Berpuluh-puluh tahun pendidikan di negeri ini dihela untuk memburu kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain yang maju di dunia. Namun, yang terjadi bukannya mendekat, malah mundur menjauh. Kualitas pendidikan Indonesia lebih kerasan tinggal di dasar jurang berbagai klasemen antarbangsa, sehingga selalu akrab “bertetangga” dengan negara-negara miskin dunia ketiga.
Yang paling mutakhir disitir Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan: posisi Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara dalam survei Most Literate Nations, yang diterbitkan Central Connecticut State University.
Apakah bangsa Indonesia kurang banyak berusaha mengejar ketertinggalan? Tidak kurang sama sekali. Aneka cara dan resep sudah dicoba. Begitu gemarnya bangsa ini mecoba-racik dan membuat resep baru, sampai-sampai muncul olok-olok “ganti menteri ganti kurikulum”. Dalam hal persekolahan, dari tahun ke tahun, pemerintah terus berusaha meningkatkan alokasi pendanaan untuk pembangunan fisik.
Kini, kesejahteraan guru pun diupayakan dengan begitu serius melalui program sertifikasi. Buku-buku pelajaran digital disediakan untuk diunduh gratis. Bersamaan dengan itu, otoritas dan penyelenggara pendidikan di berbagai tingkatan dan jenjang (termasuk swasta) turut antusias menawarkan sekolah-sekolah “unggulan”, “bonafid”, “favorit”, termasuk yang bertaraf dan bertarif interasional. Masih banyak lagi yang lainnya.
Ada apa dengan pendidikan Indonesia? Sudah pasti pertanyaan ini pun telah puluhan tahun dicoba-jawab dengan bertumpuk-tumpuk hasil analisis teoretis-filosofis maupun riset yang melibatkan data, angka, dan grafik statistik nan berjibun dan rumit. Karenanya, tulisan pendek ini tak mungkin diniatkan untuk merangkumnya, apalagi untuk jumawa menawarkan sebuah jawaban manjur.
Sesuai judul, tulisan ini lebih merupakan ajakan untuk merenungkan kembali—dan menghasilkan lebih banyak lagi pertanyaan tentang—keindonesiaan. Sebab, jangan-jangan karena begitu bersemangatnya mengejar (dan silau akan) kemajuan bangsa-bangsa lain di dunia, sekolah-sekolah malah semakin menjauhkan anak-anak dari pemahaman tentang jati diri dan apa yang dimilikinya sebagai bangsa Indonesia.
Sekurang-kurangnya dua hal berikut ini bisa dipakai sebagai pijakan untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak tentang ada apa dengan pendidikan Indonesia.
Bangsa Berbudaya Agung nan Religius
Salah satu ironi terbesar adalah Indonesia pemilik mozaik kesejarahan budaya terkaya dengan nilai-nilai keluhuran. Pun, ikrar telah diabadikan sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Namun, predikat bangsa berkadar korupsi paling tinggi di dunia seakan tak hendak bergeser barang sejengkal.
Tak perlu berpura-pura tidak tahu bahwa ajaran luhur budi pekerti, agama, moral Pancasila, nilai-nilai warisa kebudayaan, semuanya berlimpah ruah diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran.
Ya, semuanya sebatas mata pelajaran, himpunan pengetahuan, yang disiapkan hanya untuk menjawab soal-soal ujian tertulis. Semua berjibaku memburu atribut angka-angka dari hasil penjumlahan jawaban yang benar sesuai buku. Padahal, keluhuran budi pekerti, religiusitas, dan kualitas bermoral Pancasila sesungguhnya hanya bisa dibangun melalui pengalaman-pengalaman nyata.
Apakah sekolah mungkin dirancang untuk memberi pengalaman-pengalaman nyata itu? Bisa dan harus. Sekadar satu gambaran, mari tengok sekelebatan bagaimana anak-anak dari komunitas marjinal belajar di Sekolah Batutis Al-Ilmi, sebuah sekolah gratis untuk kaum dhu’afa di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat.
Di sekolah yang menerapkan Metode Sentra itu, setiap hari anak toddler, Kelompok Bermain, TK dan SD punya jadwal makan bersama (kudapan pagi dan makan siang).
Ritual makan bersama dengan menu yang sama untuk semua anak itu dimulai dengan gotong royong tiap-tiap kelompok menyiapkan tempat makan, alat makan dan makanan. Guru dan anak terlibat, mulai dari mengatur meja semi melingkar, mengambil piring, sendok, gelas, sampai membawakan makanan dan minuman ke meja. Ada kesepakatan untuk bergiliran siapa yang duduk dekat dengan guru, yang berarti dia mendapat giliran pertama mengambil makanan yang diedarkan secara estafet.
Sering ada anak yang tampak kecewa karena mendapat bagian yang tak sesuai harapan. Tapi, sesering itu pula guru—juga anak-anak untuk saling—mengingatkan pentingnya bersikap qana’ah, atau berlapang hati mensyukuri setiap rejeki yang diterima.
Pada masa-masa awal tahun belajar, ada saja anak yang tergoda mengambil makanan berlebihan, dan guru hanya mengingatkan dengan nada datar, “ambil secukupnya sesuai kebutuhan” dan “berbagi”. Jika ternyata benar ada anak yang mengambil makanan berlebihan, guru dengan sabar memotivasi untuk “bertanggung jawab tuntas” atas makanan yang telah diambil. Dan sejak saat itu, anak tak pernah mengulang lagi.
