Jumat, Oktober 4, 2024

Penjara Tersandera Napi Berpelesir

Fransisca Ayu
Fransisca Ayu
Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

artyalita
Kamar tahanan mewah Artalyta di Rutan Pondok Bambu yang sempat bikin heboh [Foto Antara]
Hasil investigasi majalah Tempo (6-12 Februari 2017) menunjukkan hanya dengan merogoh kocek 5-10 juta, seorang narapidana (napi) bisa pelesir leha-leha di luar penjara untuk mendapatkan hiburan. Ini terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Rupanya, Gayus-Gayus lain mulai bermunculan di Republik ini. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mencak-mencak (3/2) ketika mendengar kabar tersebut dan langsung memanggil eselon II untuk rapat.

 

Para narapidana yang bebas berjalan-jalan di luar penjara menunjukkan rusaknya kewibawaan hukum. Padahal, kewibawaan hukum itu ada di tangan aparat dan lebih spesifik lagi ada pada sipir yang bekerja mengawasi aktivitas di penjara. Kita sudah sering mendengar bagaimana sipir dengan mudah “dibeli” olen napi dengan menyiapkan fasilitas serba mewah di bui. Ada kamar mandi yang mewah, tempat rias dilengkapi televisi, dan lain sebagainya. Sementara kita tahu, ada napi lain yang justru mati kedinginan di penjara.

Mereka, para napi kaya, bisa menerima tamu kapan saja di ruang khusus yang notabene sudah dipersiapkan khusus oleh sipir. Sudah tentu previlese yang diberikan kepada napi itu bukan tanpa balasan. Tak ada makan siang yang gratis dalam dunia sosial sekarang ini, terlebih di penjara. Sebuah keniscayaan sipir-sipir yang memang secara pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dibayar dengan fulus yang tak sedikit.

Apalagi jika napi itu adalah mantan pejabat, pebisnis, yang sama sekali tidak merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan pelayanan khusus di bui. Kita tentu masih ingat di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 lalu, seorang napi korupsi Arthalyta bisa dengan mudah menyulap buinya menjadi “istana”.

Harus kita akui, sistem hukum di negara kita belum menerapakan hukuman pemiskinan, khususnya terhadap napi-napi korupsi yang kaya, dengan menyita semua kekayaan mereka untuk menciptakan rasa jera dan preseden sosial. Meski sudah dihukum maksimal pun, mereka masih bisa menikmati kakayaannya bersama sanak sekeluarga, selepas keluar dari bui.

Para terhukum itu mestinya konsekuen menerima akibat dari pelanggarannya, dengan mendekam dan masuk dalam situasi terhukum, merasakan keterbatasan ruang gerak, supaya bisa menimbulkan efek preseden.

Mereka semestinya harus dikondisikan untuk merasakan hidup terkekang sebagai hukuman, bukan untuk membatasi hak asasinya sebagai manusia, tapi untuk merangsang sebuah sikap empati dan penghormatan terhadap nilai-nilai sosial dan peradaban yang ia langkahi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Karena, di balik pelanggaran yang ia lakukan tersebut, ada hak-hak orang lain yang dirampasnya, sehingga mempengaruhi terciptanya kemaslahatan dalam bermasyarakat.

Kalau kita tarik dalam konteks demokrasi, menurut John Keane (Violence and Democracy, 2004), negara yang tidak demokratis dicirikan oleh penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk meneror kepentingan diri atau kelompok, seperti memberi perlindungan terhadap kelompok pebisnis atau kelompok kepentingan yang terkait dengan kekuasaan.

Berkeliarannya napi atau pelesiran yang terjadi di Sukamiskin adalah bentuk teror terhadap negara dan masyarakat, di mana terjadi peragaan langsung opera kebebasan yang dinikmati oleh para napi. Kenapa saya katakan ini sebagai teror kepada negara dan masyarakat?

Bagi negara, dengan tidak bekerjanya kaki-kaki tangan di bawahnya, terutama dalam menegakkan hukum, menandai hukum dan aturan dapat dengan mudah dipermainkan seenaknya. Bagi masyarakat, fenomena memalukan ini justru akan membuat masyarakat resah dan gelisah di sudut bangunan penegakan hukum yang pincang.

