Sabtu, April 27, 2024

Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Kejahatan Seksual

Dara Nasution
Dara Nasution
Jubir PSI

Kabar baik di awal tahun ini datang dari Pak Jokowi yang baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 yang mengatur tata cara pelaksanaan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kebiri kimia adalah suatu metode yang memiliki tujuan untuk memperlemah hormon testosteron dengan cara memasukkan zat kimia antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan, ke dalam tubuh yang akan berdampak mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan ereksi atau hasrat seksual seseorang.

Selain itu, PP ini juga mengatur tentang tatacara pemasangan alat pendeteksi elektronik (chip) di tubuh pelaku, rehabilitas, serta pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. PP ini merupakan aturan teknis dari UU Perlindungan Anak yang terakhir diubah melalui Perppu 1/2016 yang ditetapkan melalui UU 17/2016. Sebelum ada UU ini, hukuman untuk predator anak hanyalah kurungan penjara dan/atau denda.

Jadi, kebiri kimia di sini sifatnya adalah hukuman tambahan bagi pelaku yang mengulangi perbuatannya (residivis), atau korbannya lebih dari satu orang, atau korbannya menderita luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.

Di Indonesia, hukuman ini pertama kali dijatuhkan kepada pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, yang bernama Muhammad Aris. Hukuman untuk Aris dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto dan diperkuat putusan sidang banding di Pengadilan Tinggi Surabaya. Selain dikebiri, Aris juga mendapatkan hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta.

Hukuman kebiri kimia ini mengundang kontroversi, terutama dari organisasi pembela HAM. Kebiri kimia dianggap melanggar HAM karena tidak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi Indonesia. Selain itu, hukuman kebiri juga dianggap tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak.

Terlepas dari perdebatan ini, saya pribadi sih setuju dengan hukuman kebiri untuk predator anak. Pertama, kekerasan seksual terhadap anak dikategorikan sebagai kejahatan serius yang kejam atau disebut juga delicta graviora. Pelakunya orang dewasa yang berkedudukan kuat, sedangkan korbannya adalah anak-anak yang berkedudukan lemah dan tidak mampu membela diri. Jenis kejahatan ini tentu membutuhkan penanganan yang lebih serius. Ketika kita berbicara tentang hak asasi pelaku, bagaimana dengan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual? Pelaku telah merampas hak anak atas masa depan yang gemilang. Korban harus menanggung penderitaan fisik dan trauma yang tidak akan selesai dalam waktu yang singkat.

Perlu digarisbawahi juga bahwa kebiri adalah hukuman tambahan yang diberlakukan ketika kejahatannya berulang, korbannya lebih dari satu, atau dampaknya berat. Dan dalam hal ini, saya merasa ini hukuman yang setimpal.

Kedua, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia terus bertambah tiap tahun sehingga perlu perlindungan yang lebih serius. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat peningkatan jumlah permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak melebihi tindak pidana lain. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menyatakan, dari tahun 2016 hingga 2019, angka kekerasan seksual pada anak terus meningkat secara signifikan berdasarkan jumlah pemohon LPSK. Pada tahun 2016 terhitung ada sejumlah 25 kasus, tahun 2017 meningkat menjadi 81 kasus, dan tahun 2018 menjadi 206 kasus.

Peningkatan juga terjadi pada permohonan perlindungan dan bantuan hukum tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Pada tahun 2016, ada 35 korban kekerasan seksual yang mengajukan permohonan perlindungan dan bantuan hukum, lalu pada tahun 2017 meningkat menjadi 70 korban, dan pada tahun 2018 meningkat lagi menjadi 149 korban. Angka ini ibarat puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Hukuman kebiri memang bukan obat mujarab untuk memberantas habis seluruh kekerasan seksual terhadap anak, tetapi keberadaan hukuman ini berguna sebagai general prevention atau pencegahan bagi calon pelaku. Para predator anak mungkin akan berpikir ulang tentang beratnya hukuman pidana ini sebelum ia memangsa korban. Saya setuju masih ada persoalan budaya patriarkis yang menjadi akar kekerasan seksual. Ini yang harus terus-terusan kita perjuangkan, salah satunya dengan mendorong UU yang lebih lengkap, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ketiga, hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual bukan hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di banyak negara. Di Amerika, 9 negara bagiannya menerapkan hukuman kebiri. Lalu ada Australia, Polandia, Moldova, Estonia, Israel, Argentina, Korea Selatan, dan Rusia. Pihak yang gak setuju dengan hukuman ini sering berarguman bahwa di negara-negara ini, kebiri kimia pun jarang dipakai. Kekerasan seksual kan ada tingkatannya, dari yang sedang hingga berat sekali. Kalaupun pada akhirnya menurut majelis hakim tidak ada pelaku yang pantas dikebiri, itu persoalan lain. Tapi kita harus memastikan dulu bahwa ada jaminan keadilan yang setimpal dalam kasus-kasus yang sangat berat.

Nah, aku ingin tahu teman-teman setuju gak dengan tambahan hukuman kebiri kimia buat predator anak? Alasannya apa? Tulis di kolom komentar ya.

Dara Nasution
Dara Nasution
Jubir PSI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.