Sebelum memulai makan, setelah alat makan dan makanan beredar ke semua anggota kelompok, guru mengajak anak-anak mengenal makanan yang akan mereka nikmati. Mereka membahas bagaimana petani Indonesia menanam, merawat, memanen padi, dan menjadikannya beras; bagaimana orang bekerja di pengangkutan dan pasar; bagaimana ibu-ibu yang bekerja di dapur memasak, sampai makanan terhidang di meja mereka.
Mereka juga membahas kandungan nutrisi setiap makanan serta manfaatnya bagi tubuh. Dan, setelah berdoa bersama, anak-anak dan guru pun mulai makan. Semua proses itu sampai ritual bersih-bersih dan beres-beres berlangsung dalam waktu sekitar setengah jam.
Walau tak dibingkai dalam mata pelajaran akhlak atau budi pekerti, pengalaman nyata dari ritual makan bersama itu menyediakan kesempatan yang sangat kaya untuk membangun kepribadian sekaligus pengetahuan. Dan itulah belajar. Bukan hanya makan, semua aktivitas belajar sepanjang hari yang dilalui anak adalah kegiatan ber-“prosedur kerja” dengan seperangkat aturan dan konsekuensi yang disepakati, dipahami serta diterima anak.
Guru merekam semua kemajuan yang dicapai anak, mencermati apa yang belum tercapai, dan membahasnya bersama rekan-rekan guru sebagai dasar untuk menentukan langkah apa yang perlu ditempuh.
Bangsa yang Kaya
Entah mengapa energi yang dikerahkan dalam upaya menggebu-gebu perburuan kualitas pendidikan lebih banyak tersedot untuk memastikan tercapainya target standar dan seragam. Tanpa berpretensi menilai pendidikan hanya untuk mencapai yang “standar-standar” saja, identifikasi ini diajukan untuk melihat fakta betapa standar dan keseragaman membuat persekolahan kian abai pada kekhasan individual anak dan sekaligus pada keragaman kekayaan yang dimiliki bangsa.
Kekhasan individual anak-anak Indonesia suka tidak suka semakin tergerus oleh ambisi target standar dan seragam, yang dalam kurikulum dipertajam dengan jargon kriteria ketuntasan minimal (KKM). Semua lagi-lagi bermuara pada perburuan atribut angka-angka hasil penjumlahan jawaban yang benar soal-soal dalam ujian tulis.
Dalam perburuan itu tercipta secara alamiah persepsi hierarkhis tentang keahlian-keahlian di duna persekolahan. Kemampuan belajar matematika dan sains berkedudukan lebih mulia dibandingkan, misalnya, dengan kemampuan mengarang, melukis, atau berdagang. Tragisnya, atas nama berburu kemajuan, kemampuan berbahasa Inggris digenjot sejak pendidikan usia dini untuk menghasilkan generasi yang kian asing dengan kosakata, tata bahasa, dan khazanah kesusastraan Indonesia.
Yang sulit dimengerti adalah keperkasaan standar dan keseragaman atas keragaman kekayaan bangsa. Karena kemajuannya secara ekonomi dan industri, Jawa menjadi pusat rujukan untuk ditiru dan dikejar oleh daerah-daerah lain dalam hal persekolahan. Padahal sumber daya alam di Jawa sudah tentu tidak sekaya sumber daya alam daerah-daerah lain yang ingin menirunya.
SMA di Tasikmalaya yang kaya padi dan kerajinan anyaman didesain sama dengan SMA di Lampung yang kaya kopi, SMA di Maluku yang berlimpah rempah-rempah, SMA di Makassar yang bergelimang hasil laut, atau SMA di pelosok-pelosok Sulawesi yang kaya kakao. Dalam bidang apa pun, industri lebih suka dan akan terus lebih suka memilih tenaga terampil atau tenaga ahli lulusan sekolah unggul yang adanya di Jawa, bukan daerah-daerah lain.
Mencari ahli metalurgi untuk mengelola sumber daya pertambangan bukan di Kalimantan Timur, tapi di Bandung. Mencari ahli pertanian kopi, kakao, atau rempah-rempah untuk industri makanan olahan, pilihannya ya Institut Pertanian Bogor, atau universitas-universitas di Jawa yang fakultas pertaniannya punya reputasi.
Nah, dua hal itu saja telah membuka banyak pertanyaan tentang keindonesiaan pendidikan bangsa ini. Indonesia yang berbudaya luhur, religius, dan kaya raya, diperkenalkan bukan untuk menjadi Indonesia, melainkan untuk mengayak, menyaring, dan memilah-milih anak-anak Indonesia berdasarkan kompetisi dan ranking peserta ujian. Dalam kompetisi itu, hanya minoritas yang lolos standar, dan sebagian besar seakan-akan diterima sebagai limbah pendidikan.
Sebagian anak-anak Indonesia memang terbukti bisa digenjot menjadi juara olimpiade matematika atau sains internasional. Pun, arus brain-drain, larinya putra-putri terbaik ke peran strategis di negara-negara lain di berbagai belahan bumi sudah menjadi kisah biasa. Namun, secara kolektif pendidikan bangsa ini telah lama memunggungi jati dirinya, lupa akan anugerah kekayaannya, dan lupa mensyukurinya.
Kini saatnya merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk dijawab dalam ikhtiar pendidikan menjadi Indonesia yang sejati. Tidak harus Indonesia yang juara, cukup Indonesia yang bermartabat.
Kolom Terkait: