Kamis, April 25, 2024

Idul Kurban: Sumber Etika Berbangsa-Bernegara       

Zacky Khairul Umam
Zacky Khairul Umam
Kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin. Salah satu karyanya, "Adonis: Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab-Islam"

Dünyada her şeyin bir ölcüsü vardır, sevginin ölcüsü de fedakarlıktır – segala sesuatu di dunia ini ada takarannya, dan takaran cinta ialah pengorbanan diri (peribahasa Turki)

Sejak Nabi Ibrahim As mengorbankan anaknya, yang kemudian digantikan hewan, sebagai persembahan kepada Tuhan ribuan tahun silam, peristiwa itu menjadi tradisi klasik yang dianggap sebagai teladan moral manusia. Setidaknya, dalam lingkungan agama Ibrahimi, ritual ini menciptakan kuasa simbolik yang berulang dan terus bersambung, lintas waktu dan lintas budaya.  

Perubahan Makna

Melalui Torah, umat Yahudi misalnya diperintahkan untuk ber-korban. Korban (atau qorban) dalam bahasa Ibrani berarti persembahan atau pengorbanan kepada Tuhan. Kata ini juga terkait erat dengan kata lekarev yang berarti “mendekati” atau “membuat sesuatu lebih dekat lagi”. Dalam bahasa Arab, yang serupa dengan pengertian pertama itu ialah adha.

“Idul-adha” berarti festival merayakan pengorbanan atau penyembelihan. Namun, ada juga sebutan “idul-kurban”. Tetapi kata Arab kurban (qurban), sebagaimana kata kembarannya yang lebih lama dalam bahasa Ibrani, pada dasarnya bermakna dua hal: baik persembahan atau pengorbanan itu sendiri maupun pendekatan diri.

Bukan hanya umat Yahudi dan Muslim yang berkorban dan memperdebatkan siapa sebetulnya yang hendak disembelih Ibrahim: Ishak atau Ismail. Umat Kristen pun memiliki tradisi pengorbanan yang terkait dengan susunana teologi mereka. Pengorbanan jasad Yesus dalam masyarakat Kristen Arab juga disebut dengan “idul-kurban”, yang aslinya bermula dari Gereja Katolik Roma bernama perayaan Corpus Christi. Walau tradisi ini baru dimulai ketika Thomas Aquinas (w. 1274) mengajukannya kepada Paus Urbanus IV, untuk merayakan Kehadiran nyata Kristus berupa tubuh dan darah serta jiwa dan ketuhanan Yesus Kristus dalam sakramen Perjamuan Kudus.

Hingga masa Aquinas ini, makna korban dalam tradisi Semitik setidaknya hanya terkait dengan upaya untuk memberi atau mempersembahkan sesuatu. Dalam perkembangannya, terutama di era modern, kata Ibrani korban terkait pula dengan makhluk hidup yang menderita sesuatu atau penderita akibat kejahatan kriminal.

Perluasan makna kedua ini juga terdapat dalam bahasa Arab (adha, dahiyyah), Latin (victima), Jerman (Opfer), Inggris (victim) dan juga misalnya diadopsi ke dalam bahasa kita (korban atau kurban). Contohnya, “Ia menjadi korban kecelakaan.” Padahal, hingga Abad Pertengahan, makna korban baik dalam bahasa Ibrani maupun Latin aslinya untuk menyebut “persembahan kepada Allah Yang Kuasa.”

Dalam tradisi keagamaan kuno, khususnya yang diterima oleh umat beragama di Indonesia, termasuk dalam agama Hindu dan Buddha, berkorban merupakan contoh ideal bagaimana seorang yang beriman mampu melepaskan sesuatu yang disayanginya atau disukainya untuk beribadah kepada Tuhan. Ada hubungan hierarkis di sini: manusia tunduk di bawah kuasa ilahi. Hal itu dimaknai sebagai hadiah, seperti halnya persembahan manusia atau binatang kepada Yang Maha Agung. Inilah makna dasar dari korban sebagai sacrifice to atau “pengorbanan kepada.”

Sumber Moral Politik

Moshe Halbertal, seorang pemikir Yahudi terkini, dalam On Sacrifice (2012), berusaha untuk memperlebar makna pertama korban menuju ke pemaknaan kedua sebagai sacrifice for atau “pengorbanan demi.” Takrif ini merujuk pada pengorbanan diri demi sebuah sebab yang bisa berarti menyerahkan berbagai hal, baik kepemilikian, kenyamanan atau bahkan jiwa raga untuk kepentingan keluarga dan negara, atau dalam rangka memenuhi tugas kewajiban tertentu.

Dalam ruang lingkup moral dan politik, jenis pengorbanan ini berkelindan dengan gagasan filosofis berupa transendensi-diri, yaitu individu yang mengorbankan kepentingan dirinya demi memperoleh nilai atau manfaat yang jauh lebih tinggi.

Dari makna kedua ini, kita—terlebih diperingati di bulan kemerdekaan kali ini—kerap mendengar ungkapan yang kini terkesan hanya ada pada tempo doeloe, “Jangankan harta, jiwa sekalipun kami siap mengorbankannya.” Kalimat ini umum dinyatakan saat para pendiri bangsa kita berkorban jiwa raga dan harta mereka untuk kemerdekaan menuju Republik Indonesia. Atau mereka yang berjuang untuk mempertahankan idealismenya, demi revolusi dan cita-cita ideologis tertentu.

Kini, para tentara, jurnalis, petani, aparat sipil negara, dan pahlawan awam tanpa tanda pengenal pun berkorban dengan tingkatannya tersendiri.

