Kamis, April 25, 2024

Korupsi, Korporasi, dan Pencemaran Lingkungan

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Sebagai warga Kendari, Sulawesi Tenggara, saya terperanjat sembari mengernyitkan dahi ketika membaca Kompas edisi Senin, 6 November 2017. Kompas mewartakan bahwa pencemaran lingkungan menjadi salah satu ekses negatif dari aktivitas pertambangan nikel di Sultra. Imbasnya, warga sekitar area pertambangan rentan terkena penyakit. Selain itu, warga yang menggantungkan hidupnya dari sektor tradisional seperti perikanan akhirnya ikut merana.

Bila ditarik ke belakang, euforia pertambangan di Sultra mencapai titik kulminasinya pada tahun 2008. Saat itu Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang kewenangannya masih berada di tangan Bupati/Walikota banyak diterbitkan. Secara kuantitas data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra menyebutkan bahwa total terdapat 389 IUP. Dari jumlah itu, sebanyak 196 adalah IUP nikel, yang masih terbagi dua: 188 IUP produksi dan 8 IUP eksplorasi.

Ironisnya, mayoritas korporasi tambang pemegang IUP lari meninggalkan gelanggang usahanya pasca eksploitasi dan produksi. Seolah-olah tidak ada tanggung jawab moril dan sosial kepada masyarakat sekitar. Pemerintah daerah pun seperti tidak berdaya melihat kelakuan korporasi yang demikian.

Sampai tulisan ini dibuat, sependek pengetahuan saya, baru satu korporasi tambang pemegang Kontrak Karya (KK) yang diproses hukum hingga tuntas karena dugaan pencemaran lingkungan, yakni PT Newmont Minahsa Raya di Sulawesi Utara (2005-2007). Apakah sebetulnya yang sedang terjadi dan bagaimana pula penyelesaiannya?

IUP Beraroma Korupsi

Bisingnya arus pertambangan di Sultra seakan-akan menjadi tiket kepada bupati di beberapa daerah untuk jor-joran mengeluarkan IUP. Ada ratusan IUP yang terbit kala itu. Tidak peduli dari mana korporasi itu berasal dan bagaimana ia bisa dipercaya mampu mengelola usahanya, sehingga tidak mencemari lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.

Komisi Permbarantasan Korupsi (KPK) bahkan pernah melakukan koordinasi dan supervisi (Korsup) mineral dan batu bara di Sultra tahun 2014. Kala itu dikomandoi oleh Bambang Widjojanto selaku pimpinan KPK. Hal ini dilakukan sebab KPK mencium aroma suap dalam penerbitan berbagai IUP. Maka, salah satu rekomendasi KPK adalah memerintahkan beberapa bupati, termasuk gubernur Sultra, agar mencabut berbagai IUP yang dianggap bermasalah karena melanggar aturan.

Dugaan KPK kemudian menemukan pembenaran empirik setelah mantan Gubernur Sultra Nur Alam ditersangkakan oleh KPK karena menerbitkan IUP yang melanggar aturan. Kala itu ada dua IUP, yaitu SK persetujuan IUP eksplorasi dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

Perusahaan tersebut menambang nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra. Dalam penerbitan IUP itu, KPK mencium aroma suap dari korporasi PT Billy Indonesia yang berafiliasi dengan PT AHB ke Nur Alam (Kompas, 5 Juli 2017).

Tidak berselang lama, KPK kembali mentersangkakan pejabat lain di Sultra, yakni mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman. Aswad diduga menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi terkait pemberian IUP eksplorasi, eksploitasi, serta izin produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014 (Kompas, 3 Oktober 2017).

Kedua kasus tersebut sedikit banyak cukup meyakinkan kita bahwa penerbitan IUP di Sultra mengandung banyak masalah. Ada kongkalingkong yang rapi antara korporasi dengan bupati atau gubernur. Tidak mengherankan ketika melakukan eksploitasi dan produksi, perusahaan tambang justru terkesan ugal-ugalan sehingga merusak lingkungan. Alhasil, warga dan masyarakat yang menjadi korbannya.

Kejahatan Korporasi

Dalam perspektif hukum pidana, pencemaran lingkungan adalah salah satu bentuk tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Pelaku tindak pidananya kemudian diperjelas pada Pasal 1 butir 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPH). Di sana disebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

Itu artinya, peraturan a quo, secara ekspressive verbis mengakui bahwa pelaku tindak pidana lingkungan hidup bisa manusia tetapi bisa juga korporasi. Ketika korporasi melakukan pencemaran lingkungan, maka terjadilah kejahatan korporasi (corporate crime). Karena itulah, UUPPLH mengenalkan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal libility) pada Pasal 116.

