Jumat, Maret 29, 2024

Intelektual dan Tangan-Tangan Tak Kelihatan

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.

Peretasan akun media sosial ahli epidemologi Pandu Riono beberapa waktu lalu adalah salah satu saja dari kejadian setelah beberapa peretasan yang dilakukan kepada mereka yang, demi kebenaran dan tanggung-jawab akademiknya, menyuarakan dan dengan keras mengkritik kebijakan publik “aneh-aneh” yang diambil semasa pandemi Covid-19 ini. Para pelaku membobol akun, mengacak-acak privasi, bahkan melakukan sekian tindakan untuk mencoba menjatuhkan kredibilitas dan integritas mereka.

Yang menguntungkan para peretas ini adalah karena sistem teknologi memungkinkan mereka bersembunyi. Bisa tanpa jejak, melakukan kejahatan terhadap privasi orang lain. Dan, dalam kasus peretasan akun para intelektual, karena tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk membalikan argumentasi para intelektual ini, pilihan mereka hanya satu: menganggu privasi mereka dan membangun narasi busuk yang menyerang pribadi serta membangun propaganda murahan yang sama sekali nihil substansi. Karenanya, melawan argumentasi ilmiah zaman digital ini hanya mengandalkan kemampuan meretas adalah tidak lain kelakuan pengecut sama sekali.

Kebenaran yang disuarakan dengan dasar ilmu pengetahuan yang teruji, berbasis data yang ilmiah yang mumpuni dan disuarakan oleh para intelektual malah sering dilawan oleh suara dan tindakan dari mereka yang lebih senang “apa-apa” yang hanya sesuai dengan keinginan mereka. Untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya, mesti salah.

Makin bahaya kalau keberpihakan pada kebenaran ilmiah yang obyektif kalah pada keyakinan kelompok atau politik tertentu berbasis subyektif kolektif. Mereka ini, sekarang kita tahu sebagai gerombolan pendengung (buzzer), yang sudah sangat menganggu kewarasan publik.

Ada masa ketika intelektual itu justru menjadi pengkhianat sebagaimana dikritik keras oleh Julien Benda (2014) dalam The Traeason of the Intellectuals. Mereka, meski tahu apa yang sebenarnya, tetapi misalnya, karena kepentingan politiknya, menjadi diam, bahkan menggunakan kemampuan “otaknya” untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu.

Pendapat mereka tidak lagi didasarkan pada kebenaran ilmu pengetahuan an sich sebagaimana mereka bertanggungjawab untuk mengatakannya, tetapi sudah tercemar oleh “kebenaran-kebenaran” buatannya sendiri demi legitimasi kepentingan tertentu. Inilah, sebegaimana dicatat Benda, sebuah kelakuan mengerikan dari para intelektual: sebuah pengkhianatan.

Tetapi tantangan para intelektual bukan saja bersumber pada dirinya sendiri, bahwa mereka tidak tahan pada godaan-godaan untuk sebentar-sebentar melayani kepentingan (kekuasaan) yang menguntungkan mereka.

Sekarang, ketika para intelektual yang dapat diandalkan dan mencoba berperan sebagaimana seharusnya, justru dihambat, diancam, diganggu oleh pihak luar yang sudah menjadi korban era pasca kebenaran, yang sudah tak terhindarkan lagi. Oleh pihak-pihak ini, segala cara dihalalkan, bahkan bagi mereka, solusi yang paling tepat untuk masalah bersama yang berdasar ilmu bukan yang terpenting, melainkan kemapanan kepentingan dan kelompoknya jangan sampai terganggu.

Ini bukan hanya soal ilmu pengetahuan, sebagai salah satu sumber kebenaran dalam masa pandemi sekarang ini, yang terancam, tetapi lebih bahaya, intelektual tidak bisa menjadi alternatif bagi setiap masalah publik yang terjadi, dan itu bukan semata-mata karena mereka tidak mau, tetapi kalaupun mau, ada saja “tangan-tangan tak kelihatan”, apalagi di media sosial, yang selalu menginterupsi.

Sayangnya, sebagaimana kita tahu, para intelektual sering kalah dalam pertarungan. Kecanggihan sekarang ini telah membuktikan bahwa kebenaran obyektif sekalipun bisa hilang relevansinya karena serangan kejahatan yang tanpa ampun.