Kalau institusi hukum yang mengerti aturan, norma, etika dan moralitas saja gagal mewujudkannya kepada setiap terhukum, lalu bagaimana nasib masyarakat yang selama ini merindukan hadirnya hukum yang tegak di tengah-tengah hidupnya? Padahal di situ pula keadilan menjadi terluka, karena diperkosa oleh para napi pembayar dan sipir murahan.

Penjara justru menjadi ruang-ruang transaksi untuk membebaskan diri dari dimensi hukuman. Bahkan di penjara ada surga yang dinikmati, misalnya oleh para pelaku narkoba, di mana mereka dapat dengan mudah membuat pabrik narkoba, tanpa diawasi oleh para petugas penjara. Berita-berita paradoks itu kini membuat penjara tidak merupakan sesuatu yang menakutkan, untuk dihindari oleh siapa saja. Namun semakin ke sini, penjara justru dianggap hanya sebagai tempat beristrahat, sementara karena kebetulan apes, karena memang di ruang penjara, mereka juga bisa makan dan minum serta memperoleh pelayanan khusus, layaknya di dunia luar.

Masyarakat yang waras pasti akan khawatir dengan menilai bahwa kejahatan ternyata bisa dengan mudah dimaafkan, asalkan punya kuasa dan duit yang bisa diobral. Secara tidak langsung ini mengartikan bahwa potensi kejahatan di masyarakat bisa dengan mudah berkecambah dan merebak karena didukung oleh sistem hukum yang kurang baik dan pandang bulu.

Hukum ibarat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Akibatnya, untuk mewujudkan negara yang humanistik, negara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan terhadap semua warga negara, di mana hak-haknya dijamin dan dilindungi, justru makin diperhadapkan pada tantangan yang besar (Tilly, 2007), yakni pada bangunan hukum yang kurang kuat untuk melawan segala bentuk praktik kejahatan yang membunuh masa depan warga negara secara keseluruhan.

Sengaja Diobok-Obok

Freeman dalam Justice and Sosial Contract (2007) bahkan mengatakan bahwa keadilan yang sejati tak hanya diwujudkan berdasarkan kerangka legal-formal, tetapi harus diwujudkan menurut tuntutan sosial dan keadaban masyarakat. Artinya, keadilan yang dinanti-nantikan rakyat itu bisa tercapai kalau warga di depan batang hidungnya sendiri melihat secara kasatmata, bahwa para pelaku kejahatan yang merugikan wibawa negara dan merusak ketentraman masyarakat dihukum dengan sanksi yang sempurna. Bukan sebaliknya.

Kita menduga, jika fenomena sipir pelesir terus dibiarkan, sama saja hukum memang sengaja dibiarkan diobok-obok, dibuat lunyai, sehingga tajinya hilang. Ini semestinya bukan perkara main-main. Ini soal martabat negara yang seyogianya disikapi secara tegas. Kalau, misalnya, para sipir nakal itu mau dimutasi ke wilayah lain, hanya karena reaksi pemerintah, jangan-jangan perilaku serupa malah ia tularkan lagi ke wilayah kerja barunya itu, dan bukan tidak mungkin tambah parah.

Karena itu, penting sekali bagi pemerintah, terutama Kementerian Hukum dan HAM, untuk memikirkan strategi solusi yang lebih komprehensif demi mengeliminasi fenomena tersebut. Misalnya, aparat di Kementerian hukum dan HAM lebih giat lagi dalam membangun pengawasan ekstra ketat terhadap aktivitas di penjara, termasuk terhadap ruang gerak sipir.

Sipir-sipir yang mudah disuap harus dihukum dengan tegas, dipidana, atau dipecat. Namun yang kinerjanya bagus juga harus diberikan reward, agar mereka tetap menjaga integritasnya. Dengan demikian, dunia penjara benar-benar mampu mereproduksi warga negara agar menjaga tapak kakinya sesuai nilai-nilai hukum dan keadaban.

Fransisca Ayu
Fransisca Ayu
Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.