Pada 20 Oktober 2017, tepat tiga tahun usia pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Lantas, bagaimana jejak penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di usia pemerintahan Jokowi di tahun yang ketiga?
Di dalam Nawa Cita, Jokowi menegaskan pentingnya negara hadir dalam setiap persoalan yang ada di masyarakat. Namun, apakah dalam konteks kewajiban negara, khususnya dalam melindungi dan memenuhi HAM, negara telah hadir dan berada di garda terdepan sebagaimana diamantkan di dalam Pasal 8 jo Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia?
Hak Sipil dan Politik
Selama tiga tahun ini, negara tidak hadir dalam memenuhi HAM, khususnya terkait dengan masih mangkraknya tujuh kasus pelanggaran HAM yang berat. Ketujuh kasus tersebut adalah Tragedi Semanggi, Tragedi Mei, Penculikan Aktivis Pro Demokrasi 1997/1998, Tragedi 1965, Tragedi Wasior Wamena, Tragedi Penembakan Misterius, dan Tragedi Talangsari Lampung.
Selain itu, di ranah hak sipil dan politik, tercatat terjadi upaya pemberangusan penikmatan hak oleh negara. Ada beberapa kebijakan negara yang justru berdampak pada terlanggarnya hak-hak sipil dan politik.
Terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Ormas mengancam hak untuk berpendapat, berekspresi, dan berserikat. Organisasi kemasyarakatan bisa dibubarkan secara sewenang-wenang oleh keputusan menteri, tanpa melalui putusan pengadilan. Dengan demikian, supremasi hukum diabaikan atas dasar pertimbangan politik dan keamanan oleh karena kecurigaan pada kegiatan organisasi kemasyaratan tertentu.
Demikian pula dengan pembubaran acara diskusi ilmiah tentang sejarah 1965 di YLBHI beberapa waktu lalu oleh tekanan sekelompok massa. Bahkan, diduga polisi terlibat aktif dalam melarang dan membubarkan diskusi itu. Meskipun akhirnya polisi bertindak tepat dengan melindungi komunitas yang berada di dalam kantor LBH Jakarta.
Pun dengan kasus teror atas penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, yang sudah terjadi sejak 6 bulan lampau, belum ada titik terang dari Polri, siapa pelaku dan motifnya. Padahal, kasus ini menjadi perhatian utama Presiden dan Kapolri. Toh, belum ada perkembangan mengembirakan dan signifikan atas penuntasan kasus ini, walau Polri sudah sempat mengeluarkan sketsa wajah pelaku.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Di ranah hak ini, capaian positif pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif dan merata di banyak wilayah. Sebagaimana janjinya, Jokowi mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang sangat suportif agar akselerasi pembangunan infrastruktur bisa berjalan dengan maksimal, sebagaimana diatur dalam Perpres No 3/2016 yang diperbaharui dengan Perpres No. 1/2017 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional.
Pembangunan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, jalan tol, rel kereta api, waduk, dan pembangkit tenaga listrik, adalah ikhtiar Jokowi agar pertumbuhan ekonomi bisa optimal dan kesejahteraan masyarakat bisa lebih merata, di Jawa dan luar Jawa.
Akan tetapi, patut diwaspadai sisi gelap proyek infrastruktur yang lebih banyak memberikan manfaat dan keuntungan bagi para pengusaha dan korporasi. Hal ini karena investasi di bidang infrastruktur dipandang lebih menguntungkan, sehingga alih-alih membangun infrastruktur untuk melayani kebutuhan dasar masyarakat, malahan menguntungkan para pengusaha, misalnya di bidang properti.
Pembangunan infrastruktur pada hakikatnya adalah bentuk dari kewajiban negara memenuhi HAM, khususnya hak atas pembangunan dan kesejahteraan. Untuk itu, jangan sampai terjadi ketika atas nama pembangunan infrastruktur, hak-hak masyarakat terlanggar, misalnya hak atas tanah, tempat tinggal, dan penghidupan.
Walhasil, pada tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, HAM belum menjadi prioritas dalam kebijakan dan program pembangunan. Hal ini tentu tidak menggembirakan karena Jokowi terpilih sebagai Presiden 2014-2019 mengusung janji-janji positif untuk menegakkan HAM. Namun faktanya, janji itu belum terealisasikan secara penuh dan konsisten.
Jangan sampai pada tahun keempat dan seterusnya, yang merupakan tahun politik, HAM hanya kembali menjadi komoditas politik semata. Masih ada waktu dua tahun bagi Presiden Jokowi memenuhi janjinya. Jika tidak, rakyat akan memberikan “hukuman politik” pada 2019.
Kolom terkait:
Indonesia dan Year of Living Dangerously [Catatan HAM 2016]
Seriuskah Jokowi Menguak Kematian Munir?