Dalam kacamata hukum kritis, Nonet dan Selznick dalam Law and Society in Transition: Toward Responsive Law menyebutkan bahwa salah satu ciri hukum represif adalah pembatasan terhadap partisipasi (pasif) dan meletakkan kritik sebagai bagian dari ketidaksetiaan. Di dalam kekuasaan pemerintahan yang represif, ia tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan publik atau dengan mengingkari legitimasi yang telah diberikan publik.
Bagaimana rezim demokrasi bisa menghasilkan hukum represif? Kehancuran rezim demokrasi bukan karena kudeta atau tekanan militer, tetapi karena pemimpin yang terpilih (melalui pemilu) tidak menjalankan nilai-nilai demokrasi, seperti mengabaikan konstitusi, membuat hukum yang merepresi publik dan lawan politik, mengatur media dan korporasi, bertingkah layaknya seorang otoriter (Steven Levitsky, How Democracies Die, 2018).
Dalam konteks Indonesia, sistem demokrasi yang dibangun di atas rezim otoritarian Orde Baru telah membuktikan bahwa rezim demokrasi bisa menghasilkan hukum yang represif. Dan tanpa disadari ini menjadi pemicu dari gelombang besar perlawanan publik yang berujung pada kejatuhan rezim orde baru setelah 32 tahun berkuasa.
Presiden mesti sadar betul bahwa ini tak menguntungkan bagi posisi politiknya. Sekalipun tak punya beban elektoral, ia akan dikenang sebagai presiden yang menciptakan konflik karena memproduksi hukum yang represif dengan cara mereduksi partisipasi publik.
Hukum untuk Siapa?
Hukum dibentuk oleh penguasa dan menjadi cermin dari kehendak penguasa. Maka, untuk itu negara harus menjelma menjadi makhluk yang menakutkan (leviathan), ganas, bengis, agar perintahnya dipatuhi oleh publik. Dengan kekuasaan yang powerful dan absolut, hukum akan dijalankan dengan mudah dalam rangka menciptakan stabilitas.
Pemikiran Thomas Hobbes (1588–1679) tentu tidak relevan dengan situasi sosial politik di Indonesia dewasa ini. Perkembangan demokrasi pasca reformasi dalam 2 (dua) dekade terakhir tak mungkin memutar arah menuju rezim otoritarian.
Perdebatan tentang pembuatan hukum dengan gaya monarki ini dipertontonkan setidaknya ketika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas dan mengesahkan revisi terhadap UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Di belakang itu menyusul Rancangan KUHP yang bertendensi mengkriminalisasi urusan-urusan privat, termasuk dalam hal membungkam kebebasan berpendapat dan partisipasi publik. Sebut saja pasal tentang penghinaan kepada presiden yang dihidupkan kembali dalam Rancangan KUHP padahal sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Pembuatan peraturan, hukum, atau undang-undang bukanlah kekuasaan absolut yang hanya melekat pada fungsi-fungsi pemerintah dan DPR. Konstitusi justru meletakkan fungsi legislasi sebagai ranah kontrol bagi publik terhadap lahirnya hukum. Sebab itulah konstitusi mengatur banyak hal tentang hak asasi manusia. Perumusan aturan bukanlah hal teknis yang hanya memadukan kalimat-kalimat hukum, tetapi memastikan masyarakat menggunakan hak kemerdekaannya untuk berpikir, menyampaikan pendapat, semata-mata sebagai wujud dari kesadaran atas politik kewargaan.
Terlebih lagi konstitusi pasca amandemen juga menempatkan hak publik dalam menentukan dan mengontrol kekuasaan sejak proses pemilihan umum dilakukan. Legitimasi secara langsung ini kemudian semestinya diimbangi dengan metode akuntabilitas agar kekuasaan tidak berjalan atas kehendaknya sendiri, ada kepentingan publik yang wajib diakomodasi.
Kesepakatan konstitusional itulah yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ada prinsip soal keterbukaan (pasal 5), tidak hanya mengumumkan hasilnya kepada publik, tetapi juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat sebelum suatu peraturan atau undang-undang itu disahkan.
Membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan peraturan secara langsung juga berkaitan dengan prinsip kemanfaatan yang secara riil memang dibutuhkan oleh masyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Ketika ruang-ruang partisipasi dalam pembentukan hukum diperkecil atau bahkan diberangus, maka kecurigaan bahwa hukum itu akan digunakan untuk melindungi penguasa dan kroninya menjadi sebuah keniscayaan.
Konflik Hukum
Ketika hukum dirumuskan tak berkesuaian dengan hukum yang dikehendaki oleh rakyat, sekalipun disahkan oleh penguasa, tidak akan menjadi rujukan bagi masyarakat. Meski ditopang oleh sanksi-sanksi, ia akan condong diabaikan begitu saja karena gagal memperoleh signifikansi sosialnya (Soetandyo, 2013).
Kepercayaan terhadap hukum akan semakin mengemuka, sebab tidak memadainya hukum digunakan sebagai alat perubahan. Di saat bersamaan institusi-institusi hukum semakin tercemar dari dalam dan bekerja hanya sebagai alat kekuasaan (Nonet, Selznick).
Hukum kehilangan legitimasi moralnya karena berisikan hal-hal yang bertentangan dengan kebutuhan publik. Alih-alih hukum yang ditujukan untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat, ia justru menimbulkan perlawanan, kekacauan, bahkan anarki.
Dalam situasi semacam ini, presiden sebagai kepala negara sesungguhnya memiliki kekuasaan yang cukup untuk melakukan review terhadap hukum atau undang-undang yang dianggap bertentangan dengan kebutuhan sosial masyarakat. Kekuasaan presiden yang begitu besar di bidang legislasi seharusnya mampu menyelesaikan konflik hukum semacam ini.
Kendati konstitusi menyediakan ruang untuk melakukan review melalui lembaga peradilan (judicial review), keputusan presiden amat sangat dinanti sebagai pengemban moral dari masyarakat yang memilihnya. Biarlah penyelesaian melalui lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) menjadi upaya terakhir ketika kuasa pembentuk legislasi tidak lagi mengindahkan aspirasi publik.
Bacaan terkait
Mengembalikan Kehormatan Presiden