Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah tiba di Tanah Air. Setelah 10 bulan menjalani pengobatan mata karena teror air raksa yang dilancarkan orang tak dikenal, Novel tetap berdiri.
Kamis, 22 Februari 2018, setelah salat Ashar berjamaah di Masjid Al-Ihsan, Jakarta Utara, ia menyampaikan, “Pada dasarnya saya bukan orang yang suka ditakut-takuti ataupun takut. Jadi, diancam seperti apa enggak terlalu penting bagi saya.” (Tribunnews.com, 22/02/2018).
Semangat yang mahadahsyat itu menjadi pondasi yang sangat kuat, kokoh, bagi pejuang antikorupsi. Novel adalah teladan hidup bagaimana seharusnya perjuangan melawan korupsi itu tak boleh surut oleh teror. Semangat itu harus mengalir ke setiap penegak hukum antikorupsi, dan tentu juga harus menjadi darah bagi setiap orang sebagai aliran nafasnya. Korupsi harus dilawan sampai ke akar.
Jarang ada yang menyangsikan bahwa korupsi selalu berkelit-kelindan dengan jalannya kekuasaan. Ada yang menganggap ia menjadi oli bagi langgengnya jabatan. Kursi mesti dijaga, tak boleh bergeser. Caranya adalah dengan melanggengkan korupsi.
Saya harus mengambil pelajaran banyak dari John Girling, peneliti senior dari Australian National University yang membahas bagaimana korupsi sangat merusak negara berkembang maupun maju. Karyanya berjudul Corruption, Capitalism and Democracy menyimpulkan beberapa hal. Korupsi selalu mengambil bentuk yang baru di mana ia hidup karena sistem yang sangat kolusif dengan dukungan para politisi.
Politisi—dan partai politik dalam satu garis—perlu mengambil porsi tanggung jawab yang cukup besar dalam upaya mencegah korupsi. Hampir susah dilepaskan keterlibatan politisi dari lahirnya embrio sistem yang destruktif yang membuka karpet hijau bagi korupsi.
Hubungan yang linear antara kesejahteraan, kekuasaan, dan nilai etik akan terganggu—atau sengaja diganggu—oleh pelaksanaan sistem yang didesain untuk meruntuhkan ketiganya dari dalam atau di luar. Kekuasan diciptakan sejatinya untuk mewujudkan kesejahteraan berdasarkan nilai etik yang disepakati atau diambil dari ajaran-ajaran mulia. Contoh dari konsep ini, misalnya, dapat ditemukan dalam kalimat Pembukaan UUD 1945, konsitusi Indonesia.
Sebagian Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”
Kalimat “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia” dimaknai sebagai kekuasaan yang diciptakan untuk mewujudkan kesejahteraan melalui kalimat “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Lalu, nilai etik tercermin dalam kalimat “berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” harus menjadi basis pelaksanaan kekuasaan (pemerintah) untuk mendapatkan kesejahteraan itu.
Selanjutnya, saya harus memaparkan karakteristik korupsi dari pernyataan yang dikutip oleh John Girling untuk menunjukkan bagaimana korupsi selalu membayangi pencapaian kesejahteraan oleh kekuasaan dengan dasar-dasar nilai etik.
Terdapat empat karakteristik yang menandakan eksistensi korupsi. Pertama, adanya pelanggaran terhadap hukum dan norma yang dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sosial politik. Kedua, muncul barter kepentingan secara rahasia di antara kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi.
Ketiga, terdapat tranksasi sejumlah kepentingan yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan administratif, tetapi tidak berada di bawah kendali peraturan perundang-undangan. Keempat, ada keuntungan yang terlihat dan tak terlihat untuk partai politik atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam transaksi kepentingan itu.
Dalam pemikiran saya, karakteristik eksistensi korupsi yang diajukan dalam karya John Girling samar-samar hadir juga di kancah politik dan pemerintahan di Indonesia. Di pusat dan di daerah. Masyarakat banyak merasakan pelanggaran hukum, melalui kebijakan-kebijakan pemerintah atas, misalnya, perizinan untuk sumber daya alam, pengaturan proyek pemerintah, pembuatan regulasi dan sebagainya.
