Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sangat menyita perhatian, bahkan telah menghabiskan energi yang tak sedikit. Debat, adu kekuatan, seteru melalui media arus utama dan media sosial, hingga perang di meja hijau. Sampai berakhir masa kampanye, hal itu masih terus terjadi. Diperkirakan silang sengkarut ini belum akan ada ujungnya hingga batas waktu tidak ditentukan. Tergantung nanti siapa yang terpilih menjadi Gubernur DKI.
Kalau yang terpilih pasangan calon selain Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mungkin “perang” segera usai. Namun jika Ahok kembali memperoleh kepercayaan mayoritas warga Jakarta, polemik mungkin akan terus berlanjut. Mengapa demikian? Status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama akan menjadi salah satu pangkal soalnya. Lebih-lebih pelaksanaan aturan terkait implikasi status terdakwa itu pun dimaknai secara berbeda oleh pemerintah dan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Sabtu (11 Februari) merupakan waktu terakhir masa kampanye. Mulai besok (12 Februari), seluruh calon petahana yang menjalani cuti di luar tanggungan negara sesuai Pasal 70 UU No. 10/2016 akan kembali pada jabatan semula, termasuk Ahok. Ahok akan melanjutkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam kapasitas sebagai Gubernur Jakarta yang juga berstatus terdakwa, Ahok dihadapkan pada norma Pasal 83 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada kesempatan terakhir, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, Ahok akan tetap aktif sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga ada pembacaan tuntutan dari jaksa dalam sidang dugaan penistaan agama. Tidak hanya Menteri Dalam Negeri, sebagian pakar hukum juga menyampaikan pandangan yang hampir sama, bahkan ada yang lebih ekstrim dengan menyatakan Ahok tidak dapat diberhentikan sementara berdasarkan Pasal 83 UU Pemda. Sebab, Pasal 83 hanya ditujukan untuk kejahatan-kejahatan berat semata. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan frasa “pidana penjara paling singkat… dan seterusnya” dalam pasal tersebut.
Sementara itu, dugaan kejahatan yang dilakukan Ahok tidak termasuk kejahatan berat karena diancam dengan Pasal 156 atau Pasal 156a yang menggunakan rumusan “pidana penjara selama-lamanya… dan seterusnya”. Sehubungan dengan pandangan itu, ada dua masalah hukum yang harus dijawab, yakni cara memaknai frasa “paling singkat 5 tahun” dalam Pasal 83 UU Pemda dan mengenai kapan waktu pemberhentian sementara dilakukan.
Rumusan Norma
Tidak dapat dipungkiri, terhadap frasa “paling singkat 5 tahun” terjadi pembelahan pendapat. Bagi sebagian kalangan, frasa itu dimaknai hanya kepala daerah yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 5 atau lebih saja yang dapat diberhentikan sementara. Adapun terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun, Pasal 83 tidak dapat diterapkan.
Sedangkan kalangan lain menilai, frasa itu bermakna jika kepala daerah melakukan tindak pidana yang ancamannya 5 tahun atau lebih, ia mesti diberhentikan sementara. Kelompok pertama menekankan pada aspek perumusan ancaman hukuman minimum, sedangkan kelompok kedua menekankan pada aspek lama ancaman hukum.
Dalam hukum pidana Indonesia memang dikenal batas ancaman hukum minimum dan maksimum, baik dalam KUHP maupun UU lainnya. Batas minimum biasanya dirumuskan dengan frasa “sekurang-kurangnya” atau “paling singkat”. Sedangkan batas maksimum menggunakan frasa “selama-lamanya” atau “paling lama”.
Dalam KUHP, mayoritas normanya menggunakan ancaman maksimum dengan frasa “selama-lamanya”. Hal itu juga terdapat dalam UU lain, salah satunya Pasal 78 UU Kehutanan, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.”
Sementara itu, rumusan ancaman pidana minimum-maksimum salah satunya terdapat dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Pengadilan HAM. Sebagai contoh, dalam Pasal 2 UU Tipikor diyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum … dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun… dst.”
Sedangkan dalam UU Pengadilan HAM, salah satunya adalah Pasal 36, “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c (pen: perbudakan), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.”
Jika berpegang pada pendapat yang menyatakan Pasal 83 UU Pemda hanya berlaku untuk kejahatan yang diancam dengan pidana minimum 5 tahun, tentu beberapa norma yang dicontohkan di atas tidak termasuk di dalamnya. Dalam arti, jika kepala daerah didakwa dengan Pasal 78 UU Kehutanan atau didakwa berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor, yang bersangkutan tentu tidak bisa diberhentikan sementara. Sebab, rumusan Pasal 78 UU Kehutanan tidak menggunakan ancaman minimum dan Pasal 2 UU Tipikor hanya mengatur ancaman minimum di bawah 5 tahun.
