Seluruh rangkaian Tahun 2016 segera berakhir dalam hitungan hari. Refleksi menjadi perlu agar pembenahan dapat dilakukan. Tulisan ini hendak fokus “merenung ulang” pelbagai peristiwa penegakan hukum sepanjang Tahun Monyet Api.
Renungan itu dilakukan dengan menyigi tiga unsur sistem hukum yang dikemukakan Lawrence Meir Friedman. Friedman meyakini bahwa sistem hukum terdiri dari: (i) struktur hukum yang berkaitan dengan aparat penegak hukum, pembentuk undang-undang, dan pemerintah yang menjalankan aturan hukum; (ii) substansi hukum yang berupa seperangkat aturan perundang-undangan, putusan hakim, norma dan asas hukum yang diterapkan dalam penegakan hukum; dan (iii) budaya hukum yang memperlihatkan “adab” masyarakat dalam melaksanakan, mengabaikan, dan menyimpangi hukum.
Menyigi tiga unsur sistem hukum itu tentu tidak dapat mewakili kebenaran material (hakiki) yang terjadi. Renungan ini hanya melihat sudut yang sempit dari kacamata seorang akademisi kampung yang amat terbatas. Namun demikian, renungan ini diharapkan mampu menguatkan kita semua dalam melangkah menghadapi 2017 yang datang.
Represif
Tindakan hukum yang begitu represif oleh aparat hukum (struktur hukum) sangat terasa di penghujung tahun ini. Penangkapan “aktivis tua” Sri Bintang Pamungkas dan beberapa aktor penentang pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah dan aparat hukum masih anti-kritik. Sulit diterima akal sehat beberapa aktivis tua dan purnawirawan militer yang tidak memiliki kekuatan bersenjata itu dapat melakukan tindakan makar yang membahayakan negara.
Pun, jika para aktivis tua dan purnawirawan militer itu hendak memanfaatkan momen dengan mengendalikan massa aksi Super Damai 212 untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memberhentikan Presiden, hal itu terus terang masih sulit dicerna akal saya. Bukankah MPR berdasarkan UUD 1945 tidak berwenang memberhentikan presiden tanpa proses impeachment di Mahkamah Konstitusi. Semestinya aparat penegak hukum cukup meminta seluruh Pimpinan dan anggota MPR tidak berkantor pada hari itu agar upaya menggulingkan Presiden tidak dapat dilakukan.
Upaya represif lain yang lekat dalam ingatan kita adalah kasus Siyono. Aktivis Muhammadiyah itu dituduh hendak melakukan tindakan teror. Oknum aparat kemudian melakukan tindakan di luar batas yang menyebabkan Siyono meninggal dunia. Malangnya, tidak satu pun bukti yang dapat mendukung tuduhan bahwa Siyono adalah teroris. Kasus ini perlahan namun pasti lenyap dari pemberitaan media, bahkan proses hukum lebih lanjut juga tiada.
Dua kasus di atas semestinya cukup menggambarkan betapa represifnya pemerintah melalui aparat penegak hukumya. Belum lagi kasus penangkapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam aksi mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penangkapan dan upaya pemidanaan terhadap dua aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan 26 aktivis buruh karena melakukan aksi protes kebijakan pemerintah adalah wujud wajah “marah” pemerintah.
Padahal sebagai Presiden yang berjanji dalam kampanyenya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, semestinya pemerintah lebih persuasif dalam menampung sikap kritis masyarakat karena merupakan hak asasi yang dijamin UUD 1945. Gambaran sikap represif itu semakin mendekatkan pola Pemerintahan Jokowi-Kalla dengan pemerintahan otoriter Soeharto. Sebelum terjerumus ke dalam rezim otoriter, ada baiknya pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap gerak aparat hukum yang berada di bawah Presiden.
Saya termasuk yang sulit menerima jika Jokowi bertindak represif. Sebuah tindakan yang jauh dari pola pendekatan persuasif yang dilakukannya selama memerintah Solo dan Jakarta. Itu sebabnya tindakan represif tersebut lebih terkesan sebagai tindakan di luar komando Istana. Itu sebabnya, Istana perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat bertindak menegakkan hukum dengan melanggar hukum (konstitusi).
Selain tindakan aparat hukum di bawah Presiden yang masih bermasalah, 2016 juga masih diributkan dengan tertangkap tangannya anggota DPR dan aparat peradilan (hakim dan panitera) karena terjerat korupsi. Bahkan DPR dapat mengabaikan pelanggaran etik yang dilakukan anggotanya agar proses pergantian Ketua DPR berjalan lancar. Kondisi demikian menyebabkan kita sulit membayangkan cita negara hukum Indonesia yang sesungguhnya jika para wakil rakyat dan oknum peradilan di isi oleh figur-figur bermasalah.
