Kalender tahun 2017 di dinding rumah kita sebentar lagi bakal kita singkirkan. Tentu banyak jejak peristiwa di dalamnya yang enggan tanggal dari ingatan. Terutama jika peristiwa itu pernah disiarkan media massa. Dan, lebih-lebih lagi kalau peristiwa itu viral di media sosial dan rekamannya masih bisa diakses sampai sekarang.
Dalam perspektif media, peristiwa yang dianggap memiliki medan magnet terluas tentu saja peristiwa politik. Itu juga karena masyarakat kita memang gandrung dengan persoalan poitik. Maklum saja, atmosfer Pemilihan Presiden 2014 belum lagi netral, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 harus digelar. Karena peta pemilih keduanya tak jauh berbeda, polarisasi masyarakat pun makin mengutub. Bagi yang baperan, setiap persoalan akan dikait-kaitkan dengan politik, tak terkecuali persoalan hukum.
Berbagai peristiwa hukum yang menyita perhatian publik di tahun 2017 hampir semua ditarik ke medan politik. Sepanjang perspektif politik tersebut tidak keluar dari batas normatif pengetahuan tentu tidak ada masalah. Tetapi, jika pembacaan politik itu sudah bersifat agitatif dan menimbulkan kegaduhan, munculnya efek domino dari peristiwa hukum tak dapat dihindarkan.
Pengaruh Konflik Elektoral
Sebagian besar peristiwa-peristiwa hukum yang terjebak dalam tafsir politik sepanjang tahun 2017 berkaitan dengan konflik politik elektoral. Di sini, konflik warisan Pilpres 2014, pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dan perebutan dukungan untuk Pemilu 2019 menjadi frame yang mendominasi penafsiran masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa hukum.
Digunakannya jargon agama dalam politik elektoral membuat pembacaan politik terhadap peristiwa-peristiwa hukum menjadi kompleks. Sekurang-kurangnya, ada tiga pembacaan politik terhadap peristiwa hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Pertama, peristiwa hukum dianggap sebagai serangan terhadap agama dan atau aliran keagamaan. Ini terlihat dari respons masyarakat ketika menyikapi peristiwa-peristiwa hukum seperti putusan pengadilan dalam kasus Ahok, penetapan Rizieq Shihab sebagai tersangka, laporan ujaran kebencian terhadap kiai, laporan persekusi terhadap ustaz, pembubaran ormas HTI, dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait delik Zina.
Kedua, peristiwa hukum dianggap sebagai serangan terhadap lawan politik. Beberapa peristiwa hukum yang oleh masyarakat dibaca dengan perspektif ini antara lain penetapan tersangka mantan menteri, penetapan tersangka pendiri partai baru, dan dilaporkannya seorang mantan presiden oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketiga, peristiwa hukum dianggap sebagai serangan terhadap lawan politik sekaligus serangan terhadap kelompok agama. Beberapa peristiwa hukum yang dianggap bermotif ganda seperti itu biasanya karena materi perbuatan hukum dan subjek hukumnya tidak identik. Misalnya, kelompok agama berjuang dengan cara-cara yang tidak selaras dengan tujuan agama. Penangkapan terhadap para pengujar kebencian, baik orang per orang maupun yang tergabung dalam organisasi sindikat, merupakan peristiwa hukum yang secara politik ditafsirkan bermotif ganda seperti ini.
Pengaruh Politisi Senayan
Selain peristiwa hukum yang terkait dengan politik elektoral, penegakan hukum oleh KPK juga tidak luput dari penafsiran politik. Pembacaan politik terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sebenarnya sudah bukan barang baru. Para politisi yang merasa tidak nyaman dengan sepak terjang KPK sudah lama menuduh KPK berpolitik karena dianggap melakukan penangkapan-penangkapan secara tebang pilih.
Konflik antara para politisi dan KPK yang pada awalnya bersifat personal dan sporadis pada akhirnya membuncah menjadi konflik terbuka antarlembaga. Sepanjang tahun 2017, tak ada peristiwa hukum yang begitu banyak menyita perhatian publik melebihi perseteruan antara politisi di DPR dengan KPK. Perseteruan yang diwarnai penerapan hak angket ini bukan lagi ditafsirkan sebagai peristiwa hukum, melainkan sudah riil menjadi peristiwa politik.
