Senin, Oktober 14, 2024

Influencer Konten Nyeleneh, Cobaan Sisi Primitif Manusia

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Sabrina Mulia
Sabrina Mulia
Saya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Sedang belajar menulis dan akan selalu belajar.

Saya tidak habis pikir, dimana-mana orang-orang viral memenuhi sosial media setiap hari, berganti-ganti. Tapi semuanya hanya membawa konten-konten nyeleneh yang memancing sumpah-serapah warganet.

Kita mungkin berfikir bahwa mana ada manusia di dunia ini yang suka di hina satu negara meskipun kita tau hal bodoh yang mereka lakukan memang menggiurkan untuk dicaci-maki. Namun, coba Anda berfikir dari sisi lain. Siapa tahu, tujuan mereka memang hanya buat viral saja tidak peduli mau dihina sana-sini.

Kalau dipikir-pikir, seorang penyanyi tidak akan terkenal tanpa panggungnya, seorang pelaut tidak akan disebut ahli tanpa lautan yang mengantarkan kapalnya atau seorang imam agama yang karismatik tanpa mimbarnya.

Semuanya membutuhkan tempat, sama seperti para ‘influencer’ (setidaknya mereka menyebut diri mereka seperti ini) tanpa tempat yang disediakan oleh netizen yang budiman, mereka tidak akan viral. Tidak akan sampai diundang ke channel youtube Deddy Corbuzier untuk klarifikasi. Nyatanya, panggung yang diciptakan warganet yang beralaskan caci maki ini adalah kendaraan termudah bagi mereka menuju kepopuleran.

Saya jadi teringat dengan psikolog dan filosof terkenal bernama Sigmund Freud. Ia lah yang mendirikan aliran psikoanalisis dalam bidang psikologi. Menurutnya beliau kepribadian itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Id (the Id), Ego, Superego. Ketiga unsur tersebut bekerja sama hingga membentuk kepribadian dan perilaku manusia yang kompleks.

Dari ketiganya, unsur yang paling primitif dan berbahaya adalah ID, ia akan membuka pintu kepuasan bagi dirinya seorang individu hingga menghiraukan pertimbangan logis dan etika sebagai prinsip pengambilan keputusan. Lebih sederhana, ID berwujud pada gambaran nafsu, hasrat seksual dan perasaan superior.

Kembali kepermasalahan awal kita, Apakah Anda merasa lebih baik setelah menghina influencer bodoh di Instagram? Atau berhasil mencaci maki dia di grup whatsapp keluarga? Bisa jadi juga Anda merasa hidup Anda lebih baik setelah tau bahwa sang influencer dirundung satu negara karena konten viral nyelenehnya?

Disitulah Id mulai menguasainya Anda.

Id sejatinya didorong oleh prinsip kesenangan yang berusaha untuk mencapai kepuasan segera dari semua keinginan. Merasa lebih baik dari orang lain adalah suatu kesenangan, itu benar. Namun merasa lebih baik dari orang lain sambil mencaci-maki tentang kebodohannya adalah hal yang lebih menyenangkan.

Meski Id tidak selamanya bermasalah dan berbahaya, Frued memberi contoh Id bekerja ketika kita merasa lapar atau haus maka akan segera memenuhi kebutuhan tersebut dengan makan atau minum sampai Id tersebut terpenuhi.

Namun pernahkah Anda merasa gelisah dan cemas karena tidak meninggalkan komentar dengan kata-kata kasar di twitter influencer nyeleneh?

Disitulah Id mulai menguasainya Anda.

Freud mengatakan bahwa manusia tidak bisa mengingkari kesan bahwa mereka pada umunya menggunakan standar yang keliru. Mereka mencari kekuatan, sukses dan kekayaan untuk diri mereka sendiri, memuji diri mereka sendiri dihadapan orang lain dan mereka memandang rendah pada apa yang sebenarnya berharga dalam hidup.

Trend menjatuhkan harga diri dengan membuat konten nyeleneh seakan menjadi hari-hari yang tidak ada habisnya. Orang-orang itu menggunakan kekuatan jempol dan Id Anda sebagai senjata memviralkan diri, secara langsung Anda membantu mereka meraih kepopuleran yang mereka inginkan.

Tinggal buat satu konten aneh, lalu tidur, besok pagi sudah jadi trending di Twitter.

Kalau kelihatan sudah mau ditegur polisi dan masuk ranah hukum, tinggal klarifikasi minta maaf di channel youtube pesulap, bilang saja khilaf. Masalah selesai.

Meski Freud mengatakan Id adalah hal mendasar yang dibawa setiap manusia dari lahir, ia menekan kan bahwa hidup yang baik adalah Anda dapat menyeimbangkan Id (the Id), Ego, Superego dalam segala aspek kehidupan Anda, bahkan dalam melawan konten absurd di media sosial.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mencegah ke-viral-an orang-orang bodoh ini?

Izinkan saya mengutip sebuah kutipan dari Denis M yang sempat saya screen capture beberapa tahun lalu. “Puncak kemarahan adalah mendiamkan. Sisi lain bersebrangangan dari menyayangi adalah tidak peduli. Kalau ada yang membegitukan kau, itu artinya kau sudah mati bagi dia.”

Orang-orang ini tidak akan benar-benar mati, pasti ada saja. Tapi mematikan keinginan untuk tidak mencaci dan membuat mereka terkenal karena tingkah laku bodoh hanya demi viral dan ujung-ujungnya uang adalah kewajiban kita.

Sabrina Mulia
Sabrina Mulia
Saya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Sedang belajar menulis dan akan selalu belajar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.