Terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2014 sempat memberikan harapan baru keseluruhan lini kehidupan bermasyarakat dalam rangka pembangunan nasional. Harapan itu bisa muncul karena melihat begitu rincinya “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian” yang diusung Jokowi-JK sebagai visi-misi saat kampanye.
Harus diakui, Presiden Jokowi dan seluruh kabinetnya sudah bekerja selama tiga tahun ini. Kinerja di bidang sosial-politik, apakah itu persoalan konsolidasi politik nasional (yang termasuk lama dan bising) dan tarik-ulur kepentingan dalam urusan legislasi, jargon Revolusi Mental, pengamalan Pancasila, sekurang-kurangnya telah dijalankan dengan baik. Meski masih banyak celah mengingat seluruh persoalan sosial-politik yang selalu dinamis, kiranya di bidang ini, semua terasa cukup teratasi.
Pembangunan bidang ekonomi tidak perlu diragukan. Pemerintah mendorong segala percepatan pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui pembangunan besar-besaran infrastruktur di seluruh wilayah. Kinerja pemerintah di bidang ekonomi terus didorong dengan segala macam inovasi perekonomian untuk mengajak masuk investor. Belasan paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah juga membuktikan bahwa Presiden Jokowi memang fokus sekali dalam pembangunan Indonesia yang dimulai dari bidang ekonomi.
Apakah optimisme yang sama seperti di atas, bahwa pemerintah meletakkan perhatian serius dan konsisten, bisa kita lihat dan rasakan dalam kinerja pemerintah di bidang (penegakan) hukum? Pertanyaan ini harus dijawab, mengingat dari 41 halaman visi-misi (Nawacita) kampanye, Jokowi-JK juga menekankan pembangunan bidang hukum yang cukup komprehensif (Saldi Isra menakar sekitar 25 persen dari keseluruhan janji tertulis itu).
Korupsi dan HAM
Baik persoalan korupsi dah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi fokus tulisan ini, tanpa bermaksud mengatakan bahwa isu hukum yang lain, politik legislasi, narkoba, illegal fishing, menjadi tidak penting. Dua isu ini menjadi isu sentral janji kampanye Jokowi-JK dalam prioritas penegakan hukum. Secara keseluruhan, ada 42 prioritas utama di bidang ini.
Untuk menjawab tantangan kejahatan korupsi sendiri, ditekankan dengan tegas bahwa korupsi (termasuk kolusi, nepotisme, suap-menyuap, pungutan liar dan pencucian uang) harus diberantas di segala lini. Untuk itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus diperkuat dan didukung tanpa kompromi. Bahkan ditekankan perlunya sinergi yang membangun antara KPK dengan lembaga penegak hukum lain di bawah Presiden, Kepolisian dan Kejaksaan, dalam pemberantasan korupsi yang makin mengerikan (poin i).
Bahwa Presiden pernah menolak usulan revisi UU KPK tahun 2015 yang dengan segala latar belakangnya semata untuk melemahkan KPK (misalnya mengurangi kewenangan penyadapan), adalah sesuatu yang cukup melegakan. Namun, ternyata, ketegasan tidak berlanjut saat KPK kembali diserang akhir-akhir ini, misalnya dengan Pansus Hak Angket KPK di DPR.
Presiden berdalih bahwa hak angket adalah kewenangan DPR yang tidak bisa diintervensi pemerintah, maka itu juga alasan bagi Presiden untuk tidak berbuat apa-apa. Dalih Presiden memang tidak salah, namun tanpa harus mencampuri hak angket itu, yang nyatanya memang mau melemahkan KPK, Presiden seharusnya menunjukkan sikap penguatan KPK yang sangat tegas, termasuk kepada anggota DPR dari partai koalisi pendukungnya.
Segala usulan dari panitia angket, yang sudah terbaca jelas ingin melemahkan KPK, harus ditolak. Presiden tidak boleh kompromi dengan kekuatan politik apa pun yang mencoba melumpuhkan KPK, apakah itu lewat revisi UU KPK atau manuver politik lainnya. Maka, pembentukan Densus Tipikor Polri harus dipertimbangkan secara matang sebelum disetujui. Apakah pembentukan Densus Tipikor ini adalah alternatif baru segenap anggota DPR atau bahkan Polri untuk membubarkan KPK kelak? Selayaknya tidak.
Selain korupsi, HAM juga menjadi bagian yang banyak dirinci dalam janji kampanye. Ada dua hal yang perlu dibahas. Pertama, soal penyelesaian setiap pelanggaran HAM berat masa lalu, yang oleh Jokowi-JK disebut sebagai beban sosial politik bangsa: Kerusuhan Mei, Tragedi Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tangjung Priok, Tragedi 1965 (poin ff).
Ditekankan dalam poin itu, bahwa Jokowi-JK berkomitmen akan penyelesaian secara berkeadilan untuk semua beban-beban masa lalu itu, khususnya dengan menghapus segala bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional. Pelanggaran HAM berat masa lalu, sejatinya, dalam janji yang ada, harus dibuka dan diselesaikan. Semuanya.
