Jumat, April 26, 2024

Putusan MK versus Ikhtiar KPK

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id - Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaaan dihadirkan oleh pemohon sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Selasa (7/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto Humas/Ifa.
Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaaan dihadirkan oleh pemohon sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Selasa (7/6) di Ruang Sidang Pleno MK. [Foto Humas MK/Ifa].
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi yang dibacakan pada 25 Januari 2017 menjadi hambatan dan secara langsung melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

 

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah dan berpotensi mengancam dan merampas hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak atas pembangunan. Pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyasar elite politik dan pemerintahan. Terakhir adalah kasus dugaan korupsi oleh Hakim MK Patrialis Akbar. Sehingga, banyak pihak yang gusar dan berusaha melemahkan KPK dengan berbagai cara.

Putusan MK itu bisa menghambat ikhtiar atau niat KPK dalam memperluas makna korupsi yang telah merugikan bangsa di masa kini maupun di masa mendatang. KPK berusaha memperluas jangkauannya dalam mencegah dan memberantas korupsi dengan menghitung potensi kerugian negara dan publik atas tindak pidana korupsi.

Dalam kasus dugaan korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara (non aktif) Nur Alam, KPK menghitung angka potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dengan bantuan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor. KPK menghitung nilai kerugian dari potensi kerusakan lingkungan atas Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) yang dikeluarkan oleh Nur Alam. Hasil perhitungan sementara, potensi kerugian akibat dugaan korupsi Nur Alam mencapai lebih dari Rp 3 triliun.

Namun, karena putusan MK di atas, potensi kerugian negara akibat korupsi sebagaimana diduga dilakukan oleh Nur Alam akan terabaikan.

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kata “dapat” yang tertuang dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tentang Tipikor dihapuskan. Dengan putusan itu, maka tindak pidana korupsi harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata (riil), bukan potensi.

Bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Kemudian, di Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Padahal, dengan menilai potensi kerugian negara dan masyarakat atas tindak pidana korupsi, setidaknya akan memenuhi dua tujuan.

Pertama, memperberat sanksi hukuman bagi koruptor karena tindakannya yang berpotensi merugikan negara dan publik di masa mendatang. Misalnya, korupsi dalam penerbitan izin pertambangan dan kehutanan, yang berpotensi menimbulkan korban dan kerugian berupa bencana, yang baru bisa muncul dan dirasakan di masa mendatang.

Kedua, sebagai sarana edukasi dalam upaya pencegahan korupsi bagi masyarakat secara umum. Dengan mengetahui nilai potensi kerugian korupsi di masa mendatang, masyarakat menjadi lebih sadar atas dampak dari korupsi untuk kemudian bersama-sama mencegah dan melawannya.

Pada tahun 2016, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan pengaduan kepada KPK atas potensi kerugian negara sebesar Rp 3,6 triliun akibat perambahan hutan di empat provinsi di empat pulau, yaitu Kabupaten Muko-muko, Bengkulu; Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah; Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara; dan Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Sementara itu, dalam temuan KPK yang diumumkan pada Oktober 2015, kerugian negara dari sektor kehutanan rata-rata mencapai Rp 5,24 triliun-Rp 7,24 triliun setiap tahun. Tentu angka itu adalah nilai potensi kerugian yang sangat moderat, karena potensi kerugiannya pasti jauh lebih dari itu.

Menurut perhitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam kasus kebakaran hutan dan lahan seluas 2,7 juta hektare pada 2015, potensi kerugian negara dan publik mencapai sekitar Rp 221 triliun. Dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan itu, diduga kuat ada penyalahgunaan wewenang karena izin perkebunan dan kehutanan dikeluarkan di atas lahan gambut.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menyebutkan bahwa kerugian negara akibat aktivitas penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing mencapai Rp 3.000 triliun (Kompas, 22/6/2015). Menurut Susi, dari ribuan kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, pemiliknya tak lebih dari 10 orang atau agen. Dugaan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam industri perikanan sangat gamblang, karena industri itu dimonopoli oleh kalangan tertentu.

Dengan adanya putusan MK dengan Nomor Perkara 25/PUU-XIV/2016 itu, maka segala potensi kerugian negara dan publik akibat tindak pidana korupsi menjadi sulit untuk dijadikan sebagai dasar dalam menghukum para koruptor. Hal ini merupakan kemunduran bagi upaya pemberantasan korupsi dan kado pahit dari MK di awal tahun 2017.

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.