Usia pemerintahan di bawah rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi – JK) sedang menuju tahun ke-4 (2014 – 2018). Ini artinya waktu yang tersisa untuk menyelesaikan agenda dalam Nawacita hanya tersisa kurang dari 2 (dua) tahun hingga Pemilihan Umum 2019. Dalam konteks Nawacita antikorupsi, rezim ini tentu memiliki agenda antikorupsi yang mesti diselesaikan.
Jika menggunakan instrumen Corruption Perception Index (CPI), maka kita bisa melihat bagaimana upaya pemerintah untuk menggerek posisi Indonesia dari jajaran negara-negara paling korup di dunia. Penilaian ini tentu bukanlah satu-satunya alat ukur yang dipakai untuk menilai kinerja pemerintah, namun setidaknya ini bisa digunakan sebagai salah satu pembanding untuk menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi.
Di tahun 2017 Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman, kembali merilis CPI yang menempatkan Indonesia dengan skor 37 (skala 0 – 100) dan berada di peringkat 96 dari 180 negara yang dinilai (22/2). Posisi ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara Colombia, Brazil, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia. Bahkan posisi negara baru seperti Timor Leste lebih baik dari Indonesia dengan memperoleh skor 38 dengan peringkat 91.
Jika dilacak kebelakang, peringkat Indonesia di bawah rezim Jokowi – JK hanya beranjak 1 (satu) poin dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, yaitu tahun 2015 dengan skor 36, tahun 2016 dengan skor 37, dan tahun 2017 stagnan di skor 37.
Nawacita Antikorupsi
Pelambatan dan stagnasi kenaikan skor CPI Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menjadi catatan yang dinilai sebagai faktor dominan.
Pertama, reformasi sektor politik. Hal ini merupakan salah satu agenda utama Jokowi – JK melalui perubahan tata kelola politik melalui perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik yang meliputi penguatan sistem kaderisasi, rekrutmen dan pengelolaan keuangan. Namun, jika ditelisik dalam kurun waktu tahun 2015 – 2018, agenda perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik tidak pernah menjadi agenda prioritas dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Belakangan kemudian muncul revisi UU MD3 yang disahkan oleh DPR dan pemerintah yang justru menciptakan impunitas bagi anggota DPR. Bahkan dalam perubahan undang-undang tersebut juga muncul pasal pidana bagi setiap orang yang dinilai merendahkan martabat anggota DPR.
Hal ini tentu bertentangan dengan agenda Nawacita untuk menciptakan check and balances di antara lembaga-lembaga negara sekaligus mengubur ruang partisipasi dan kontrol publik. Yang terjadi justru kompromi politik antara DPR dan pemerintah dengan mengorbankan hak-hak publik.
Kedua, reformasi sektor hukum, khususnya dari sisi kelembagaan dan regulasi antikorupsi. Isu utama yang kemudian menimpa lembaga antikorupsi adalah upaya kriminalisasi dan penganiayaan terhadap pimpinan/penyidik/pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di lain pihak, secara politik KPK dijadikan sasaran hak angket oleh DPR. Atas seluruh peristiwa ini, presiden dinilai ragu dan lamban dalam merespons situasi tersebut dan cenderung mengulur-ulur waktu. Bahkan terkait hak angket KPK, presiden seolah merestui upaya politik yang mengobok-obok KPK.
Sebaliknya muncul regulasi dalam pembahasan undang-undang di DPR yang mereduksi upaya pemberantasan korupsi. Misalnya, di dalam RUU KUHP muncul pasal-pasal tindak pidana korupsi, padahal ketentuan tersebut sudah diatur tersendiri didalam UU Tipikor (UU 31/1999 jo UU 20/2001).
Problem di sektor politik dan hukum inilah yang kemudian disebut dalam CPI sebagai faktor yang memperlambat kenaikan skor. Walaupun banyak penindakan yang dilakukan oleh KPK tetapi masih mendapatkan hambatan dari pemerintah dan parlemen. “This slight improvement could stem from the work of Indonesia’s leading anti-corruption agency in taking action against corrupt individuals, despite strong opposition from the government and parliament” (https://www.transparency.org/news/feature/slow_imperfect_progress_across_asia_pacific)
Ketiga, ada perbaikan dalam tata kelola ekonomi. Di dalam salah satu survei penyusun CPI, yaitu World Economic Forum (WEF) ada kenaikan signifikan terhadap skor Indonesia. Hal ini tentu diafirmasi di antaranya melalui beberapa kebijakan dan regulasi terkait reformasi perizinan.
Namun, tentu saja problem dalam konteks tata kelola ekonomi masih terus dibayangi oleh praktik korupsi, khususnya yang terkait dengan hubungan bisnis dan politik. Sebab, dalam banyak kasus korupsi yang terjadi pelakunya mayoritas adalah pebisnis dan politisi. Ada hubungan yang saling menguntungkan ketika politisi menikmati keuntungan dari praktis bisnis yang korup.
Terakhir, Presiden tentu masih punya waktu hingga tahun 2019 untuk menuntaskan seluruh agenda Nawacita antikorupsi tersebut. Presiden masih punya waktu untuk mendukung dan memperkuat KPK, menolak regulasi/UU yang melemahkan pemberantasan korupsi, menginisiasi perbaikan regulasi sektor politik, menghentikan kasus-kasus kriminalisasi, sembari menata tata kelola ekonomi yang antikorupsi.
Jika ini tidak dituntaskan, maka rezim ini tidak hanya akan menanggung beratnya beban elektoral, tetapi juga akan mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih besar.
Kolom terkait:
Korupsi 2015: Nawacita Jokowi Menjadi Dukacita
Agar Presiden “Lebih Berkeringat” [Dua Tahun Pemerintahan Jokowi]