Sabtu, April 20, 2024

Kontroversi Pemberhentian Sementara Ahok

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2). Persidangan kesepuluh tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengagendakan menghadirkan empat saksi ahli. ANTARA FOTO/Pool/Ramdani/kye/17.
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2). ANTARA FOTO/Pool/Ramdani.

Atas alasan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak ditahan dan didakwa secara alternatif, sejumlah pakar mengemukakan, pemberhentiannya untuk sementara waktu sesuai Pasal 83 ayat (1) UU No. 23/2014 tergantung diskresi Presiden. Diberhentikan atau tidak, sepenuhnya menjadi hak yang bersifat opsional bagi Presiden. Benarkah demikian? Benarkah bentuk dakwaan yang dipilih jaksa penuntut umum (JPU) dapat digunakan sebagai alasan menyatakan pemberhentian sementara sebagai diskresi?

Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi didefinisikan sebagai Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Adapun lingkup diskresi yang dapat diambil pejabat pemerintahan sesuai UU tersebut mencakup empat hal, yaitu (1) pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
(2) pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
(3) pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan (4) pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Sesuai definisi dan lingkup diskresi di atas, dapat dipahami bahwa tidak akan ada diskresi bila UU tidak memberi pilihan, UU telah mengatur secara lengkap dan jelas, dan tidak terjadi stagnasi pemerintahan.

Dalam kasus Ahok, objek yang akan dinilai apakah dapat diputus menggunakan diskresi atau tidak adalah pemberhentian sementara karena berstatus terdakwa, bukan dakwaan JPU. Selanjutnya mari kita periksa satu persatu dari empat lingkup diskresi yang mungkin diterapkan tersebut.

Pertama, apakah pemberhentian sementara merupakan keputusan yang bersifat opsional oleh UU untuk memutusnya? Bila Pasal 83 ayat (1) UU Pemda dibaca seksama, sama sekali tidak tersedia pilihan selain memberhentikan kepala daerah yang berstatus terdakwa untuk sejumlah jenis tindak pidana yang ditentukan. Terkait hal itu, satu-satunya keputusan yang harus diambil adalah memberhentikan sementara Ahok karena statusnya.

Kedua, apakah pemberhentian sementara kepala daerah yang berstatus terdakwa tidak diatur UU atau tidak diatur jelas? Jawabannya sudah pasti, UU telah mengatur secara jelas jenis tindak pidana yang apabila kepala daerah didakwa dengan itu, ia akan diberhentikan sementara waktu.

Termasuk juga mengenai maksud pidana penjara paling singkat 5 tahun, juga sudah sangat terang. Tidak perlu ada penafsiran lain terhadap frasa “paling singkat” karena secara letterlijk ketentuan tersebut sudah jelas sebagaimana saya ulas pada Polemik Pemberhentian Ahok

Ketiga, apakah terjadi stagnasi pemerintahan yang membolehkan munculnya diskresi untuk tidak memberhentikan Ahok sementara waktu? Hal ini pun tidak terpenuhi, sebab tak ada stagnasi pemerintahan di DKI Jakarta. Kalaupun Ahok diberhentikan sementara, masih ada Wakil Gubernur yang akan menjalankan roda pemerintahan.

Dengan fakta-fakta demikian, sama sekali tidak tersedia ruang diskresi dalam pemberhentian sementara Ahok.

Lebih jauh, ranah pelaksanaan diskresi sebagaimana diatur UU No. 30/2014 sesungguhnya tidak terkait, bahkan tidak ada korelasinya dengan bentuk dakwaan yang digunakan JPU pada kasus Ahok. Apakah dakwaan itu berbentuk dakwaan biasa, subsidair, kumulatif maupun alternatif, kesempatan diskresi sama sekali tidak terbuka. Aneh kiranya jika ada ahli hukum yang menyatakan, karena bentuk dakwaannya alternatif, Presiden berkesempatan untuk memilih memberhentikan sementara atau tidak.

