Ada dua makna Idul Fitri, ritual dan sosial. Secara ritual, Idul Fitri bersifat eksklusif, hanya dilakukan oleh umat Islam yang benar-benar menjalankan perintah agamanya. Idul Fitri ritual diekspresikan dalam bentuk pelaksanaan shalat Id dan pembayaran zakat fitrah. Non-Muslim tidak ikut terlibat dalam Idul Fitri ritual, begitu juga Muslim KTP (mereka yang keislamannya hanya ditandai sebatas status agama dalam KTP).
Secara sosial, Idul Fitri bersifat inklusif, dirayakan oleh semua orang tanpa kecuali. Idul Fitri sosial ditandai dengan libur panjang (cuti bersama), penerimaan tunjangan hari raya (THR) atau gaji ke-13, dan tradisi mudik yang fenomenal. Idul Fitri sosial adalah perayaan yang menggembirakan bagi siapa pun yang ikut merayakannya, Muslim atau non-Muslim.
Di Indonesia, Idul Fitri telah menjadi (perayaan) milik bersama, dan akan kehilangan nilai sosiologisnya pada saat dirayakan secara eksklusif. Maka, Idul Fitri yang baik adalah yang memadukan ritual dan sosial, karena yang ritual bisa jadi tidak bernilai apa-apa (sia-sia) jika tidak memberikan dampak sosial yang positif dan konstruktif bagi kemanusiaan.
Idul Fitri bukan ajang pamer (kesombongan) spiritual yang biasanya dibungkus dengan dalih syiar agama. Ada perbedaan mendasar antara syiar dan kesombongan spiritual (riya). Syiar lokusnya pada eksistensi institusional (agama sebagai institusi). Sedangkan riya lokusnya pada eksistensi individual (ada individu yang ingin dipuji, ingin mendapatkan pengakuan spiritual).
Semangat Idul Fitri tidak bisa dilepaskan dari semangat Ramadhan (puasa). Antara Idul Fitri dan Ramadhan adalah satu kesatuan. Secara spiritual, perumpamaan antara keduanya seperti pakaian bagian atas (baju) dan bagian bawah (celana/rok).
Orang yang berpuasa tapi tidak membayar zakat fitrah dan tidak ikut salat Idul Fitri seperti orang yang memakai celana/rok tapi tidak memakai baju. Begitu juga yang hanya ikut membayar zakat dan salat Idul Fitri tapi tidak berpuasa seperti orang memakai baju tapi tidak memakai celana/rok.
Secara sosial, perumpamaan antara keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Tak ada perayaan Idul Fitri yang menggembirakan semua orang tanpa didahului Ramadhan yang juga mengggembirakan (memberi manfaat) bagi semua orang.
Ramadhan yang menggembirakan semua orang adalah pelaksanaan ibadah yang memberi inspirasi dan manfaat bukan hanya bagi Muslim. Kalau ada non-Muslim yang ikut berpuasa, atau setidaknya tidak makan dan minum di arena publik pada siang hari, itu semata karena terinspirasi betapa pentingnya hal itu dilakukan, bukan karena terpaksa atau paksaan, apalagi karena rasa takut terkena sweeping.
Secara sosial, Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan, bulan kedamaian dan harapan. Jika puasa dijalankan, siapa pun akan mendapatkan hikmahnya, setidaknya dari aspek kesehatan, juga perasaan akan kedamaian. Karenanya, jangan heran jika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali sengatan lapar dan haus.
Sabda Nabi ini peringatan bagi mereka yang berpuasa (bisa menahan lapar) tapi tidak bisa menahan amarah, tidak bisa berhenti dari ghibah (bergunjing), dan tak bisa menahan diri dari caci maki dan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan orang lain.
Tidak hanya itu, Tuhan bahkan memperingatkan bahwa yang salat pun bisa celaka, jika salatnya tidak berdampak positif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Al-Qur’an menyontohkan orang salat tapi celaka adalah mereka yang salat tapi lalai (berbuat kebajikan) dan menghardik/mencampakkan anak yatim, dan tetap membiarkan (tidak peduli pada) orang-orang miskin.
Artinya, puasa Ramadhan—juga salat—harus berdampak pada terciptanya kehidupan sosial yang harmonis, rukun, damai, dan berbahagia bersama. Oleh karena itu, pada saat Idul Fitri tiba seyogianya yang dikembangkan bukan lagi toleransi yang meniscayakan tarik-ulur sesuai keinginan yang berkuasa.
Idul Fitri membutuhkan sikap yang lebih dari sekadar toleransi (baik sesama pemeluk agama yang sama atau yang berbeda). Karena toleransi adalah pemberian dari pihak yang lebih berkuasa kepada pihak yang (posisinya) lebih lemah. Dalam struktur kekuasaan, misalnya, tak ada contoh bawahan menoleransi atasan, karena hanya atasan yang mempunyai wewenang memberi toleransi (kepada bawahan). Sedangkan dari bawahan ke atasan adalah tuntutan atau permohonan.
Kebebasan beragama adalah hak, bukan pemberian. Pada saat Idul Fitri kita maknai “kembali ke fitrah kemanusiaan”, maka sama saja dengan mengembalikan manusia pada kebebasannya. Kebebasan untuk memilih beriman (kepada Tuhan) atau tidak beriman adalah hak setiap manusia. Kalaupun ada kewajiban manusia untuk saling mengingatkan, saling menasihati, atau saling mengajak, maka itu sebatas menyampaikan, bukan untuk memaksakan.
Rasulullah SAW bersabda, ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa, kegembiraan saat bebuka, dan kegembiraan saat menjumpai Tuhannya. Jika Idul Fitri adalah perayaan kegembiraan, maka tidak ada perayaan yang bisa diraih dari sesuatu yang dipaksakan.
Sesuatu yang dipaksakan (apalagi dengan ancaman-ancaman), pasti tidak akan mendatangkan kegembiraan. Kegembiraan manusia adalah pada saat diberi kebebasan, kebebasan untuk memilih, dan kebebasan untuk menghormati (bukan sebatas menoleransi) sesamanya.