Diam-diam senyap. Mungkin itulah ungkapan yang perlu disematkan kepada lembaga terhormat pemeriksa keuangan (the honorable financial audit) BPK hari ini. Institusi pemeriksa keuangan yang sering ditakuti oleh sejumlah penyelenggara negara pada tiap semester tahun anggaran ini tampaknya tidak juga resisten dan independen dalam menjalankan fungsinya.
Buktinya, beberapa hari lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersandung batu kerikil besar dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap 2 (dua) Auditor Utama Keuangan Negara III BPK beserta salah satu orang stafnya. Para Auditor ini diduga terlibat penyalahgunaan wewenang dalam dugaan kasus suap pemberian predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2016 terhadap Inspektur Jenderal pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI.
Penyimpangan oleh lembaga pengawas keuangan negara ini menambah deretan masalah dalam sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di Indonesia. Sebab, selama ini yang menjadi sorotan dann viral terhadap bobroknya sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di Indonesia antara lain “hanya” tidak efisiennya penyelenggara negara (baca: eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menggunakan anggaran negara, maraknya praktik penyalahgunaan anggaran di setiap instansi penyelenggara negara yang berujung korupsi.
Selain itu, rendahnya penyerapan anggaran di setiap akhir tahun anggaran disebabkan takutnya pejabat pemerintahan terjebak dalam jeratan korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Padahal, keberadaan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan independen yang dijamin konstitusi (constitutional organ) melalui Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki fungsi yang sangat urgen dalam rangka memerangi praktik-praktik penyimpangan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang justru hampir membangkrutkan bangsa indonesia.
Tingginya tingkat penyelewengan keuangan negara pada masa lalu yang masih terus simultan hingga saat ini, salah satunya karena sistem pemeriksaan keuangan negara (terutama yang dilakukan BPK) tidak berjalan maksimal. Akibatnya, praktik invisible hands semakin lama semakin menjamur. Pasalnya, keuangan negara yang seharusnya dikelola dan dipertanggungjawabkan demi kepentingan rakyat menjadi bancakan para koruptor, sementara kondisi rakyat lambat-laun semakin memprihatinkan, kemiskinan semakin merajalela, serta pendidikan dan kesehatan semakin terpuruk.
Sayangnya, posisi konstitusional BPK yang diharapkan selama ini oleh publik dengan desain sebagai penyeimbang eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pertanggungjawaban keuangan negara mengalami periode turbulensi. Menurut saya, perkara predikat opini sebagai rewards bagi penyelenggara negara dalam mempertanggungjawabkan keuangan negara yang berbasis good financial governance and performance budgetting dinilai tidak efektif lagi.
Rewards seakan menjadi mahar untuk menggolkan kementerian/lembaga (K/L) meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) melalui transaksi haram. Stigma lain yang mungkin timbul adalah rewards dalam perspektif penyelenggara negara tak lagi sebagai ajang pemacu semangat untuk mewujudkan laporan keuangan yang baik dan bersih, tetapi sudah bergeser sebagai “alat pajang” bagi K/L bahwa dari segi pelaporan keuangan instansinya sudah meraih WTP dari BPK.
Pendeknya, stigma tersebut menginfeksi bagi kebanyakan oknum penyelenggara negara sebagai bahan pencitraan terhadap lembaga. Padahal, banyak instansi yang sudah meraih WTP dari BPK tiap tahunnya, tapi faktanya juga mendapatkan cap ‘PTW (Perbuatan Tidak Wajar)’ dari masyarakat.
Misalnya, manjamurnya korupsi di instansi K/L, tidak terselenggaranya program prioritas pembangunan di instansi K/L, dan rendahnya daya serap anggaran. Jika ditelisik, mekanisme kerja BPK dalam mengaudit keuangan negara sehingga dapat memberikan opini kepada K/L terbilang sederhana, harus melalui 2 (dua) pemeriksaan.
