Tahun 1980-an, UGM menyelenggarakan seminar dan workshop jurnalistik mahasiswa. Karena saya rajin menulis di koran Kedaulatan Rakyat, saya diminta mewakili mahasiswa MIPA untuk menjadi peserta seminar dan workshop di Gedung Pertemuan universitas itu.
Seminar dan workshop dibuka Menpora Abdul Ghafur. Keynot speakernya Jacob Oetama, pemimpin redaksi harian Kompas. Yang memimpin lagu Indonesia Raya, Titin Ayu Asih Suwandi, mahasiswi FE, yang langsing dan cantik.
Usai Pak Jacob ceramah tentang pers nasional, saya yang saat itu masih menjadi murid kagetan Abu Bakar Ba’asyir di masjid Syuhada, langsung bertanya menggebu.
“Pak Jacob, benarkah Kompas itu singkatan komando pastur? Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Kompas itu adalah kepanjangan dari proyek kristenisasi di Indonesia. Jika memang demikian, alangkah buruknya Kompas, karena bertujuan mengkristenkan Indonesia.”
Pertanyaan saya membuat peserta seminar kaget. Termasuk Titin, gadis FE UGM cantik yang beberapa tahun kemudian tewas karena pesawat yang membawanya jatuh di Sungai Musi 1997 tak lama setelah meraih PHD ekonomi dari Australian National University.
Mendapat pertanyaan saya (aktivis masjid Syuhada) seperti itu, Pak Jacob menjawab dengan sabar penuh kebapakan. Kompas, jelas Pak Jacob, sama sekali bukan singkatan komando pastur. Kompas juga bukan kepanjangan misi dan zending yang bertujuan mengkristenkan orang Islam. Sebaliknya, Kompas ingin memajukan bangsa Indonesia melalui karya-karya jurnalistik yang mendidik, inspiratif, terbuka, dan berpihak kepada rakyat.
Saya diam mendengar penjelasan Pak Jacob. Begitukah jati diri Kompas seperti dijelaskan sang Pemred? Saat itu, saya memang mahasiswa islamis kanan, yang dikader untuk membenci orang Kristen. Saya tinggal di asrama Yasma Putra, masjid Syuhada, yang tiap pekan menyelenggarakan kursus Kristologi dengan guru Pak Jalal Muchsin, tokoh Islam Yogya.
Yang namanya Kristologi, baru saya ketahui setelah ikut kursus tersebut. Isinya mengupas “kesalahan” ayat-ayat Injil, membahas teori konspirasi kristenisasi, dan hal-hal lain terkait pengkristenan umat Islam. Dan Kompas, konon, adalah salah satu instrumennya.
Usai seminar, saya diundang panitia. Katanya, Pak Jacob mau ngobrol di ruang tamu. Saya deg-degan. Takut dimarahin. Ternyata Pak Jacob menyambut saya dengan ramah. Dalam obrolan itu, Pak Jacob mejawab pertanyaan saya tadi panjang lebar.
Pak Jacob mengaku, apa yang ditanyakan saya, sudah merasakannya sejak lama. Kompas, katanya, memang sering dituduh sebagai agen kristenisasi. Tapi anehnya, di kalangan Kristen sendiri, yang terjadi malah sebaliknya. Kompas, ungkap Pak Jacob, dituduh sebagai agen islamisasi. Jadi Kompas serba sulit. Ujar Pak Jacob dengan lembut.
Sepulang seminar, saya merenung. Kalau memang Kompas adalah koran agen kristenisasi — kenapa penulis opininya kebanyakan intelektual Islam seperti Abdurrahman Wahid, M Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, Moeslim Abdurahman, Djohan Effendi, Fachry Ali, Komarudin Hidayat, dan Azyumardi Azra?
Sejak itu, di Yogya, saya makin sering nongkrong di kios koran di perempatan Jalan Simanjuntak dekat kampus MIPA, untuk membaca gratisan. Saya perhatikan berita-berita Kompas dan penulis kolomnya.
Betul, tak ada tulisan berindikasi kristenisasi. Netral-netral saja. Mungkin karena netral, sementara hingar bingar berita pastilah datang dari penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam — maka mau tidak mau, berita Kompas dan bahasan opininya, pastilah banyak terkait dengan Islam. Itukah yang menyebabkan Kompas yang “komando pastur” kemudian dituduh kalangan Kristen sebagai koran pendukung Islam?
Pak Jacob tentu sulit menjawab tuduhan tuduhan nyinyir di atas. Ia memang tak perlu menjawabnya dengan kata. Biarlah sejarah yang akan menjawabnya.
Kini terbukti, Kompas tetap eksis di zaman yang terus berubah, meski sekarang terlihat kelimpungan diterkam koran online dan citizen journslism. Dalam kondisi seperti itulah kini Kompas mencoba terus berdiri tegak sambil mengusung idealismenya.
Ya..ya…di tengah masyarakat yang berubah cepat dan dunia jurnalisme yang jungkir balik, Kompas tetap berkomitmen memperjuangkan ”the dreams of convictions” — sebuah mimpi tentang cita-cita besar, tentang bangsa besar yang majemuk dan demokratis. Mampukah Kompas mengemban misi besar keindonesiaan yang penuh tantangan itu? Lagi- lagi sejarah yang akan menjawabnya.
Apakah Indonesia akan menjadi bangsa besar yang demokratis, plural, multikultural, dan menegakkan keadilan tanpa reserve — atau sebaliknya terjerumus ke dalam jurang anarkisme agama seperti Suriah dan Afghanistan? Kompas, sejauh ini memang menjadi corong Islam moderat dan inklusif, sesuai the dreams of convictions-nya. Untuk itulah, bangsa ini perlu berterima kasih kepada Pak Jacob yang telah membangun jurnalisme dengan “Amanat Hati Nurani Rakyat” tersebut.
Jacob Oetama dengan Kompasnya adalah saksi sejarah. Tidak hanya tentang pergolakan politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia, tapi juga di dunia. Dan kita tahu, di posisi mana Kompas berada.