soviet, dan semakin membesar dalam tahun-tahun belakangan ini.
Rusia juga punya pangkalan udara di Hmeimim, Latakia. Jadi, dalam tingkatan geostrategis, seandainya kehilangan Suriah, maka Rusia tidak punya keberadaan dan pengaruh diplomatis di Mediterania.
Sementara itu, Iran pasang badan tak lain karena rezim Suriah merupakan sekutu lama bahkan sejak perang Iran versus Irak meletus (Perang Teluk I 1980-1988), sebuah peperangan yang membawa kehancuran besar bagi kedua bangsa. Di saat negara-negara Arab seperti Yordania, Oman, Arab Saudi memihak Saddam Hussein, Presiden Suriah Hafeez al-Assad (Ayah Bashar) menutup pipa minyak Irak dari Suriah ke Mediterania demi mendukung Iran, sehingga mengakibatkan Irak menderita kerugian besar.
Sejarah juga mencatat, Suriah merupakan negara pertama yang mengakui kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang dibesut Ayatullah Khomeini (Al-Arabiya, 2016). Teheran juga memiliki kepentingan dalam menjaga zona pengaruh dari Irak ke Suriah ke Libanon.
Teheran masuk secara militer di pihak rezim Suriah sedari awal, yang disusul milisi Hizbullah Lebanon secara diam-diam pada tahun 2012. Tahun 2013 Hassan Nasrallah, pimpinan Hizbullah, menyatakan mereka mengintervensi di Suriah untuk melindungi tempat-tempat suci Muslim Syiah melawan kaum takfiri.
Patut diperhatikan juga posisi Amerika Serikat. Awalnya Amerika tidak mengambil sikap tegas perihal krisis Suriah. Saat Revolusi Tunisia, Presiden Barrack Obama menyerukan Ben Ali untuk turun setelah dua minggu Revolusi. Bahkan dia mendesak Husni Mubarak turun tidak sampai satu minggu setelah pecah Revolusi Mesir. Namun, pernyataan pertama kali Obama untuk Bashar al-Assad baru muncul pada Agustus 2011, lima bulan setelah krisis Suriah pecah.
Itulah mengapa Bashar al-Assad tak akan mudah tersingkir sebagaimana rezim Libya, Yaman atau Mesir, dan sepertinya tak ada tanda-tanda bahwa perang Suriah akan berakhir. Bashar al-Assad pernah berbicara kepada Sunday Telegraph, Suriah adalah garis sesar, dan jika Anda bermain di atasnya, maka Anda bisa menyebabkan gempa bumi … Apakah Anda ingin melihat Afghanistan lain, atau puluhan Afghanistan lain? Setiap problem di Suriah akan membakar seluruh kawasan.” (Michael Weiss, ISIS: The Inside Story).
Pertanyaannya, siapa yang memicu kebakaran? Namun, siapa pun itu, api telah membakar dan nyala apinya sudah menjalar ke mana-mana.