Pertama, pemeriksaan keuangan (financial audit), yaitu pemeriksaan dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
Kedua, pemeriksaan kinerja (performance audit), yaitu pemeriksaan obyektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk meningkatkan bobot pertanggungjawaban atau akuntabilitas.
Dan satu lagi pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian pemerintah.
Dengan 2 (dua) model pemeriksaan itu, BPK seharusnya menjalankan fungsinya secara efektif dan menjaga integritasnya sebagai auditor independen. Hanya saja kelemahan yang tampak hari-hari ini adalah sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) yang terus digadang-gadangkan, tetapi pada saat pertanggungjawaban hanya berbasis pada laporan keuangan. Tanpa melihat laporan kinerjanya, serta belum terlaksananya pengakuan dan pengukuran anggaran dan belanja negara berbasis akrual.
Sebagai lembaga yang memiliki supremasi hukum dalam memeriksa keuangan negara, BPK seharusnya berada di garda terdepan dalam menindak dan mengawasi kelemahan-kelemahan tersebut. Dengan demikian, tata kelola dan tanggung jawab keuangan negara bisa dikembalikan kepada khittahnya. BPK akan kehilangan marwahnya jika fungsi yang dijalankan tersebut diperjualbelikan kepada oknum penyelenggara negara. BPK seakan kembali kepada rezim Orde Baru jika transaksi gelap tersebut masih mengganjal di tubuhnya.
Apakah BPK Perlu Diawasi?
Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) menjelaskan bahwa BPK menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD, DPRD, Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota, serta kepada instansi yang berwenang apabila terdapat unsur pidana. Di samping itu, pertanggungjawaban kerja BPK juga diatur dalam Pasal 32 dan 33 UU BPK.
Jika mencermati rumusan Pasal 32 UU BPK, pengelolaan keuangan tahunan BPK diaudit oleh kantor akuntan publik sebagaimana ditunjuk DPR. Meskipun penunjukan kantor akuntan publik oleh DPR itu dilakukan untuk menjaga checks and balances antar lembaga negara, ketentuan itu bisa berujung saling sandera antara BPK dan DPR. Apalagi DPR yang notabene bermuatan politik berpotensi pula melakukan penyimpangan pengelolaan keuangan negara.
Karena itu, pucuk persoalan tersebut dapat dijawab dengan ketentuan Pasal 33 UU BPK yang mengatur soal jaminan mutu pengelolaan BPK, sekaligus menerapkan sistem pengawasan terhadap internal BPK yang diterpa isu korupsi akhir-akhir ini. Menurut ketentuan tersebut, standar yang disepakati bersama oleh perhimpunan lembaga-lembaga audit tertinggi internasional (International Organisation of Supreme Audit Institutions/INTOSAI’s) menjelaskan bahwa mutu kerja lembaga audit negara harus diperiksa oleh lembaga audit dari negara lain.
Berdasarkan ketentuan itu, semestinya untuk memudah proses pemeriksaan pengelolaan keuangan BPK dapat diserahkan kepada organisasi INTOSAI’s lainnya atau diserahkan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh lembaga independen lainnya seperti KPK dan/atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Apalagi, melihat kondisi kekinian yang melanda BPK, penyalahgunaan wewenang terhadap pemberian WTP kepada penyelenggara negara yang berbau suap tidak hanya satu kasus ini saja. Bisa jadi masih banyak kasus lain di belakang sana, yang bermotif sama, yang dilakukan oknum auditor BPK yang sengaja memperjualbelikan rewards tersebut yang belum terungkap KPK.
Untuk itu, demi mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN di tubuh BPK, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK sepanjang tahun 2015-2016 ini perlu ditinjau ulang oleh INTOSAI’s. Bisa jadi dari LHP yang diperiksa auditor BPK terdapat penyimpangan dan kejanggalan dalam pemberian predikat terhadap penyelenggara negara.
Kita berharap kasus ini menjadi kasus pertama dan terakhir bagi BPK. Jangan sampai auditor di Indonesia dicap sebagai koruptor “mafia rewards”. Sebab, hal ini akan menjadi preseden buruk terhadap sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di Indonesia.