Penilaian tersebut jelas keliru, sebab dibangun atas sebuah logical fallacy. Keliru karena beberapa hal. Pertama, yang bersifat alternatif dalam kasus ini adalah pasal dakwaan JPU, yaitu Pasal 156 atau Pasal 156a KUHP. Dengan dakwaan alternatif, yang diberi hak untuk memilih pasal mana yang akan diterapkan adalah hakim kala memutus perkara nanti.

Kedua, adapun objek yang akan diputuskan melalui diskresi Presiden adalah pemberhentian sementara. Kesempatan menerapkan diskresi akan terbuka jika objeknya bersifat pilihan, dalam arti UU membuka minimal dua alternatif tindakan.

Ketiga, jika hanya dakwaan yang bersifat alternatif, apa kaitannya sehingga kewajiban memberhentikan sementara kepala daerah sesuai Pasal 83 ayat (1) UU Pemda pun ikut dinyatakan bersifat opsional? Bentuk dakwaan dan tindakan memberhentikan sementara merupakan dua hal berbeda. Mencampuradukkan keduanya justru bisa meragukan pengambil kebijakan dan menyesatkan masyarakat luas.

Ketiadaan alasan menggunakan diskresi sesungguhnya “mengharamkan” Presiden untuk memilih sikap selain memberhentikan Gubernur Ahok sementara waktu. Keputusan itu mesti segera diambil sekalipun sudah sangat terlambat dari tenggat terbitnya registrasi perkara Ahok di pengadilan.

Lalu, bagaimana jika Menteri Dalam Negeri tetap dengan pendapatnya menunggu pembacaan requisitor JPU? Sikap Menteri Dalam Negeri itu pun memunculkan pertanyaan, bagaimana jika JPU menyerahkan pilihan pada hakim ihwal dakwaan mana yang tepat dan terbukti?

Sesuai pendapat Yahya Harahap, mantan Ketua Muda Pidana Umum Mahkamah Agung (1997-2000), bukankah bentuk dakwaan alternatif ditujukan untuk memberi pilihan pada hakim atau pengadilan menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan? Bila hal itu terjadi, apakah Menteri Dalam Negeri akan mengulur lagi hingga putusan pengadilan? Lalu, sampai kapan kekeliruan hendak dipertahankan?(1997-2000

Jika ditelaah lebih jauh, kekeliruan Menteri Dalam Negeri menabrak Pasal 83 ayat (2) UU Pemda kiranya disebabkan kesalahan dalam menilai esensi dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif dipahami seolah-olah dalam dua wujud yang berbeda, di mana nanti jaksa akan memilih salah satunya. Padahal, dakwaan walaupun berbentuk alternatif ia tetap sebagai satu kesatuan. Satu kesatuan dalam proses pengajuan dakwaan dan pemeriksaan. Dengan begitu, keliru bila dakwaan alternatif dipahami secara parsial berdasarkan pasal-pasal yang dijadikan alternatif.

Kekeliruan tersebut mesti segera diperbaiki. Sebab, keengganan memberhentikan Ahok sementara waktu akan mengundang sejumlah implikasi hukum. Atas pelanggaran itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpeluang menggunakan hak angket dalam rangka melakukan penyelidikan terhadap kepatuhan pelaksanaan UU Pemda.

Lebih jauh, jika angket bergulir, penggunaan hak menyatakan pendapat ihwal Presiden melakukan pelanggaran hukum pun juga terbuka ruang. Walau kekuatan politik di DPR sudah terkonsolidasi di tangan Presiden Jokowi sehingga hal itu akan sulit terjadi sebagaimana bacaan Profesor Denny Indrayana, setidaknya masalah ini akan membuat kegaduhan politik baru, sehingga kepercayaan pada pemerintah semakin menurun.

Selain itu, keputusan Presiden untuk tidak memberhentikan Ahok sementara waktu juga merupakan sebuah keputusan tata usaha negara fiktif-negatif, sehingga dapat menjadi objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Tindakan tersebut sangat rawan digugat dan amat potensial kalah di pengadilan karena nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Agar berbagai implikasi tersebut tidak menjadi nyata, melaksanakan Pasal 83 ayat (1) terhadap Gubernur Ahok merupakan jalan yang mesti ditempuh Presiden. Menapaki jalan itu berarti menunjukkan kepatuhan sekaligus menempatkan hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.