Secara obyektif, memang penerapan hak angket DPR merupakan peristiwa hukum tata negara yang tak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Hanya saja, yang menjadi persoalan hukum sampai sekarang, apakah dibenarkan hak angket diberlakukan kepada lembaga yang tidak bernaung di bawah kekuasaan eksekutif?
Perseteruan KPK dengan para politisi Senayan ini bermula dari penyebutan nama-nama politisi yang diduga tersangkut kasus korupsi dana E-KTP. Satu per satu nama-nama itu dipanggil sebagai saksi baik dalam penyidikan maupun persidangan. Beberapa petinggi DPR rupanya tak mau tinggal diam. Sebelum telanjur berakhir buruk, para politisi itu melawan dengan cara membentuk pansus hak angket. Dalam sidang-sidang pansus hak angket, DPR berusaha menggali dan membeberkan kelemahan dan kejanggalan prosedural penyelidikan dan penyidikan di KPK.
KPK sendiri tidak begitu merespons hak angket DPR itu. KPK justru menggenjot kinerjanya dengan menangkapi para koruptor di berbagai daerah. Tercatat sejak pansus hak angket dibentuk pada Mei lalu, KPK telah menetapkan tujuh kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Itu belum ditambah dengan tersangka-tersangka lain dari kalangan anggota DPR dan DPRD, hakim dan panitera, serta pejabat pemerintah dan pengusaha.
Tentu saja meningkatnya kinerja KPK dalam waktu singkat tersebut tak lolos dari pembacaan politik. Seolah-olah KPK sedang mendulang kembali kepercayaan publik yang sempat merosot akibat hak angket. Dan ketika kepercayaan itu sudah dipandang cukup, KPK pun tak segan-segan menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka. Meskipun sempat terjadi adu “jurus” dan “siasat”, akhirnya adu “kecepatan”-lah yang menentukan.
Ekspresi Keterlibatan
Pembacaan politik terhadap suatu peristiwa hukum sebenarnya dapat diartikan sebagai kurangnya penghormatan terhadap hukum. Hal ini juga berkorelasi dengan rendahnya kepercayaan terhadap penegak hukum. Perlu disadari bersama bahwa pembacaan politik terhadap peristiwa hukum merupakan suatu ekspresi yang menunjukkan adanya keterlibatan si pembaca.
Artinya, ada persoalan entah pada peristiwa hukumnya, entah pada penafsirnya. Sangat mungkin pula persoalan itu terdapat pada keduanya. Hanya saja, jika kita lihat kembali jejak peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sepanjang tahun 2017, peristiwa hukum yang kerap menjadi bahan pembacaan politik adalah peristiwa hukum yang memiliki akar konflik.
Konflik politik elektoral dan konflik antara KPK dan DPR begitu kuat mempengaruhi pembacaan politik terhadap peristiwa-peristiwa hukum sepanjang tahun 2017. Hampir seluruh pemberitaan dan perdebatan hukum yang menyita perhatian publik dalam waktu yang lama, bila ditelusuri pangkal mulanya, berakar pada dua konflik itu.
Peristiwa-peristiwa hukum lain yang steril dari akar konflik, betapapun krusialnya, tidak dibaca sebagai bagian dari politik. Buktinya, kasus-kasus operasi tangkap tangan yang dilakukan Satgas Saber Pungli tidak pernah dikait-kaitkan dengan politik. Padahal, sepanjang tahun 2017, Saber Pungli telah melakukan 1.316 operasi tangkap tangan.
Akhirul kalam, marilah kita sambut tahun 2018 dengan harapan dan doa, semoga konflik-konflik politik yang mendera bangsa ini segera mereda, agar penegak hukum bisa bekerja profesional, agar penghormatan terhadap hukum bisa diciptakan.
Kolom terkait:
DPR Versus KPK, Mau Sampai Kapan?
Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK