Memandang suatu isu sosial berskala besar tanpa mencermatinya melalui satu per satu realitas sederhana yang terjadi di sekitar kita adalah sebuah kealpaan, atau bisa jadi kepongahan. Merasa bekal pengetahuan sudah ada di titik kulminasi. Semisal lupa menyoroti fenomena penyebaran gambar-gambar berisi kutipan mengenai definisi perempuan ideal yang layak diperistri, ketika membahas topik anti kekerasan terhadap perempuan.
Atau poster sayembara pencarian jodoh yang dibuat oleh segelintir laki-laki kesepian nan misoginis yang terlalu percaya diri menuliskan “perempuan cantik berambut panjang dengan tinggi badan minimal 160 cm” sebagai standar kriterianya. Entah itu merupakan bahan candaan ataupun konten bersifat serius, perihal demikian tetap mendiskreditkan perempuan. Mengerdilkan imaji perempuan di depan publik serta mengajak publik untuk ikut berkubang di dalamnya.
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terkungkung pada batasan seksual dan psikis, tapi juga penyempitan makna oleh opini publik, sehingga kebebasan untuk menyatakan jati diri terbungkam. Penyematan feminitas sebagai sifat perempuan yang seolah kodrati, kerap berujung pada dikotomi “baik” dan “tidak baik”. Perempuan yang layak, sebagaimana biasa digaungkan oleh gambar-gambar kutipan seksis tersebut, mentok pada mereka yang mau mengabdi pada laki-laki di ruang privat.
Kata sifat “cantik” kerap diasosiasikan pada potret perempuan berambut panjang lurus, berkulit putih, dan bertubuh langsing atau montok. Memproduksi persepsi bahwa perempuan-perempuan lain yang bertubuh gendut, berkulit cokelat, maupun berambut keriting adalah perempuan-perempuan non-primadona. Perempuan santun bukanlah mereka yang merokok, sebab yang demikian telah melampaui batas kewajaran dalam konteks normatif.
Banyak pula gambar yang memperlihatkan foto perempuan-perempuan berpakaian terbuka dengan penyertaan kutipan yang menjurus ke stereotipe seksual. Tidak berusaha menyudahi salah kaprah yang telanjur tertanam pada jalan pikir mayoritas masyarakat Indonesia, banyak khalayak justru menyatakan bahwa penampilan seronok itulah yang menjadi bakal terjadinya pelecehan fisik.
Pernah seorang teman saya nekat berargumen di sebuah postingan berjenis demikian, menyatakan betapa mirisnya ia melihat perempuan diposisikan sebagai objek yang dikesampingkan identitasnya melalui baris-baris kalimat diskriminatif. Tentu saja komentarnya menuai banyak hujatan, yang patut disayangkan, sebagian justru berasal dari sesama perempuan. Nilai agama banyak dikemukakan untuk menjegal opininya. Ada pula yang menyebut teman saya terlalu banyak menelan budaya Amerika lantas ‘keblinger’. Sebuah miskonsepsi yang getol dijadikan apologi sejak saya masih duduk di bangku SD dan ternyata masih diamini hingga kini.
Ini bukan soal nilai agama menurut saya, tetapi pembiaran atas konsep penyalahan korban, bahkan ‘rapist mindset’, secara berlarut oleh khalayak. Sebagian dari kita enggan untuk menggali lebih dalam mengenai kesetaraan gender. Mungkin terlalu takut untuk mengakui bahwa apa yang diyakini selama ini telah menciderai harkat dan martabat perempuan yang sesungguhnya. Bisa juga terlalu pengecut untuk bersikap vokal, karena nantinya akan menuai justifikasi yang negatif dari lingkungan sekitar.
Feminisme bukan lantas mengubah posisi di mana perempuan menyingkirkan laki-laki dari puncak podium. Lebih mendasar, ia adalah ideologi yang membebaskan, baik perempuan maupun laki-laki, untuk menentukan hidupnya tanpa merasa direpresi oleh kungkungan-kungkungan sosial. Tidak masalah jika perempuan memilih ibu rumah tangga sebagai statusnya, sejauh itu memang keputusan yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada tekanan dari pihak eksternal.
Sebaliknya, seorang perempuan boleh saja gemar berpakaian seksi sebagai wujud otonomi atas tubuhnya sendiri. Dan laki-laki yang memahami kesetaraan gender tentu paham bahwa esensi perempuan melebihi anatomi fisik yang dapat memancing birahi.
Kembali pada bentuk kekerasan terhadap imaji perempuan yang terkandung dalam konten viral media sosial. Menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet mencapai 88,1 juta jiwa pada 2014. Sementara Menkominfo mengklaim lima puluh tujuh persen dari total penduduk Indonesia telah mengakses internet, yang berarti mencapai kisaran 137 juta jiwa.
Sembilan puluh enam persen atasnya memiliki akun Facebook. Tiga puluh persennya memadati linimasa di Path setiap harinya. Indonesia turut menjadi penyumbang pengguna Instagram terbanyak pada 2015 secara demografis. Delapan puluh empat persennya hilir mudik di Twitter, entah berkontribusi dalam memproduksi pesan atau sekadar jadi silent reader.
Banyak figur berpengaruh di Twitter telah berkicau mengenai kesetaraan gender, terutama pada momentum Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada awal Desember ini. Portal-portal berita online juga sudah menggulirkan informasi mendidik atas isu tersebut. Namun, belum semua pihak mampu mencernanya sebagai wacana tambahan untuk memperluas ruang berpikir mereka. Sebagian masih memberikan sangkalan defensif, meski ujungnya mentok mencatut dogma agama atau konsisten terhadap “budaya ketimuran” alih-alih perang pemikiran yang diskursif.
Idealnya, keaktifan masyarakat dalam bermedia sosial diimbangi dengan pengolahan konten yang cerdas dan edukatif. Mengingat sifat dari konten media sosial yang mampu berspora dalam hitungan detik. Mau tidak mau, kita harus menerapkan kontrol diri untuk tidak menyebarluaskan konten-konten seksis yang dapat menggiring opini publik ke arah keliru. Tentu saya tidak bisa mengontrol isi kepala orang lain, tetap menjadi seksis merupakan sebuah pilihan pula. Toh belum terdapat aturan baku atas sebuah konten yang pantas diunggah ke media sosial.
Pun, mengunggah opini pribadi tentang apa saja yang diyakini sejatinya adalah hak perseorangan. Namun, paling tidak, kita sepantasnya menyadari bahwa suatu pesan yang diunggah ke media sosial akan menjadi milik publik dan berpeluang mempengaruhi cara berpikir khalayak luas.
Lantas bagaimana mengeliminasi konstruksi patriarkis yang telanjur mengakar di masyarakat dan direproduksi dalam berbagai wujud? Kita harus sepakat bahwa pemberian edukasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak dini penting dilegitimasi oleh tatanan pemerintahan guna menghasilkan generasi baru yang tidak bias gender. Perbedaan hakiki antara laki-laki dan perempuan sebatas anatomi tubuhnya secara biologis, bukan pada sifat-sifat yang dikukuhkan oleh nilai budaya. Selamanya, konsep atas perempuan sempurna tidak bisa disamaratakan karena setiap individu memiliki kualitasnya masing-masing.
Bukankah ketidakidealan justru menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya?