Jumat, April 26, 2024

Menjaga Pancasila tanpa Melanggar Hukum

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Pengunjuk rasa dari sejumlah ormas Islam melaksanakan salat zuhur di sela-sela aksi di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (24/10). Mereka menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang Ormas. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) beberapa waktu lalu bukan titik akhir segala pro kontra yang ada sejak Perppu ini diterbitkan. Kenyataannya, pro kontra semakin luas, selain juga munculnya banyak spekulasi liar atas tujuan diterbitkannya dan disahkannya Perppu ini menjadi UU. Tetapi, mengatakan bahwa otoritarianisme akan kembali berjaya adalah terlalu mengada-ada.

Pertama, yang perlu disadari bersama bahwa ancaman terhadap eksistensi Pancasila, sebagai ideologi bangsa ini, memang nyata. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya usaha untuk menegasikan Pancasila dalam urusan-urusan kebangsaan dan kenegaraan kita. Pihak-pihak intoleran, fanatik religius, maupun kelompok radikal terang-terang muncul menjadi fenomena yang sekarang ini, di seluruh dunia, makin berani menantang tatanan dan kesatuan sebuah bangsa. Indonesia termasuk salah satunya.

Tulisan ini tidak ingin memperdebatkan relevansi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Jelas masih banyak yang masih meyakini bahwa Pancasila adalah paham bernegara yang sangat cocok untuk Indonesia. Keberagaman Indonesia bisa bertahan sampai saat ini, tidak bisa ditolak, karena bangsa Indonesia masih mau mempertahankan Pancasila.

Namun, fakta bahwa ada saja yang ingin mengganti Pancasila dengan paham lain juga tidak bisa ditolak. Alam demokrasi memang memungkinkan kebebasan untuk itu. Dan untuk menangkal “pengkhianatan Pancasila terselubung” inilah, pemerintah merasa perlu tegas bertindak melalui Perppu Ormas.

Ketegasan ini wajar, semata demi melindungi negara besar ini. Namun, apakah ketentuan dalam Perppu yang sudah menjadi UU Ormas ini, terutama untuk mekanisme pembubaran suatu ormas, sudah tepat?

Persoalan Dasar

Kontra yang paling mengemuka terhadap UU Ormas baru ini adalah dihilangkannya proses pengadilan dalam memutuskan apakah suatu ormas bertentangan, melawan, ingin mengganti Pancasila. Pemerintah “mempersingkat” prosedur penjatuhan sanksi bagi ormas-ormas itu dengan menggunakan prinsip contrarius actus dalam hukum administrasi negara. Prinsip ini memungkinkan pejabat tata usaha negara menarik kembali keputusan administrasinya yang sudah dikeluarkan.

Penggunaan prinsip ini tidak serta-merta bisa menjadi dasar. Sebab, dalam hal pembubaran ormas, ada hak organisasi (tentu termasuk semua anggotanya) yang semata dilanggar atas pandangan sepihak pemerintah: mereka bertentangan dengan Pancasila! Pemerintah juga seakan menjadi penafsir tunggal atas Pancasila yang mengingatkan kita pada kekuasaan pemerintahan Orde Baru (vide Pasal 61 UU Ormas). Padahal, penafsiran tunggal Pancasila adalah ancaman terhadap Pancasila itu sendiri.

Dalam konteks hukum, prinsip ini jadi bermasalah karena tidak memungkinkan mereka untuk memberikan kontra argumen terhadap argumentasi pemerintah yang seharusnya memang diberikan negara. Untuk itu, UU Ormas ini bukan menyelesaikan masalah, namun berpotensi menciptakan masalah hukum baru.

Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, penjatuhan hukuman terhadap suatu tindakan pelanggaran harus melalui prinsip-prinsip hukum yang semestinya dan justru tidak dengan melakukan pelanggaran hukum lainnya. UU Ormas ini menjadi lemah justru karena meniadakan proses peradilan yang seharusnya justru dijamin.

Peniadaan proses peradilan bagi ormas, meskipun karena dugaan bertentangan dengan Pancasila adalah pelanggaran hukum yang, sekurang-kurangnya, melanggar empat prinsip dasar: Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), due process of law dalam sistem hukum pidana, jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan penegakan demokrasi. Empat prinsip dasar ini jadi dipertanyakan ketika UU Ormas meniadakan pengadilan di dalam pengaturan penjatuhan sanksi.

Segala pro kontra harus dihentikan agar energi tidak melulu habis untuk hal yang itu-itu saja. Beberapa pihak akan atau sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Harapan besar diletakan pada panel hakim MK dalam memutus, agar tetap mewajibkan UU Ormas memuat proses peradilan dalam tahap penjatuhan sanksi.

