Ledakan di pabrik kembang api (mercon) di Kosambi, Tangerang, 26 Oktober 2017, yang menewaskan setidaknya 47 orang dan melukai puluhan orang lainnya, kembali mengingatkan kita akan rentannya perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak pekerja oleh perusahaan dan negara.
Kita bisa menyaksikan di foto-foto yang beredar, bagaimana dahsyatnya ledakan itu sehingga menghancurkan gedung perusahaan yang dikelilingi oleh perumahan penduduk itu. Pabrik yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT Panca Buana Cahaya Sukses itu berada di permukiman padat dan dekat dengan sekolah.
Apakah aparat pemerintahan, keamanan, dan masyarakat sekitar sadar dan tahu akan keberadaan pabrik mercon itu?
Hal ini penting mengingat skala risiko jenis usaha sangat berbahaya yang dijalani oleh perusahaan itu, yang seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius dari negara dan aparat keamanan. Apalagi jika benar izinnya adalah usaha pembuatan mercon, tentu tidak sembarangan dan membutuhkan proses perizinan yang berlapis dan superketat, karena membisniskan produk yang berbahaya bagi keselamatan dan rawan untuk disalahgunakan.
Jika sudah terjadi ledakan yang memakan puluhan korban jiwa yang di antaranya anak-anak itu, siapa dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukumnya?
Patut diduga, ada unsur kelalaian dan atau pembiaran dari pemilik usaha dan negara dalam peristiwa tersebut. Saat ini Polri sedang melakukan penyidikan yang semoga bisa mengungkap secara menyeluruh, sehingga aktor-aktor negara dan non-negara yang seharusnya bertanggung jawab bisa dituntut akuntabilitas di depan hukum.
Peristiwa tragis terkait dengan bisnis perusahaan sudah sangat sering terjadi. Namun, apa yang terjadi di Kosambi termasuk kejadian yang sangat besar, mengingat skala ledakan dan jumlah korban jiwa yang mencapai puluhan orang.
Pada 24 November 2012 lalu, setidaknya 110 orang tewas oleh api yang membakar gedung pabrik garmen berlantai sembilan milik perusahaan Tazreen, yang berlokasi sekitar 30 kilometer di utara ibu kota Dhaka, Bangladesh. Para pekerja pabrik, kebanyakan perempuan, terjebak di dalam gedung dan berusaha melompat dari lantai atas untuk menyelamatkan diri. Api penyebab kebakaran timbul akibat korsleting listrik.
Di situs Tuba Group, pemilik pabrik Tazreen, disebutkan bahwa pabrik mereka membuat pakaian untuk ritel raksasa internasional, termasuk Walmart, Carefour, IKEA dan C&A. Tuba Group mempekerjakan sekitar 7.000 orang.
Sebelumnya pada September 2012, setidaknya 289 orang tewas akibat insiden kebakaran gedung garmen di Karachi, Pakistan. Di tahun-tahun sebelumnya, kecelakaan kebakaran lainnya juga terjadi di negara-negara Asia Selatan, yang menurut para ahli disebabkan oleh kelalaian pemilik pabrik.
Pada 24 April 2016, sedikitnya 912 orang tewas akibat gedung Rana Plaza yang ambruk di pinggiran ibukota Bangladesh, Dhaka. Sebagian besar korban adalah buruh dari pabrik-pabrik garmen yang berlokasi di gedung bertingkat delapan tersebut.
Ambruknya Rana Plaza memicu kemarahan publik karena diduga pekerja pabrik dipaksa untuk tetap masuk ke dalam gedung, walau sehari sebelum ambruk ditemukan retakan besar di gedung. Pemerintah setempat mengatakan sekitar 2.500 orang mengalami cedera sementara 2.437 lainnya berhasil diselamatkan.
Lantas, pada 3 April 2017, ledakan terjadi di sebuah pabrik garmen di Bangladesh, yang menyebabkan 10 orang tewas dan puluhan lainnya luka. Insiden tersebut terjadi saat dilakukan pekerjaan pemeliharaan pabrik yang dimiliki oleh Multifabs Limited, sebuah perusahaan Bangladesh di pinggiran ibukota, Dhaka.
Tragedi Kosambi
Hal-hal yang perlu disidik lebih dalam dalam tragedi ledakan kembang api di Kosambi adalah, bagaimana dan mengapa sebuah pabrik kembang api diizinkan beroperasi di daerah padat dengan permukiman? Jika berizin, jenis izin usaha apakah yang dipegang dan dikeluarkan oleh siapa dan bagaimana? Apakah izin memproduksi kembang api/mercon ataukah adakah manipulasi izin?. Aspek hukum apa yang dilanggar?
Lantas, terkait dengan para pekerja, bagaimana dengan prosedur keselamatan dan perlindungan pekerjanya diawasi dan dikontrol? Apakah ada pengawasan yang sifatnya rutin oleh dinas terkait dan bagaimana laporannya? Apakah perusahaan memiliki dan melaksanakan prosedur serta mekanisme keselamatan pekerjanya?
Lebih jauh lagi, untuk apa dan siapa kembang api itu dibuat, dan didistribusikan ke siapa dan ke mana? Apakah hanya diedarkan di dalam negeri ataukah diekspor? Siapa perusahaan yang menerima atau memesan atau membeli produk mercon dari perusahaan itu? Bagaimana rantai bisnisnya berjalan dan sudah berapa lama?
Hal-hal tersebut harus diurai dan dicari alur pertanggungjawabannya, agar proses dan hasil penyidikan menjadi lebih komprehensif, sehingga tidak hanya berhenti pada pemilik usahanya semata.
Kasus ini adalah tantangan bagi Polri untuk menguaknya secara tuntas dan transparan, sebagai bentuk dari kewajiban negara melindungi hak untuk hidup para korban dan hak atas rasa aman masyarakat.
Momentum tragedi mercon di Kosambi ini harus membangunkan kesadaran akan kewajiban negara untuk melindungi HAM, bahwa banyak bisnis yang sangat rentan dan berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM, karena minim keselamatan dan perlindungan para pekerja, tidak transparan, ketidaksesuaian tata ruang/zonasi dan tidak mempunyai mekanisme dalam menghormati hak-hak para pekerjanya.
Dalam kaitan inilah prinsip dan petunjuk pelaksanaan bisnis dan HAM yang telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (2011) menjadi sangat relevan. Karena, instrumen ini telah menyediakan mekanisme dan petunjuk tentang bagaimana seharusnya bisnis dan negara mematuhi dan melaksanakan norma serta prinsip HAM.
Sesudah tragedi mercon di Kosambi ini, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan pemeriksaan, audit, dan pembenahan atas berbagai bisnis di wilayahnya, agar dapat dipetakan sektor bisnis yang rentan dan berisiko untuk disusun langkah-langkah mitigasinya. Jika ada bisnis yang tidak mematuhi standar bagi keselamatan dan perlindungan hak-hak pekerja dan masyarakat, harus dilarang dan ditutup.
Jangan sampai terjadi lagi sebuah bisnis berisiko tinggi seperti produksi kembang api beroperasi di wilayah padat penduduk dan pemerintahnya tidak tahu menahu atau tidak peduli. Sebagai aparatur negara, apa pun alasannya, tak ada pembenaran atas terjadinya pelanggaran HAM. Jika sudah timbul korban, siapa pihak yang paling disalahkan dan paling bertanggung jawab?