Kamis, April 25, 2024

Idul Adha dan Kepanitiaan Lintas Iman

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Ilustrasi tokoh agama saling bergandengan tangan. [ANTARA FOTO]
Hari Raya Idul Adha/Idul Qurban kerapkali menyisakan pertanyaan mendasar perihal siapa yang menjadi sosok yang paling absah dikurbankan. Apakah Nabi Ismail sebagaimana yang diakui oleh umat Islam atau Nabi Ishaq yang diakui oleh umat Nasrani?

Pertanyaan ini selalu berulang diperdebatkan dikarenakan posisinya sangat penting untuk diakui sebagai sumber keteladanan pengorbanan. Setidaknya ketika seseorang hendak berkurban melalui hewan yang akan diserahkan ke masjid atau lembaga keagamaan, maka yang terngiang dalam imajinasinya adalah ingin meneladani spirit pengorbanan yang ditunjukkan pendahulunya.

Tulisan Mun’im A Sirry berjudul Politik Arab dalam Kisah Pengorbanan Ismail (GeoTimes, Jumat 9 September) memberikan pencerahan berbeda dengan mempertegas bahwa justru Nabi Ishaq-lah yang perlu dipersonifikasi sebagai rujukan pengorbanan. Kalaupun Nabi Ismail diakui sebagai sosok yang dikorbankan sebagaimana diyakini umat Islam, itu tak lebih dari tindakan politis bangsa Arab ketika itu.

Dalam kaitan ini, dua model pengakuan perihal siapa yang paling absah diyakini sebagai sosok yang dikorbankan, biarkan itu menjadi sebuah perdebatan yang merentang dengan masing-masing argumentasi teologisnya. Tulisan ini mencoba mendudukkan tindakan apresiatif masyarakat dalam perayaan Idul Qurban yang seharusnya tidak terbelah dalam penelusuran bibliogical subjective maupun bibliogical objective untuk menegaskan apakah Nabi Ismail maupun Nabi Ishaq yang paling absah sebagai rujukan pengorbanannya.

Akan tetapi, meminjam pandangan Richard C Martin dalam Approaches to Islam in Religious Studies yang menekankan spirit intersubjektif dalam mendudukkan pandangan keberagamaan maupun keberyakinan kita terhadap sebuah doktrin, menyikapi episteme “pengorbanan” dalam kegiatan penyembelihan hewan kurban perlu melibatkan kedua belah pihak, yaitu umat Islam dan umat Nasrani.

Secara sosiologis, spirit intersubjektif ini memberikan kesempatan kepada kedua umat beragama untuk mengimajinasikan momentum penyembelihan hewan kurban kepada sosok yang diabsahkan dalam kesadaran transendentalnya. Kedua umat beragama saling memanjatkan doa sesuai yang diyakini dan diluapkan dalam emosional kelompok yang setara untuk mencapai pada titik sublimasi yang imbang.

Lintas Iman
Dalam hal ini, spirit intersubjektif yang melibatkan dua sumbu keyakinan teologis ini saya terapkan ketika saya dipercaya sebagai koordinator pelaksanaan penyembelihan hewan kurban oleh takmir masjid di lingkungan kediaman saya. Langkah awal yang saya lakukan adalah membuat komposisi kepanitiaan yang tidak hanya dimonopoli oleh umat Islam. Meskipun perkara salatnya menjadi hak teologis umat Islam, ada kewajiban sosial yang perlu melibatkan dua umat beragama dalam rangkaian prosesi penyembelihan dan lain sebagainya.

Dalam kepanitiaan lintas iman ini, beberapa orang umat Islam dan semua warga ummat Nasrani yang ada di lingkungan kami berbaur dalam deskripsi tugas yang dirancang bersama. Beberapa kali rapat yang dilaksanakan untuk mempersiapkan kegiatan penyembelihan hewan kurban, nyaris tak luput dari perhatian kedua belah untuk menyinergikan bentuk partisipasinya. Secara teknis, antara umat Islam dan umat Kristen saling memberikan gagasan demi suksesnya penyelenggarakan kegiatan ini.

Bahkan dalam proses penyembelihan hewan kurban, panitia mempercayakan kepada dua belah umat beragama dengan iringan doa yang diyakini oleh masing-masing pihak. Hal ini perlu dilakukan, lagi-lagi agar keduanya bisa merajut imajinasi historisnya bahwa setiap hewan yang disembelih dapat membayangkan sosok teladan profetik yang tercermin pada Nabi Ismail maupun Nabi Ishaq. Dalam pembagian daging kurban pun, semua warga yang ada di lingkungan kami, baik yang Muslim maupun Nasrani, memperoleh bagian yang sama.

Dari pengalaman kepanitiaan lintas iman yang semuanya berada pada wilayah teknis, kami pun membayangkan seandainya pada wilayah substantif ada penyetoran hewan kurban yang juga dilakukan oleh umat Nasrani, mungkin spirit intersubjektif ini akan lebih menarik.

Untuk menghimpun dana hewan kurban pada momen Idul Adha yang melibatkan warga Nasrani tentu membutuhkan terobosan ijtihad yang progresif. Ini perlu dilakukan, lagi-lagi bukan pada persoalan apakah ada rujukan doktrin yang bisa mengabsahkan partisipasi dana umat Nasrani yang berbaur dengan dana umat Islam guna membeli hewan qurban, tapi terobosan ini perlu dipikirkan untuk menyematkan spirit intersubjektif dalam kesadaran transendental umat Islam dan umat nasrani untuk meneladani dua sosok yang diyakini sebagai sumber pengorbanannya.

Bila umat Islam yang mayoritas meyakini sumber rujukan Idul Adha kepada sosok Nabi Ismail dan dimanifestasikan pada penyediaan hewan kurban sebagai medium imajinasi keteladanannya, maka umat Nasrani pun bisa melakukan hal yang sama untuk menghimpun dana hewan kurban agar bisa mempersonifikasi Nabi Ishaq sebagai sumber keteladanan pengorbanan. Apalagi kedua partisipasi ini dipadukan dalam perayaan yang sama untuk menuju pada peringatan yang sama pula.

Namun, untuk mewujudkan wilayah substantif ini tentu membutuhkan proses pemahaman dan kesadaran beragama secara inklusif-pluralistik yang panjang. Sebab, di tengah dominasi pemahaman keagamaan yang seringkali berhenti pada rujukan masa lalu, sangat besar tantangan yang harus dihadapi untuk megubah pola ta’abbudi yang baru yang termanifestasi pada pola partisipasi pembelian hewan kurban yang melibatkan dua belah pihak.

Yang terpenting, dari wilayah teknis ini, pengalaman panitia bisa menjadi role model bagaimana menumbuhkan spirit intersubjektif dalam kesadaran transedental perayaan Idul Adha yang terkait prosesi penyembelihan hewan kurban dalam dimensi lintas iman. Skema kerja kepanitiaan lintas iman ini bisa menjadi modal toleransi untuk menyemai kedamaian dalam memanifestasikan semangat keberagamaan.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.