Hari ini penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, kembali ke Tanah Air. Sementara itu, penangkapan terhadap sejumlah kepala daerah yang dilakukan KPK tentu menimbulkan keprihatinan. Gubernur dan bupati/wali kota yang seharusnya menjadi panglima dalam menciptakan kesejahteraan bagi daerah—khususnya bagi rakyat di daerah—malah menjadi pesakitan. Ini adalah contoh sangat buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Di luar itu, ada hal yang mengganggu pikiran saya. Beberapa waktu pasca KPK menggelandang kepala daerah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu salah kaprah. Penangkapan yang dilakukannya terhadap kepala daerah melanggar undang-undang.
Kira-kira begini inti pernyataannya, “apa yang dilakukan oleh kepala daerah itu bukan korupsi. Mereka tidak merugikan keuangan negara. Paling parah adalah melanggar etika. Para kepala daerah itu memang sedang mengumpulkan uang untuk maju pilkada. Wajar jika terima uang.”
Secara pribadi saya sangat terganggu dengan pernyataan Fahri Hamzah. Apakah benar KPK telah salah membaca dan menafsirkan undang-undang? Atau dengan pertanyaan yang lebih spesifik, apakah definisi korupsi itu? Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah kepala daerah yang ditangkap KPK itu tak melakukan korupsi?
Pada kesempatan pertama, saya ingin mengajak pembaca untuk mengartikan korupsi dari sudut undang-undang antikorupsi dan undang-undang lain yang terkait. Dalam kesempatan kedua nanti, saya akan mengulas definisi korupsi dari sudut ilmu politik. Dan dalam kesempatan ketiga, saya bakal memaparkan makna korupsi dari sudut Agama Islam/Fiqih.
Supaya tidak kabur, tulisan kesatu—dari tiga tulisan—ini akan mengajukan tiga undang-undang untuk menerjemahkan korupsi. Pertama, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme—selanjutnya ditulis UU No. 28/1999.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001—selanjutnya ditulis UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Ketiga, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi—selanjutnya ditulis UU No. 30/2002.
Niat saya mengajukan tiga undang-undang di atas adalah agar pembaca dapat merujuk langsung sumbernya. Di samping itu, juga untuk memberi pelajaran ke setiap orang—khususnya kepada penulis sendiri—supaya ketika dalam menyampaikan pernyataan di depan publik didukung dengan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan juga agar tidak dikira hanya membual atau omdo alias omong doang.
Saya ingin memulai pembahasan dari UU No. 28/1999. Kemudian dilanjutkan ke UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 dan diakhiri dengan UU No. 30/2002. Alur pembahasan demikian sekaligus ingin menunjukkan bahwa ada keterkaitan pasal di antara ketiga undang-undang itu.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 28/1999, penyelenggara negara diartikan dalam dua kelompok. Pertama, sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, sebagai pejabat lain yang fungsi dan tugasnya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut juga memiliki makna bahwa ada penyelenggara negara yang berasal dari unsur pejabat negara dan bukan pejabat negara (pejabat lain).
Bagaimana dengan gubernur, bupati/wali kota, apakah mereka penyelenggara negara? Dalam pandangan umum, sangat jelas bahwa ketiga pejabat itu menjadi kepala pemerintahan di daerah. Artinya, gubernur, bupati/wali kota menjadi bagian penyelenggara negara di ruang eksekutif. Lebih tegas lagi, pasal 2 angka 4 dan penjelasan Pasal 2 angka 6 UU No. 28/1999 menyebutkan bahwa gubernur dan bupati/wali kota adalah penyelenggara negara.
Setiap penyelenggara negara memilliki kewajiban yang diatur oleh undang-undang. Dalam Pasal 5 angka 4 UU No. 28/1999, penyelenggara negara wajib tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari pasal ini, mulai tampak hubungan antara penyelenggara negara dengan kewajiban antikorupsi. Jika dijabarkan, maka dari sini pula hadir sebuah hubungan antara gubernur, bupati/wali kota dengan kewajiban antikorupsi.
