Kontestasi akbar Pemilihan Kepala Daerah 2018 akan segera digelar. Bursa pencalonan kepala daerah juga sudah muncul ke permukaan, mulai dari kalangan partai politik, profesional, incumbent, hingga perwira aktif TNI/Polri berpangkat jenderal pun turut meramaikan pesta demokrasi tersebut. Namun, ditengah perjalanan, konstestasi tersebut terasa hambar dengan ditunjuknya jenderal aktif kepolisian sebagai Penjabat Gubernur dalam rangka menjalankan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini disebabkan banyaknya kepala daerah definitif yang ingin mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah.
Legalitas penempatan Polri aktif sebagai Penjabat Gubernur seakan tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, karena ini tidak sesuai dengan prinsip “the right man on the right place”. Pemerintah seakan menutup mata dan membuka pintu penyelundupan hukum dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Dalam Negeri RI (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti Di luar Tanggungan Negara.
Pasal 4 ayat (2) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 menjelaskan bahwa, “Penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi”. Padahal banyak norma di level undang-undang yang notabene berada di atas peraturan menteri yang tidak memperbolehkan Polri menjabat sebagai Penjabat Gubernur dalam mengisi kekosongan hukum.
Penunjukan perwira tinggi Polri sebagai penjabat kepala daerah jelas tidak tepat, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan cenderung berpotensi memicu konflik kepentingan dan politik praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setidaknya, ada 4 (empat) alasan mengapa Polri tidak berwenang menduduki jabatan strategis sebagai Penjabat Gubernur ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertama, jika ditelisik dalam aturan internal Polri, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 28 ayat (3) tegas menjelaskan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya, ketika anggota Polri akan menduduki sebuah jabatan strategis di luar kepolisian, maka anggota Polri tersebut harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Di samping itu, irisan dalam Penjelasan 28 ayat (3) itu juga menjelaskan bahwa “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri. Artinya, Polri tidak dapat merangkap jabatan di luar sangkut pautnya dengan kepolisian. Gubernur sesungguhnya bukanlah jabatan yang memiliki sangkut paut dengan kepolisian. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berfungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah sebagaimana amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua, jika dilihat dari regulasi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dalam Pasal 201 ayat (10) juga mengamanatkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya” menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Dari konteks itu, aturan tersebut jelas menekankan bahwa tidak ada frasa anggota kepolisian yang termasuk dalam kategori jabatan pimpinan tinggi madya. Karena, jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Ketiga, kalaupun jabatan pimpinan tinggi tersebut diisi oleh anggota Polri, maka anggota Polri tersebut juga dibatasi dengan pengunduran diri terlebih dahulu dari instansi kepolisian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 109 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014. Pasal ini menjelaskan, “Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif”.
Keempat, Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 juga turut memperjelas bahwa hanya pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jabatan penjabat gubernur bukanlah merupakan jabatan ASN tertentu.
Pertanyaan sederhana, dari sekian banyak jenis jabatan pimpinan tinggi madya yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 dan sekian banyak jabatan pimpinan tinggi madya setara eselon I/A yang tersebar di seluruh kementerian/lembaga di Indonesia, apakah tidak mencukupi untuk mengisi jabatan strategis sebagai penjabat gubernur yang hanya mengalami kekosongan di beberapa daerah?
Di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, misalnya, tentu ada posisi seperti direktur jenderal, inspektur jenderal, dan jabatan setingkat Pimpinan Tinggi Madya di dalamnya. Begitu juga dengan kementerian/lembaga lain yang pada hari ini berjumlah lebih dari 34 kementerian/lembaga. Dalam konteks saat ini, Kementerian Dalam Negeri seakan kehilangan akal untuk mencari penjabat gubernur selevel eselon I/A yang hanya diisi untuk beberapa daerah. Hal ini sungguh sangat disayangkan.
Berharap kepada Presiden
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pilkada yang adil, jujur, dan bertanggungjawab serta mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, kita semua berharap ke depan Menteri Dalam Negeri dalam hal pengisian jabatan Penjabat Gubernur hendaknya mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi semisal UU Nomor 2 Tahun 2002, UU Nomor 10 Tahun 2016, UU Nomor 23 Tahun 2014, dan UU Nomor 5 Tahun 2014.
Kedua, Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat mengubah frasa Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti Di luar Tanggungan Negara, yaitu dengan menghilangkan klausul, “setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi”, sehingga tidak mengaburkan inti dari suatu norma.
Ketiga, mengembalikan posisi Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada khittah konstitusional merupakan sebuah keharusan. Sebab, hal tersebut merupakan amanat Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Terakhir, kita berharap Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan produk hukumnya, yaitu Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur yang diisi dari kalangan TNI/Polri (Non-Pimpinan Tinggi Madya) di setiap daerah yang mengalami kekosongan hukum. Jika kebijakan tersebut tidak dihiraukan oleh Presiden, ini akan menjadi preseden buruk terhadap demokrasi di Indonesia: untuk menjadi Penjabat Gubernur lambat laun akan bergeser menjadi-jadi penjabat gubernur.