Kenyataan yang ada, tiga tahun pemerintahan berjalan, belum kelihatan tanda-tanda adanya penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat itu, bahkan satu pun tidak. Pemerintah belum melakukan usaha konkret dan berani (meski) tidak populer dalam usaha “penyelesaian yang berkeadilan” atas beban-beban berat masa lalu itu. Alih-alih sebagai awal penyelesaian pelanggaran HAM dalam tragedi 65, Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diadakan tahun lalu, tidak mendorong usaha lanjutan yang konkret.
Kedua, terkait komitmen penegakkan hak-hak dasar: jaminan hak beragama dan berkeyakinan (poin bb) dan hak atas kesehatan, pendidikan, pekerjaan serta perlindungan hak adat (poin dd). Hak-hak dasar ini, meski sudah jelas dijamin dan harus dilindungi oleh negara sebagaimana dalam UUD 1945, masih minim usaha nyata.
Dalam kaitannya dengan hak beragama dan berkeyakinan, masih banyak pendiaman bagi kelompok-kelompok radikal dan fanatik religius tertentu yang sewenang-wenang memaksakan kehendak mereka. Tindakan-tindakan brutal, seperti pembubaran ibadah juga diskriminasi bagi keyakinan/agama asli, masih sering terjadi dan tidak ada tindakan tegas oleh Kepolisian (bahkan kerapkali seakan polisi mendukung karena tidak melakukan penindakan berarti).
Kasus intoleransi masih sangat besar jumlahnya dan diperparah masih rentannya masyarakat untuk terjangkit virus radikalisme yang makin menjalar ke seluruh bidang kehidupan. Tahun lalu, Wahid Foundation dan Lingkar Survei Indonesia mencatat bahwa ada 11 juta dari 150 juta penduduk muslim Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikal. Sesuatu yang membuat kita khawatir dan tidak bisa tenang.
Belum lagi regulasi-regulasi “karet” yang kerap menjadi biang keladi munculnya ketegangan dalam hubungan antar-umat beragama, misalnya, hukum penodaan agama, surat keputusan bersama tentang pendirian rumah ibadat dan lain sebagainya. Regulasi ini masih diberlakukan begitu saja, tanpa sedikit pun melihat perkembangan masyarakat saat ini. Meski ditujukan untuk melindungi hubungan harmonis umat beragama, nyatanya regulasi itu selalu menciptakan masalah baru yang memancing emosi.
Hak-hak dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan hak adat juga masih memiliki catatan di sana-sini. Konsistensi pemerintah di masing-masing bidang masih terus dipertanyakan, khususnya dalam bidang pengelolaan tanah adat dan pembaharuan hukum agraria yang dapat menjamin hak-hak masyarakat adat.
Konsistensi
Banyaknya masalah dalam bidang (penegakan) hukum jelas mempengaruhi citra Indonesia sebagai negara hukum. Ada dua elemen yang harus dijaga dan diwaktu yang sama harus diwujudkan dalam sebuah negara hukum (Adriaan Bedner, 152-163). Pertama, elemen prosedural: pemerintahan dengan hukum, tindakan negara tunduk pada hukum, legalitas formal (hukum bagi semua sama), dan demokrasi (dalam hal musyawarah mufakat).
Elemen-elemen ini lebih menekankan kepada bagaimana sebuah negara (dalam hal ini pemerintah) menjalankan sistem yang taat berlandaskan hukum. Pengelolaan sebuah negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum harus sepenuhnya dilandaskan pada asas-asas hukum, demi menjamin masyarakat yang tertib, adil, dan bermartabat. Hukum dijadikan landasan dan patokan.
Kedua, elemen substantif: subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundamental dari keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan perorangan, pemajuan hak asasi sosial dan perlindungan hak kelompok. Yang perlu dicatat adalah bahwa hukum dimaknai bukan sekadar sebagai instrumen mati, melainkan sebagai landasan bernegara yang hidup dan dihidupi. Karenanya, misalnya seluruh politik legislasi harus berlandaskan semangat keadilan dan demi kepentingan umum.
Dua elemen ini harus menjadi rujukan ulang bagi pemerintahan Jokowi-JK sekurang-kurangnya untuk dua tahun sisa masa jabatannya guna benar-benar meletakan konsentrasi yang besar kepada bidang hukum yang sejauh ini terasa diabaikan karena fokus pada melulu bidang politik dan ekonomi.
Perlu dicatat, komitmen pemerintah dalam bidang hukum akan terkait dua hal: jaminan bahwa seluruh lini pembangunan nasional (baik ekonomi dan politik) tidak saling bertentangan dan menjamin integritas Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan, tetap diakui. Untuk menjaga komitmen kampanyenya, pemerintah harus menjaga konsistensinya.
Kolom terkait:
Hukum yang Berjalan Mundur [Catatan Hukum 2016]
Indonesia dan Year of Living Dangerously [Catatan HAM 2016]
Agar Presiden “Lebih Berkeringat” [Dua Tahun Pemerintahan Jokowi]