Apakah UU No. 28/1999 mendefinisikan korupsi? UU No. 28/1999 melalui Pasal 1 angka 3 mengatakan bahwa korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Baiklah, mari melangkah ke peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 berjudul Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saya tidak akan menjelaskan semua isi UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, melainkan hanya yang terkait dengan perkara yang berkaitan dengan penangkapan kepala daerah beberapa waktu lalu.
Pasal 1 angka 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 mengatur bahwa setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Pasal ini cukup memasukkan keterangan bahwa gubernur, bupati/wali kota adalah perseorangan sehingga memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 3 itu.
Saya akan mengambil dua saja pasal dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yang berkaitan dengan gubernur, bupati/wali kota. Sebagian Pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
Unsur menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 adalah setiap kewenangan yang melekat pada diri penyelenggara negara maupun pegawai negeri sipil. Kewenangan gubernur, bupati/wali kota dapat dilacak, misalnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Pasal lainnya dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 adalah Pasal 5 ayat (1) yang mengatur larangan bagi setiap orang untuk memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal ini dikenal oleh khalayak dengan pasal tentang suap. Dan suap adalah bagian dari korupsi.
Apakah KPK berwenang menangkap seseorang yang melakukan korupsi? Dalam UU No. 30/2002 ditemukan tiga pasal yang berkaitan. Pertama, Pasal 1 angka 1 yang pada pokoknya berbunyi, “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001.” Kemudian, Pasal 1 angka 2 berkata, “Penyelenggara negara adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28/1999.” Terakhir, Pasal 6 huruf c mengatur bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutuan terhadap tindak pidana korupsi. Tiga pasal ini sudah cukup menjadi dasar bahwa KPK berhak menangkap pelaku korupsi dari unsur gubernur, bupati/wali kota—sebagai bagian dari penyelenggara negara.
Setelah mengulas rentetan isi pasal di atas, pertanyaannya adalah, apakah KPK salah menangkap orang, sebagaimana pernyataan Fahri Hamzah bahwa kepala daerah itu tidak korupsi dan oleh karena itu KPK menyalahi undang-undang? Saya ambilkan beberapa keterangan yang dihimpun media massa mengenai alasan ditangkapnya kepala daerah.
Bupati Lampung Tengah ditangkap karena mengarahkan jajarannya untuk menyuap DPRD Lampung Tengah (Kompas.com, 16/02/2018). Bupati Subang Aryumningsih ditangkap karena diduga menerima suap atas pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang (Kompas.com, 19/02/2018). Sesuai dengan informasi itu, maka kemungkinan besar KPK akan menggunakan pasal tentang suap untuk menjerat Bupati Lampug Tengah dan Bupati Subang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 4, penjelasan Pasal 2 angka 6, Pasal 5 angka 4 UU No. 28/1999, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 31/1999 jo UU No. 2001, Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, dan Pasal 6 huruf c UU No. 30/2002, maka diambil tiga kesimpulan dasar dan satu kesimpulan utama. Tiga kesimpulan dasarnya adalah, pertama, korupsi termasuk juga suap.
Kedua, gubernur, bupati/wali kota dilarang menerima suap. Ketiga, KPK berhak menangkap gubernur, bupati/wali kota yang diduga menerima suap. Kesimpulan utamanya, karena itu, KPK tidak melanggar undang-undang. Dan kesimpulan-kesimpulan ini sangat berdasar dan tidak omong doang.
Lalu, di mana hubungan Novel Baswedan dengan definisi korupsi ini? Bagaimana pula kiprah Novel ke depan? Mengkeretkah nyalinya kini? Simak lanjutan serial tulisan ini.
Kolom terkait:
Semangat Novel Baswedan, Mendefinisikan Korupsi (II)