Mahkamah Agung menerbitkan peraturan Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi—selanjutnya ditulis Peraturan MA. Peraturan ini mendapatkan tentangan. Misalnya, keberatan datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani.
Setidaknya ada dua alasan keberatan itu. Pertama, korupsi cenderung lebih banyak berasal dari pemerintah. Kedua, pemerintah belum memberikan jaminan aman dan nyaman dalam menjalankan usaha (Kompas, 24/2/2017).
Meski Peraturan MA tersebut tak spesifik menyebut korporasi yang melakukan korupsi, namun pandangan umum—khususnya sektor bisnis—akan mengaitkannya dengan korporasi korup. Tentangan yang muncul itu wajar saja. Akan tetapi, patut pula disampaikan, di mana kiranya letak penting Peraturan MA tersebut?
Pelaku Kejahatan
Peraturan MA mengawali pertimbangan filosofisnya dengan menyebut dalam konsideran menimbang huruf a bahwa “… korporasi adakalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.” Kemudian dilanjutkan dalam konsideran menimbang huruf b-nya, “… korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability).”
Sementara lengkap sudah alasan mendasar diterbitkannya Peraturan MA. Korporasi dapat menjadi pelaku kejahatan. Sayangnya sulit tersentuh oleh hukum (baca: Bencana Asap dan Kejahatan Korporasi).
Hukum pidana Indonesia, dalam arti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, memang cenderung tak mengenal korporasi sebagai pelaku kejahatan. Baik dalam buku kedua KUHP tentang Kejahatan maupun buku ketiga KUHP tentang pelanggaran tak ditemukan kata korporasi. KUHP mengatur setiap pelaku kejahatan atau pelanggaran dengan frasa “barang siapa…”. Atau dalam pasal tertentu dengan frasa “setiap orang…” Tidak ada frasa “korporasi yang…” atau “setiap korporasi…”
Tidak adanya frasa “korporasi yang…” atau “setiap korporasi…” menyulitkan penegak hukum meminta pertanggungjawaban hukum ke korporasi. Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat, misalnya, memperkenalkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat beracara di pengadilan melalui Securities Act of 1993. Korporasi dapat meminta dan diminta pertanggungjawabannya dalam ranah perdata. Pendek kata, korporasi seharusnya tidak asing lagi untuk dibebani hak dan kewajiban, sehingga ia dapat meminta dan diminta pertanggungjawaban hukumnya.
Peraturan MA mendefinisikan korporasi dalam Pasal 1 angka 1 dengan kalimat, “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Sejenak, setiap kumpulan orang yang lazim dikenal dengan yayasan dan kumpulan kekayaan yang lazim disebut dengan perusahaan beserta setiap variannya masing-masing dari kumpulan orang atau kekayaan tersebut dapat dianggap sebagai korporasi.
Sayangnya, di pasal selanjutnya dalam bab tentang Ketentuan Umum, Peraturan MA mengerdilkan pengertian korporasi hanya di seputar konsep perusahaan belaka. Bagaimana, misalnya, tata cara penanganan partai politik yang diduga melakukan kejahatan korupsi? Apakah Peraturan MA dapat menjangkaunya?
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap Peraturan MA, apabila ingin dispesifikasi dalam lingkup menjerat perusahaan, alangkah baik jika judul peraturannya adalah “Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Perusahaan” saja.
Karakteristik Korporasi
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2013 melakukan riset tentang pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi. Penelitian itu berangkat dari studi tentang kejahatan kerah putih (white collar crime). Sama dengan pandangan umum, Pukat UGM juga mengkhususkan definisi korporasi lebih condong ke perusahaan. Dengan perkembangan mutakhir, misalnya dalam konteks menjerat partai politik yang korup, kajian ini perlu mendapatkan revisi ulang.
Namun demikian, hal penting yang tetap relevan untuk mengkaji penjeratan korporasi yang terdapat dalam penelitian Pukat UGM tersebut adalah informasi mengenai karakteristik umum korporasi. Ada tiga karakteristik untuk dapat disebut sebagai korporasi. Pertama, legal personality. Kedua, limited liability. Ketiga, delegated management.
Karakteristik personalitas hukum (legal personality) dengan kalimat sederhana dimaknai sebagai harus ada legalitas yang tegas tentang kumpulan orang atau kekayaan. Korporasi harus diatur dapat digugat atau dapat menggugat setiap subjek hukum di dalam korporasi tersebut. Selain itu, legalitas tersebut juga harus menjamin korporasi untuk dapat menggugat atau digugat oleh pihak ketiga di luar korporasi.
Kemudian, karakteristik kewajiban terbatas (limited liability) mengindikasikan masing-masing subjek hukum dalam korporasi dan korporasi itu sendiri mempunyai tanggung jawab yang jelas atas aset yang dimiliki. Setiap subjek hukum dalam korporasi menguasai asetnya sendiri dan korporasi menguasai asetnya sendiri. Keduanya tidak dapat dicampur-adukkan.
Karakteristik umum berikutnya, delegated management, mewajibkan adanya pembagian manajemen yang tegas di dalam korporasi. Dalam konteks perusahaan, harus ada struktur komisaris, direksi, dan tim manajemen. Dalam ruang partai politik, contohnya, harus ada ketua, sekretaris, bendahara atau posisi lain yang mengindikasikan pembagian tugas tertentu.
Dengan tiga karakteristik umum korporasi itu, maka akan lebih mudah menemu-kenali apakah kumpulan orang atau kekayaan adalah korporasi atau bukan. Tatkala ada kumpulan orang atau kekayaan yang memiliki akta pendirian—dalam objek tertentu seperti perusahaan atau partai politik ditambah dengan akta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, ada pemisahan aset, serta terdapat struktur kepengurusan—maka apa pun bentuk kumpulan orang atau kekayaan tersebut, dapat dianggap sebagai korporasi.
Demikian, semoga informasi tentang karakteristik umum korporasi itu dapat menjadi referensi tambahan untuk menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana.
Baca juga: