Sosok Munir sontak hidup kembali dalam ingatan banyak orang, ketika penguasa mengingkari keberadaannya. Semakin diingkari, sosok Munir kian besar.
Perhatian kepada peristiwa pembunuhan terhadap Munir kembali buncah ketika pihak Istana menyanggah memiliki dokumen laporan hasil kerja Tim Pencari Fakta (TPF) tahun 2005. Sanggahan pihak Istana itu memancing reaksi banyak pihak. Bahkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut bereaksi dengan nada yang agak keras, karena merasa dipojokkan.
Tulisan ini tidak hendak mengulas terjadi kontroversi “hilangnya” dokumen maha penting TPF itu, melainkan memberikan pemaknaan atas sosok Munir dan relasinya dengan kekuasaan kini.
Bayangkanlah Munir yang berpostur kecil telah berdiri menjulang begitu tinggi dalam menantang kekuasaan, mulai dari penguasa Soeharto, Habibie, Megawati. Di era Megawati, Munir terbunuh, 7 September 2004 tepatnya. Pengganti Mega, SBY belum mampu membongkar tindakan kejahatan keji yang merenggut hidup Munir. Sementara Presiden Joko Widodo, setelah dua tahun berkuasa, masih diam. Singkatnya, hidup ataupun mati, Munir tetap berurusan dengan pemguasa, yaitu Presiden.
Mengapa Munir begitu besar? Karena ia adalah suara nyaring dari sosok-sosok yang mulutnya dibungkam oleh para penguasa. Dalam diri, laku, dan pemikiran Munir, sosok-sosok jelata yang dikorbankan oleh penguasa menjelma menjadi sosok yang kuat dan berani. Adalah norma-norma hak asasi manusia dan keberpihakan hukum kepada mereka yang lemahlah yang menjadi senjata Munir menghadapi tentakel kekuasaan di berbagai lini.
Implikasinya adalah Munir menjadi tempat bersandar bagi mereka yang dikalahkan. Tempat berharap bagi mereka yang kehilangan harapan. Singkatnya, bagi mereka yang menjadi korban kaki-tangan kekuasaan, dari Aceh sampai Papua, Munir adalah utusan diri mereka.
Dalam posisi seperti itu, meminjam istilah Daniel Dhakidae (2015) Munir adalah sosok powerfulness of the powerless, yaitu sosok yang tidak memiliki kekuasan formal namun mampu menggetarkan pusat-pusat kekuasaan karena membawa suara mereka yang terkalahkan.
Di sisi lain, Munir menjadi musuh bagi mereka yang berkuasa dan para begundalnya. Oleh sebab itu, hampir semua penguasa tak hendak bersentuhan dengan Munir, bahkan kerap berupaya untuk meniadakannya. Tak sedikit ancaman dialamatkan ke Munir, meski penguasa datang silih berganti.
SBY dengan 10 tahun berkuasa tak mampu menyingkap misteri peristiwa dan dalang pembunuhan itu. Sementara Jokowi seperti enggan untuk menyentuhnya dengan alasan dokumennya hilang. Ironis!
Sesungguhnya keengganan untuk menyingkap misteri pembunuhan Munir adalah keengganan untuk mengakui tangan-tangan kotor kekuasaan memang benar adanya. Selain itu juga keenganan untuk membenarkan dan menerima nilai-nilai dan norma HAM yang diperjuangkan Munir menjadi bagian sah dari nilai dan norma kita bernegara.
Tentang tangan-tangan kotor pelaku kejahatan yang berkelindan dengan kekuasaan itu, mungkin bisa Anda imajainasikan dengan membaca karya Fyodor Dostoyevsky, Kejahatan dan Hukuman (Crime and Punishment). Karya klasik penulis Rusia ini menyajikan satu drama yang lirih tentang seorang pembunuh. Sosok protagonis ceritanya berimajinasi tentang tokoh agung yang boleh melakukan kejahatan demi cita-cita agungnya. “Membunuh demi menyelamatkan bangsa” kira-kira begitulah kredonya untuk cuci tangan.
Namun, yang lebih menarik, bukan tentang teori agung itu, melainkan cara Dostoyevsky mempermainkan dramanya dengan menyuguhkan di awal cerita secara lagsung sang pembunuh, dan kemudian pembaca dihisap ke dalam sosok itu untuk mencermati ia berkelit dan berdalih. Bahkan pembaca bisa terdorong bersimpati. Permainan rasa terjadi di situ.
Dalam peristiwa pembunuhan Munir, saya melihat drama Dostoyevsky itu dimainkan oleh para pelakonnya. Orang banyak bisa menduga tangan kotor siapa yang berperan, akan tetapi tidak ada yang sampai mampu memborgol tangan itu. Hilangnya dokumen laporan TPF yang menjadi petunjuk awal peristiwa terbununya Munir bisa dilihat dalam kerangka drama itu.
Nah, dari kontroversi yang kini terjadi, tentu pemilik tangan-tangan kotor itu masih bisa tertawa karena mereka bisa mentertawai situasi. Pertanyaannya, sampai kapan permainan seperti ini dibiarkan, Tuan Presiden?