Pertanyaan kemudian adalah apakah kejahatan korporasi itu? John Braithwaite dalam Corporate Crime in the Pharmaceutical Industry (1994:6) menyebut kejahatan korporasi sebagai perilaku perusahaan atau karyawan yang bertindak atas nama perusahaan yang dilarang dan diancam dengan sanksi hukum.

Disebut juga sebagai kejahatan korporasi  ketika pengurus menggunakan korporasi atau infrastrukturnya atau aset untuk melakukan kejahatan sehingga memberikan keuntungan kepada korporasi (Amitai Etzioni, & Derek Mitchell, 2007:187). Dengan demikian, kejahatan korporasi lebih condong pada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi atau pengurusnya untuk kepentingan korporasi itu sendiri.

Bertalian dengan itu, dalam konteks korporasi tambang nikel di Sultra, yang diduga telah melakukan pencemaran lingkungan, kita dapat melihatnya dalam dua segi. Segi pertama, berpijak pada kebijakan internal korporasi bertalian dengan pembuangan limbah dan prosedur eksplorasi selama ini. Dari situ kita akan melihat bagaimana karyawan bekerja dan bertindak atas nama korporasi.

Segi kedua, jika kebijakan korporasi memungkinkan karyawan melakukan pelanggaran hukum berupa pencemaran lingkungan, maka pada titik itu terjadilah kejahatan korporasi. Di sinilah kita mengenal term crimes for corporation atau kejahatan untuk korporasi. Dalam hal ini corporate crime are clearly commited for the corporate, and not against (Richard D. Hartley, 2008:4).

Tanggung Jawab Pidana Korporasi

Secara normatif, tanggung jawab atau sanksi bagi korporasi dalam pencemaran lingkungan terdiri atas tiga aspek. Pertama, tanggung jawab administrasi. Kedua, tanggung jawab keperdataan. Ketiga, tanggung jawab pidana.

Khusus mengenai tanggung jawab pidana, dalam penejelasan umum butir 6 UUPPLH diuraikan bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan sanksi administrasi tidak berhasil. Ditegaskan juga bahwa prinsip ultimum reemdium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pelanggaran baku mutu air, limbah emisi dan gangguan.

Merujuk pada peraturan a quo, maka secara a contrario dapat dikatakan bahwa selain pelanggaran baku mutu air, limbah emisi dan gangguan maka posisi hukum pidana tidak selamanya sebagai ultimum remedium tetapi bisa saja bergeser menjadi primum remedium atau upaya pertama. Misalnya, dalam konteks tindak pidana membuka lahan dengan cara membakar.

Masih mengenai tanggung jawab korporasi, ketika tejadi pencemaran lingkungan, maka untuk mengidentifikasi peran korporasi adalah melalui pelanggaran hukum yang dilakukan oleh karyawan. Dalam hal ini dengan merujuk pada kebijakan internal korporasi yang memungkinkan karyawan bertindak atau berperilaku atas nama korporasi sehingga memberi keuntungan kepada korporasi.

Atas dasar itu, dalam teori korporasi dikenal directing mind and will atau personil pengendali korporasi. Lazimnya posisi ini diisi oleh direktur atau manajer korporasi. Dengan demikian, kesalahan (mens rea) baik berupa kesengajaan maupun kelalaian personil pengendali menjadi kesalahan korporasi itu sendiri (Jan Remmelink, 2003:109).

Demikian pula kesalahan karyawan dianggap sebagai kesalahan personil pengendali. Secara teori hal ini disebut sebagai pertanggungjawaban pidana pengganti (vicariuos liability). Artinya, seseorang tanpa salah bertanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (Clarkson & Keating, 2003:248)

Dalam konteks pencemaran lingkungan oleh korporasi tambang nikel di Sultra, maka tanggung jawab pidananya ditujukan kepada korporasi dan direktur atau manjernya. Penting diketahui bahwa keberadaan tanggung jawab pidana ini masih ditentukan oleh kepatuhan korporasi terhadap sanksi administrasi.

Dalam hal ini, seharusnya pemerintah daerah terlebih dahulu memberi sanksi administrasi, misalnya paksaan pemerintah berupa rehabilitasi lahan sebagai upaya pemulihan lingkungan. Apabila sanksi administrasi masih tidak dipatuhi juga, maka sanksi pidana dapat diberlakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 78 UU PPLH.

Kolom terkait:

Korporasi di Balik Mega Skandal Korupsi Sanusi

Korupsi, Korporasi, dan KPK

Menagih Jokowi Menersangkakan Korporasi

Bencana Asap dan Kejahatan Korporasi

Saatnya Jokowi Memperkuat AMDAL, demi Masyarakat dan Lingkungan

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.