Kekuasaan tak tampak (invisible power) yang bertambah kuat dengan gurita ekonominya karena didukung oleh oknum pejabat (contohnya kepala daerah) yang di satu sisi membutuhkan banyak uang. Hubungan itu dibangun di atas tindakan suap-menyuap yang merajalela. Apalagi menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.
Korupsi cenderung dirancang sistematis dengan kontribusi tangan panjang kekuasaan. Melanie Manion, yang mempelajari kaitan korupsi dengan pemerintahan di Hongkong dan Cina, menulis karya berjudul Corruption by Design. Di dalam buku itu disebutkan, korupsi di Hongkong dimulai sejak era 1950-an dan 1960-an. Pejabat publik mengejar kesempatan dengan apa yang dinamakan sebagai “bayaran untuk kepuasan”, khususnya di sektor-sektor yang menjadi monopoli pemerintah.
Terlebih lagi kepolisian di Hongkong mengambil peran hitam melalui bentuk “sindikat korupsi” yang melakukan pemerasan dan menerima suap atas permohonan perizinan. Sindikat korupsi ini berada di 16 wilayah kepolisian di Hongkong beserta tingkatan kepolisian di bawahnya. Kepolisian bertugas sebagai penjamin kekuasaan yang korup sekaligus pelaku korupsi.
Hampir mirip dengan Hongkong, korupsi di Cina diinisiasi dan dilakukan oleh pejabat senior partai dan pemerintahan. Sejak pertengahan 1980-an, survei publik di Cina menempatkan korupsi sebagai masalah utama bangsa yang harus diberantas. Kebijakan-kebijakan pemerintah sangat banyak dibuat dari andil para politisi senior yang korup di tubuh partai.
Sektor real estate dan pembangunan infrastruktur adalah area yang sangat rentan dikorupsi. Bahkan, koruptor sampai harus mengamankan dugaan kasus korupsi di pengadilan. Menyuap hakim dan petugas pengadilan agar menyatakan tidak bersalah (not guilty) atas setiap kasus yang diperiksa pengadilan.
Korupsi—setidaknya dari kasus yang terjadi di Hongkong dan Cina—banyak dilakukan dalam bentuk suap. Dari sini dapat diambil generalisasi—saya perlu menggarisbawahi hanya untuk kasus yang saya tampilkan di artikel ini—bahwa korupsi dari segi ilmu politik didefinisikan sebagai suap. Penyuapan (bribery) dimobilisasi untuk mengenyangkan perut para pejabat tinggi.
Dalam kasus Hongkong pejabat senior kepolisian dan pemerintahan mendapatkan semburan dolar Hongkong dari para pengurus perizinan. Di kasus Cina, beberapa petinggi Partai Komunis Cina memperoleh kepuasan atas bergulirnya korupsi dari kekuasaan yang diperolehnya. Melalui jabatannya, jalan korupsi dibuka melalui akses terhadap pembangunan infrastruktur.
Kembali ke semangat Novel Baswedan, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Novel sebagai penyidik KPK adalah semangat untuk melawan para pejabat pemerintahan dan politisi korup. Tidak hanya itu, kekuatan besar dalam gerbong ekonomi dan sosial yang berada di belakang atau di ballik para pejabat pemerintahan dan politisi korup adalah musuh yang juga harus dilawan.
Novel sedang tidak melawan orang per orangan, tetapi melawan penyuapan yang dilakukan oleh koruptor yang kebetulan berasal dari pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum, politisi, dan kekuatan ekonomi-sosial yang sangat rakus. Melawan leviathan. Novel membuktikan, meski diteror dan telah 10 bulan tidak mendapat kepastian tentang siapa yang mencelakainya, ia kembali. Ia berdiri gagah menantang kembali para monster itu. Ia tidak mengkeret.
Novel memberi contoh hidup. Haruskah kita menyia-nyiakan referensi hidup atas perlawanan terhadap korupsi itu. Novel bisa membuktikan bahwa ia mampu berperang melawan korupsi. Kalau ia bisa, kenapa kita tidak?
Tentang bagaimana agama, lebih spesifik agama Islam/fiqih, mengartikan korupsi, bagaimana pula agama menghukumi semangat Novel itu—dan di sebaliknya menghukumi korupsi—tunggu artikel selanjutnya.
Kolom terkait:
Menyambut Novel Baswedan, Mendefinisikan Korupsi [I]
Melindungi Novel, Mendefinisikan Korupsi [III – Habis]