Alat Kekuasaan
Selain bermasalahnya struktur hukum, beberapa kasus sepanjang 2016 memberikan gambaran bahwa substansi hukum juga kerap disimpangkan elite politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Contoh kasus menarik adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016 terkait pengujian undang-undang yang dilakukan Setya Novanto. MK menafsirkan bahwa rekaman elektronik yang diambil bukan oleh aparat berwenang tidak dapat dijadikan alat bukti. Melalui putusan itu, Novanto dapat mempertanyakan keabsahan alat bukti rekaman yang menjeratnya dalam kasus “Papa minta Saham”.
Uniknya, putusan MK yang bersifat erga omnes itu (berlaku untuk semua) hanya menguntungkan Novanto saja. Perkara lain yang berkaitan dengan alat bukti rekaman elektronik yang direkam masyarakat (bukan aparat hukum), seperti perkara Jessica Kumala Wongso dan Basuki Tjahaja Puranama (Ahok), ternyata tidak mematuhi putusan MK yang final dan mengikat (binding) itu.
Badai putusan yang “aneh” itu juga terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi. Putusan kasus korupsi yang melibatkan La Nyalla Mahmud Mattalitti yang merupakan keponakan Ketua Mahkamah Agung juga memiliki kejanggalan. Sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla telah menggunakan dana hibah untuk membeli saham perdana Bank Jatim untuk kepentingan pribadinya. Hakim memandang karena uang hibah itu telah dikembalikan La Nyalla, maka tindak pidana korupsinya menjadi pupus.
Kalau cara pandang aparat penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi demikian, bukan tidak mungkin di masa yang datang para pelaku akan melakukan tindak pidana korupsi terlebih dulu, jika dicurigai maka dapat mengembalikan uang negara yang disimpangkan itu. Cara pandang hukum yang seperti itu berbahaya.
Selain substansi hukum yang berupa putusan hakim memiliki masalah, produk hukum berupa undang-undang juga mengalami berbagai permasalahan di tangan lembaga pembentuknya (DPR dan Pemerintah). DPR yang “dikenal” malas dalam membuat undang-undang karena selalu gagal memenuhi target program legislasi nasional, tiba-tiba dalam hitungan jam dapat merevisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Revisi itu bertujuan untuk memberi “kursi Pimpinan Dewan” bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sejujurnya, tidak ada yang salah terhadap pemberian jatah kursi pimpinan bagi PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu. Namun proses yang begitu cepat dalam revisi UU tersebut telah menunjukan bahwa pembentukan UU dapat terjadi sekejap mata sepanjang “kesepakatan politik” terpenuhi. Wajar kemudian pembentuk undang-undang dituding abai terhadap UU yang pro-masyarakat miskin dan tertindas.
Adab Kekerasan
Saya sulit memahami jika hukum ditegakkan oleh bukan aparat penegak hukum. Di ujung tahun, sekelompok oknum organisasi masyarakat dengan arogan melakukan penggeledahan terhadap atribut keagamaan tertentu yang dipakai karyawan pusat-pusat perbelanjaan.
Budaya berhukum main hakim sendiri seperti itu menunjukkan dua hal: menguatnya budaya premanisme dan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Budaya berhukum dengan memaksakan kehendak itu harus ditindak tegas. Aparat tidak diperkenankan melakukan pembiaran terhadap ormas-ormas tertentu untuk menegakkan hukum. Apalagi tindakan pembiaran aparat itu berbeda dengan tindakan keras yang dilakukan terhadap para aktivis tua pengkritik pemerintah dan aktivis Muhammadiyah yang disebutkan di atas.
Budaya berhukum masyarakat yang keliru itu tidak sepenuhnya dapat disalahkan ketika budaya berhukum aparat negara juga lemah. Sudikah kita semua untuk membenahi budaya berhukum bersama. Jika tidak, hukum yang berjalan mundur sepanjang 2016 akan merusak tujuan berhukum, yaitu: terciptanya rasa keadilan di tengah masyarakat yang diikuti dengan mewujudnya kesejahteraan sosial.
Apa pun yang terjadi, 2016 adalah masa lalu, dan 2017 yang akan datang harus lebih baik. Sebagai “panglima kehidupan bernegara”, hukum tidak boleh berjalan mundur.