Dalam rentang waktu sebelum MK menjatuhkan putusan, pemerintah menyatakan siap untuk melakukan revisi atas UU Ormas ini. Dan harapan yang sama pada pemerintah adalah kembali memasukkan klausul perlunya proses pengadilan atas dugaan adanya ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini untuk menjamin bahwa prinsip due process of law tidak dilupakan begitu saja.

Pertanyaan lanjutannya, bagaimana pengadilan (hakim khususnya) juga dapat menetapkan suatu ormas bertentangan Pancasila atau tidak? Bukankah dengan begitu kita juga akan menempatkan pengadilan (dalam hal ini hakim) sebagai penafsir tunggal Pancasila? Yang lain, bukankah dengan prinsip “kebebasan hakim” akan potensial terjadi macam-macam penafsiran atas Pancasila dalam kasus-kasus terkait ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila?

Misalnya, saat dikabarkan ada hakim yang dengan terbuka menyatakan dukungan pada eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ormas yang oleh pemerintah dibubarkan karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Bukankah contoh ini menandakan bahwa masing-masing hakim pun memiliki subyetivitasnya sendiri, termasuk dalam menafsir Pancasila?

Due Process of Law

Untuk itu, dalam revisi UU Ormas ke depan, perlu diperhatikan bagaimana Pancasila “dibahasakan” secara lebih konkret. Pertama, agar setiap tindakan penjatuhan sanksi bagi ormas yang diduga melanggar lebih terukur dan memiliki batasan yang tegas, UU Ormas lebih baik fokus untuk merinci tindak-tindak pidana yang berpotensi dilakukan ormas dan melanggar hukum serta mengancam kehidupan bermasyarakat.

Delik-delik tindak pidana ini dapat berupa ketentuan dalam KUHP, UU terkait, dan semua peraturan di bawahnya, maupun pengaturan baru atas tindak pidana yang belum diatur. UU Ormas akan lebih efektif ditegakkan jika ia mengatur secara jelas tindakan ormas yang dapat dikategorikan dengan “bertentangan dengan Pancasila”.

Kedua, Pancasila adalah nilai-nilai dinamis yang universal. Maka, penafsirannya sangat luas dan cenderung subyektif. Hal ini tidak mengatakan bahwa Pancasila bisa serta-merta dijadikan pembenaran atas semua tindakan, namun tidak mungkin adanya monopoli penafsiran atas Pancasila. Karena sifatnya yang begitu luas, Pancasila, dalam konteks penegakkan hukum, harus dibahasakan lebih konkret.

Sejauh tindakan-tindakan itu melanggar, mengancam, menghasut untuk melakukan kejahatan, mengganggu ketertiban umum, maka tindakan-tindakan itu termasuk bertentangan dengan Pancasila. Setiap tindakan ini, misalnya ormas tertentu melakukan demonstrasi anarkistis, mengancam kelompok masyarakat lain, membuat keributan dengan dasar kebencian atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), maka pemerintah dapat bertindak, tanpa harus mengabaikan proses pro justitia.

Bahwa negara wajib menjaga ideologi bangsa Pancasila, termasuk UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan nilai-nilai dalam masyarakat, memang perlu. Kita tidak bisa membiarkan segala tindakan yang sewenang-wenang mau mengganti ideologi bangsa, mengancam persatuan dan kesatuan, intoleran, radikal bertumbuh di Indonesia. Dalam konteks itu, negara memang harus bertindak tegas agar bangsa ini tidak jadi kacau balau.

Namun, perlu dicatat, negara perlu memperhatikan dan mengingat dirinya sebagai negara dengan supremasi hukum (due process of law) yang menjaminan penghormatan atas hak asasi manusia dan penegakan nilai-nilai demokrasi. Di sini, negara perlu bertindak seimbang dan jangan sepihak. Kendati ormas perlu dibubarkan karena bertentangan dengan Pancasila, hal itu harus dilakukan dalam proses peradilan yang independen, adil, jujur, dan imparsial, yang menjadi ciri khas sebuah negara hukum.

Jika dalam UU Ormas kelak dilakukan revisi untuk menjamin hak-hak yang seimbang dari seluruh pihak (mengingat ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila pun adalah warga negara Indonesia), maka kita dapat menjaga Pancasila, tanpa harus melanggar eksistensi dan harga diri kita sebagai sebuah negara hukum.

Kolom terkait:

Menyikapi UU Ormas secara Proporsional

UU Ormas dan Pedang Keadilan Kenshin

Kerugian Konstitusional Setelah Perppu Ormas Disetujui

Perppu Ormas, Islam, dan Pancasila

Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.