Kalangan ini mungkin akan membantah, bahwa Pasal 2 UU Tipikor tidak bisa disamakan dengan kejahatan lainnya, karena tindak pidana korupsi diatur secara eksplisit sebagai alasan pemberhentian sementara dalam Pasal 83 UU Pemda. Harus dipahami, ini bukan soal dinyatakan secara eksplisit atau tidak, namun lebih pada bantahan terhadap argumentasi kelompok ini yang mendasarkan pada ketidakberlakukan Pasal 83 UU Pemda terhadap tindakan pidana yang tidak dirumuskan dengan selain ancaman minumum.
Jika bersandar pada pandangan ini, sebagian besar pidana kejahatan dalam KUHP dan sejumlah UU lain tidak akan dapat dijadikan alasan pemberhentian kepala daerah sementara waktu. Akibatnya, frasa “paling singkat 5 tahun” dalam Pasal 83 UU Pemda pun akan kehilangan arti. Bila konstruksi argumen yang dibangun justru menyebabkan UU kehilangan makna, yang keliru bukan rumusan norma UU-nya, melainkan cara pandang terhadap norma itu.
Agar tidak terjebak pada kekeliruan dimaksud, frasa “paling singkat 5 tahun” harus dimaknai bukan untuk tindak pidana yang ancaman hukumnya dirumuskan secara minimum, melainkan berlaku untuk setiap tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih, terlepas apa pun sifat perumusan ancaman hukuman yang digunakan. Dengan begitu, setiap tindak pidana, baik ancamannya diatur secara minimum, maksimum atau minimum-maksimum, sepanjang lama ancamannya 5 tahun atau lebih, ia akan terkait langsung dengan Pasal 83 UU Pemda.
Untuk kasus Ahok, sekalipun pasal yang didakwakan menggunakan ancaman maksimal 5 tahun, hal itu telah masuk dalam kategori yang dimaksud dalam Pasal 83 UU Pemda. Oleh karena itu, ketentuan tersebut mesti diberlakukan pula bagi Ahok.
Waktu Pemberhentian
Kapan seharusnya pemberhentian sementara terhadap kepala daerah berstatus terdakwa dilakukan? Sebagaimana disinggung sebelumnya, Menteri Dalam Negeri menyatakan, pemberhentian sementara terhadap Ahok akan dilakukan nanti setelah jaksa penuntut umum membacakan tuntutan. Alasannya, belum ada kepastian apakah Ahok akan dituntut sesuai Pasal 156 yang ancaman hukumannya 4 tahun atau Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun (detiknews, 10/01).
Pandangan Mendagri tersebut jelas keliru. Sebab, basis pemberhentian sementara kepala daerah bukan saat requisitor dibacakan, melainkan ketika status terdakwa. Hal itu tegas dinyatakan dalam Pasal 83 ayat (2) UU Pemda, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.”
Sesuai ketentuan di atas, ketika perkaranya teregistrasi di pengadilan, saat itu Ahok sudah harus diberhentikan sementara. Artinya, paling lambat ketika sidang pertama tanggal 13 Desember 2016, Keputusan Presiden pemberhentian sementara sudah mesti diterbitkan. Hanya saja kala itu Presiden belum bersikap karena yang bersangkutan masih dalam status cuti kampanye.
Sekalipun alasan itu masih dapat diperdebatkan karena terdapat perbedaan mendasar antara “cuti” dan “berhenti sementara”, namun dengan telah berakhirnya masa kampanye, tidak ada lagi alasan untuk tidak menerbitkan Kepres pemberhentian sementara. Toh, jika nanti ternyata Ahok dinyatakan tidak bersalah, ia pun dapat direhabilitasi kembali sesuai Pasal 84 UU Pemda.
Berdasarkan argumentasi hukum yang dibentangkan di atas, agar tidak menambah polemik, sudah seharusnya pemerintahan Joko Widodo mengevaluasi keputusannya terkait status pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta. Pasal 83 UU Pemda harus dipastikan terlaksana dengan selurus-lurusnya dalam kasus ini. Dengan begitu, mulai besok (12 Januari) Surat Keputusan cuti kampanye Ahok cukup berganti dengan Surat Keputusan pemberhentian sementara sebagai Gubernur DKI Jakarta.