Dalam pengertian ini, berkorban melampaui fungsi tradisional keagamaan menuju ke etika kehidupan yang lebih umum demi sesuatu yang mulia yang layak diperjuangkan. Tiap warga negara, misalnya, diminta untuk mengorbankan sebagian dari penghasilannya untuk membayar pajak yang tinggi dan menerima tingkat suku bunga serta harga yang ditetapkan.

Di negara dengan sistem perpajakan progresif, bahkan orang kaya akan dikenakan pajak yang semakin bertingkat sesuai dengan besaran gaji atau penghasilannya. Sebagaimana pula, sebagian dari mereka diminta rela untuk memotong gaji demi memperoleh banyak keuntungan tertentu di hari tua atau masa pensiun. Pengorbanan diri ini diwajibkan dalam kehidupan bernegara untuk mewujudkan kemaslahatan umum terkait dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi.

Namun demikian, Halbertal mengingatkan sisi kelam. Pengorbanan diri demi kemaslahatan publik ini bisa sangat menjerumuskan lagi membahayakan jika salah dimengerti. Permisalan paling nyata ialah kasus bom bunuh diri. Mereka yang membom dirinya berpikir untuk tujuan yang mulia: masuk surga ditemani bidadari cantik jelita.

Contoh lain ialah tentara perang dalam Perang Irak yang diperintah George W. Bush dengan patriotisme dan imperialisme yang salah kaprah. Dalam keadaan tertentu, justru pengorbanan diri ini menimbulkan kejahatan kriminal yang lebih besar dan menghalalkan kekerasan dalam spektrum yang lebih luas. Jika pengorbanan jenis ini marak digunakan, itu bukannya bertujuan ke arah kemaslahatan publik, melainkan membenarkan perbuatan kriminal, aksi brutal, dan masyarakat yang korup. Dalam bahasa agamanya, jelas guru besar di Yerusalem dan New York tersebut, pengorbanan diri yang sesat ini disebut dengan pemberhalaan (idolatry).

Pendapat ini pada dasarnya ingin menguraikan permasalahan pelik mengenai ikatan politik serta fungsi negara modern sebagai komunitas yang berkorban (a sacrificial community). Tetapi bagaimana caranya supaya yang brutal dan bersifat kekerasan itu kemudian diinsafi sebagai sisi berkorban yang tak benar.

Pengorbanan seseorang atau sekelompok orang dengan membom diri untuk tujuan organisasi teroris tertentu sama destruktifnya dengan pengorbanan untuk melanggengkan spiral kekerasan dalam masyarakat tertentu hanya karena perintah dari organisasi atau aparat negara tertentu. Hal ini mungkin tidak disadari sang pelaku, bahkan dianggap sebagai misi mulia untuk masuk surga atau sekadar membela negara—sebuah patriotisme yang membunuh kemanusiaan.

Oleh karena itu, perlu disadari bahwa beralihnya pengorbanan diri menjadi pembenaran akan sikap amoral itu pada dasarnya melanggengkan ketidakadilan. Sementara ketidakadilan ini berkebalikan dengan nilai ketakwaan yang diajarkan dalam agama.

Dalam masyarakat yang beragama seperti di Indonesia, kedua makna korban di atas sebetulnya bisa saling melengkapi. Umat Muslim yang berkecukupan bisa terus berkorban untuk memenuhi panggilan Tuhan, yang tujuan akhirnya ialah bahwa Tuhan tak mempersoalkan daging dan darah hewan sembelihan melainkan seberapa berat kadar ketakwaan yang sampai kepada-Nya (QS Al-Hajj:37). Yakni, transformasi kepribadian yang berpegang teguh pada kemaslahatan yang diajarkan-Nya.

Sebagai warga negara, mereka juga dapat berkorban demi bangsa dan negara dengan menyalurkannya melalui aspirasi dan aksi yang benar. Mencintai tanah air, berkorban untuk keadilan warga dan manusia umumnya seperti membayar pajak dan mengutuk korupsi serta intoleransi, juga tidak terpaku pada primordialisme dan sektarianisme golongan merupakan bentuk transendensi-diri yang baik. Dengan demikian, menjaga dua hal ini bisa sekaligus menautkan hubungan ke atas dan antarsesama (hablun min Allah dan hablun min al-nas) dari pengorbanan diri.

Akhirulkalam, idul-kurban bisa sekaligus dirayakan secara dekat di awal bulan haji dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi kita, terlebih bertepatan dengan bulan kemerdekaan ini. Kemerdekaan sebagai anugerah Tuhan berupa kedaulatan negeri kita ialah bukan akhir dari pengorbanan para pahlawan. Kita mensyukurinya dengan sungguh.

Konsekuensinya, momen kemerdekaan juga merupakan awal dan titik berangkat dari pengorbanan diri segenap anak bangsa sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) demi mencapai tujuan yang disepakati bersama. Seberapa jauh pengorbanan kita menunjukkan seberapa dalam rasa cinta kita pada patrie (fatherland) atau yang kita terjemahkan secara feminin sebagai “ibu pertiwi”—sebagaimana tersirat di dalam peribahasa di atas. Ini tak lain sebagai akibat dari penalaran negara-bangsa modern yang oleh Halbertal disebut sebagai komunitas yang berkorban. Toh, inilah kemanfaan duniawi dari ber-korban, bukan?

Kolom terkait

Politik Arab dalam Kisah Pengorbanan Ismail

Kita “Ibrahim”, Siapa “Ismail” Kita?

Kahlil Gibran dan Anak-Anak Ibrahim

Idul Adha dan Kepanitiaan Lintas Iman

Zacky Khairul Umam
Zacky Khairul Umam
Kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin. Salah satu karyanya, "Adonis: Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab-Islam"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.