Lalu apa? Peran intelektual tetap yang utama, dan masa pandemi Covid-19 telah memperlihatkan betul bahwa keberadaan ilmu pengetahuan sekaligus para intelektual yang menyuarakannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Kritik keras seorang epidiemolog tentang kebijakan penanganan kesehatan yang diambil pemerintah tentu lebih baik untuk didengarkan daripada klaim-klaim kosong tanpa dasar ilmiah yang kuat. Keberadaan para intelektual ini bukan hanya krusial tetapi sangat menentukan keberhasilan upaya penanganan kedaruratan kesehatan ini.

Meskipun kita tahu bahwa ke depan akan selalu ada interupsi dari “tangan-tangan tak kelihatan” itu, para intelektual tetap harus para peranan dan mengingat selalu tanggungjawab akademiknya.

Ada dua alasan untuk ini: pertama, mereka adalah hanya sebagian orang yang memiliki kapasitas keilmuan dan dengan itu dapat memahami apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh sebuah implementasi ilmu pengetahuan dalam masalah-masalah konkret di masyarakat. Untuk itu, peran mereka, manakala dijalankan dengan bertanggungjawab tanpa tendensi berpihak selain daripada kebenaran ilmu pengetahuan, akan dapat menjadi bagian besar dalam penyelesaian masalah-masalah itu.

Kedua, mengikuti Edward W. Said (1995), para intelektual harus siap mengambil jarak dari wilayah kekuasaan (Said juga menyebutkan, termasuk dunia profesionalisme), agar dengan begitu selalu berani untuk menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan itu.

Posisi mereka bukan untuk menjadi seolah-olah “kekuasaan alternatif” tetapi karena pada faktanya kebenaran ilmu pengetahuan (sains) tidak melulu “cocok” dengan apa yang harus dilakukan kekuasaan. Di situlah, meskipun berat, para intelektual tetap bertahan pada peran dan tanggungjawabnya untuk mengedepankan kebenaran daripada keberpihakan pada kepentingan tertentu.

Peretasan akun Pandu Riono adalah sebuah ironi. Argumentasi akademik dilawan dengan kejahatan dan bukan diperdebatkan secara obyektif. Pihak-pihak tertentu, mereka “tangan-tangan tak kelihatan”, dengan sadar menerobos batas privasi orang lain, dalam hal ini para intelektual, hanya karena para intelektual ini mencoba menampilkan kebenaran.

Para pendengung, yang pasti termasuk dalam “tangan-tangan tak kelihatan” itu juga semakin mengkhawatirkan, karena dasar narasi mereka sekarang adalah bagaimana kepentingan mereka tidak terganggu. Adalah sebuah tantangan bagi suatu negara untuk melindungi para intelektual ini dari kejahatan “tangan-tangan tak kelihatan” itu. Maka hukum yang tegas perlu diandalkan untuk menyikapinya.

Tetapi bagaimanapun, para intelektual tetap harus bertahan dan selalu ingat pada peran dan tanggungjawabnya. Mereka tetap harus berpatokan pada kebenaran ilmu pengetahuan, tidak mudah tergoda untuk berkhianat sebagaimana diingatkan Benda, dan seperti disarankan Said, tetap berani dalam kapasistas akademiknya untuk menyuarakan keberanan itu, sekalipun kepada penguasa. Tetapi bukan hanya Benda dan Said, kita bisa juga mengingat apa yang disampaikan Ronggowarsito dalam Serat Sabdatama Bait ke-22, Pupuh Gambuh,

“Ngratani sapraja agung.
Keh sarjana sujana ing kewuh,
nora kewran mring wicara agal alit.
Pulih duk jaman rumuhun,
tyase teteg teguh tanggon.”

Kita berharap bahwa para intelektual di masa ini dan masa mendatang, “Merata ke seluruh negara. Banyak intelektual/cerdik-cendikia sibuk bekerja, tidak tercecer dalam bicara perkara besar dan perkara kecil. Kesadaran kembali seperti dahulu, hatinya tabah, kuat (tidak ragu dan plin-plan) dan dapat diandalkan.”

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.